Darulfunun Putri dirintis pada tahun 1925, oleh pelajar-pelajar perempuan yang meminta izin kepada Syekh Abbas Abdullah untuk turut serta dalam mengikuti pelajaran yang diberikan di Darul Funun.
Kelas Perempuan ini merupakan salah satu perintis sekolah perempuan di Sumatera Barat, satu generasi dengan Diniyah School yang digagas oleh Rahmah El-Yunusiyyah pada tahun 1923 di Padang Panjang. Hampir seluruh tokoh pergerakan perempuan di daerah Payakumbuh dan Limapuluhkota adalah lulusan sekolah ini.
Alumni sekolah perempuan membentuk komunitas Nahdatun Nisaiyah untuk memberdayakan kaum wanita dengan kegiatan ekonomi dan sosial. Pada realitasnya semua murid bersekolah membawa panji yang sama yakni Darulfunun El-Abbasiyah. Kemudian pada perkembangannya ketika kelas modern sudah mulai diterima masyarakat, kelas tidak lagi dipisah antara laki-laki dan perempuan.
Pada tahun 2016 dibentuk Darulfunun Putri untuk memfasilitasi keperluan pelajar Putri. Organisasi pelajar Darulfunun Putri ini berkembang lebih pesat dari Darulfunun Putra. Siswa-siswa putri mengorganisasikan semua kegiatan kesiswaan dan asrama.
Pada tahun 2018, kemudian terjadi konflik dan provokasi karena Nahdah menegaskan sama jenjang dengan Darulfunun El-Abbasiyah. Nahda membentuk kepengurusan Yayasan sendiri yang kemudian mengambil alih pengelolaan TK yang sebelumnya dibawah Darulfunun El-Abbasiyah. Pemisahan Yayasan Nahdah ini dimotori oleh oleh Azizah Thaha dan Athifah Thaha.
Pada tahun 2021 tokoh yang sama kemudian memperkeruh keadaan dan mencoba melakukan kudeta penggantian kepengurusan Yayasan Darulfunun El-Abbasiyah. Dimulai dari pemalsuan surat dan tanda tangan kemudian mulai mencongkel satu persatu keluarga zuriyat Syekh Abbas Abdullah dan kemudian menghilangkan kata “zuriyat” dalam nazar wakaf Darulfunun El-Abbasiyah.