Seorang teman sehaluan Ayahku pula ialah Syekh Abbas Abdullah di Padang Japang (Suliki). Beliau dilahirkan, pada tahun 1883 dan naik Haji ke Mekkah dalam usia 13 tahun / 1314 H) dan belajar pula kepada tuan Syekh Ahmad Khatib, dan pulang ke tanah air pada tahun 1904. Bersama dengan kakaknya Syekh Mustafa beliau mulai mengajar, melanjutkan usaha ayahnya Syekh Abdullah.
Di tahun 1919 Madrasahnya menjadi Sumatera Thawalib, sebagai juga madrasah-madrasah yang lain di Minangkabau. Diterbitkan pula majalah “Al Imam” Pada tahun 1921 beliau kembali ke Mekkah, terus ke Mesir dan menambah pengalamannya belajar di Al Azhar sampai tahun 1924. Pada tahun itu dengan melalui Palestina, Libanon dan Syria beliau pulang kembali ke tanah air dan meneruskan usahanya mengajar.
Pulangnya kembali melalui Mesir karena mengantarkan putera kakaknya Thaluth Mustafa dan Nasruddin Taha untuk belajar pula di sana. Di tahun 1930 Thawalib beliau tukar menjadi Darul Funun AlAbbasiyah.
Beliau dua bersaudara adalah orang-orang keras hati, ber-jiwa revolusioner, tidak ragu-ragu memesan dan mengajarkan kitab-kitab Abduh dan Rasyid Ridha dan kitab-kitab yang lain memberi kebebasan fikiran dari Darul Funun-nya, sehingga di tahun 1934 pernah tempatnya mengajar itu digeledah pemerintah Belanda, karena datang laporan resersir bahwa di sana banyak kitab-kitab agama “yang berbahaya”.
Dalam Revolusi bersenjata 1945 kedua beliau telah meng-gerakkan murid-muridnya supaya turut berjihad fi sabilillah, dan beliau Syekh Abbas diangkat menjadi “Imam Jihad” oleh Majelis Tinggi Islam. Di waktu Perang Kolonial Belanda yang kedua (1948) madrasah beliau telah menjadi pusat pertahanan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) beberapa lamanya. Setelah terjadi persetujuan “Roem-Royen” dan terjadi penghentian tembak menembak di Sumatera, di Padang Japang, di surau beliau itulah berkumpul kembali para pemimpin PDRI.
Sikap beliau pendiam, beliau tidak begitu ahli berpidato, karena beliau hanya lebih mahir mengajar, tetapi setiap butir perkataan beliau tidak ada yang hampa.dengan utusan-utusan yang datang dari Bangka, menemui mereka.
Syekh Abbas telah meninggal dunia pada 17 Juni 1957 di Padang. Kakaknya Syekh Musthafa pun seorang Ulama yang keras hati. puteranya Thaluth diserahkannya belajar ke Mesir, tetapi malang, anak yang baik itu mati dibunuh dengan teraniaya oleh seorang pemuda Indonesia yang turut belajar di Mesir. Seketika mendengar kematian puteranya, tidaklah berubah muka beliau, sebab beliau yakin bahwa puteranya bukanlah seorang jahat. Demikian juga seketika puteranya Thanthawi Mustafa tewas pula seketika dikepung Belanda di Situjuh bersama Khatib Sulaiman, Bupati Harisun dan Kapten Munir Latif, seketika disampaikan orang kepadanya bahwa putera beliau telah tewas, vang terlebih dahulu beliau tanyakan dari manakah tembusan peluru, adakah dari muka atau dari punggung? Kalau dari muka, yakinlah beliau bahwa puteranya mati syahid, sebab terang bahwa dia melawan. Tetapi kalau dari belakang, sedihlah hati beliau karena mungkin anaknya lari, lalu ditembak. Permohonan beliau kepada Tuhan, moga-moga tembus dada anak¬nya dari muka, jangan dari punggung.
Itulah kawan-kawan Ayahku. Ulama-ulama yang konsekwen pada pendirian mereka, yang tidak mengenal menyerah. Tetapi kalau kita berjumpa mereka, kita hanya akan melihat orang-orang tua yang tawadhu’ , merendahkan diri seakan-akan tidak berisi apa-apa, padahal penuh dengan iman dan keteguhan hati.
Ada beberapa orang lagi Ulama lain yang sehaluan dengan Ayahku, atau pendukung cita-cita beliau, sebagai Tuan Haji Ajhuri dan Haji Sa’id Batusangkar, Tuan Jama’in Abdul Mu-rad Sungai Puar, Haji Muhammad Siddik Bukittinggi, Tuanku Laut Lintau, Tuanku Haji Sutan Darab Pariaman, Tuanku Mudo Limbukan (Ayah Al Ustaz Nasruddin Taha); beliau sebagian besar telah meninggal dunia, tetapi nyatalah kebesaran Ayahku karena “pohon-pohon” yang mengitarinya itupun besar pula.
(HAMKA – Haji Abdul Malik Karim Amrullah)