Sang Perintis…
Pernah menjadi jembatan penghubung antara MA dan Depag. Menyumbangkan sebagian besar episode hidupnya untuk mengembangkan hukum Islam dan peradilan agama di Indonesia. Mahakaryanya berupa UU Perkawinan dan KHI.
Pada akhir tahun 1970-an, hubungan Mahkamah Agung (MA) dan Departemen Agama (Depag) menegang. Salah satu pangkal masalahnya ialah soal kasasi. Depag bersikeras putusan dari peradilan agama tidak boleh diajukan kasasi ke MA.
“Di samping prosedurnya belum ada, juga karena belum ada hakim agung bidang agama di MA,” kata Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Depag, H. Ichtijanto SA, S.H., sebagaimana ditulis Tempo edisi 14 April 1979.
Sebaliknya, demi memberi akses masyarakat untuk memperoleh keadilan, MA tetap membuka pintu kasasi, bahkan kasasi itu bisa langsung diajukan ke MA tanpa melalui pengadilan agama.
“Kalau tidak ke MA mau minta kasasi ke mana lagi?” ujar Ketua MA saat itu, Prof. Oemar Seno Adji, S.H.
UU Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman tahun 1970 memang mengatur bahwa MA merupakan puncak peradilan yang membawahi peradilan umum, peradilan agama dan peradilan militer. Namun UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sama sekali tidak mengatur mengenai upaya kasasi perkara-perkara perdata agama yang jadi kewenangan peradilan agama.
Ketegangan antara MA dan Depag itu mulai mengendur pada tahun 1979. Ketua MA mengeluarkan SK No. 3/KMA/1979tertanggal 10 April 1979 tentang “Penyelesaian Pemeriksaan dalam Kasasi Perkara-perkara yang Berasal dari Pengadilandalam Lingkungan Peradilan Agama”. SK tersebut perlu dikeluarkan lantaran perkara kasasi yang kian menumpuk di MA, baik melalui peradilan agama sendiri maupun yang diterima langsung oleh MA dari pemohon, perlu segera dibereskan.
Nah, dalam SK itu, nama Bustanul Arifin, S.H. turut disebut. Ia ditunjuk oleh Ketua MA menjadi salah satu di antara enam hakim agung MA yang bertugas menyidangkan dan menyelesaikan perkara-perkara kasasi dari peradilan agama. Lima hakim agung lainnya adalah Ny Widoyati Wiratmo Soekito S.H., Z.
Asikin Kusumah Atmadja, S.H., B.R.M. Hanindyopoetro Sosropranoto, S.H., Purwoto S. Gandasubrata, S.H., dan Kaboel Arifin, S.H.
Sejak itu, hubungan MA dan Depag tidak lagi menegang. Hubungan itu kian membaik ketika untuk kali pertama dalam sejarah, pada tahun 1982 MA memiliki Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama (Tuada Uldilag). Hakim agung yang terpilih jadi Tuada Ulidlag itu tidak lain adalah Bustanul Arifin. Ia diangkat berdasarkan Keppres No. 33/M/1982 tertanggal 22 Februari 1982.
Setahun kemudian, jurang pemisah antara MA dan Depag semakin hilang. Itu terjadi ketika Ketua MA Mudjono dan Menag Alamsyah meneken Surat Keputusan Bersama (SKB). SKB tertanggal 7 Januari 1983 itu berisi empat hal: pengangkatan hakim peradilan agama, pengawasan hakim peradilan agama, pemberian bantuan hukum, dan pembentukan lembagakonsultasi antara kedua instansi.
Mencairnya hubungan antara MA dan Depag membuat Bustanul Arifin dapat lebih mengaktualisasikan diri dan memberi kontribusi yang lebih besar untuk pengembangan hukum Islam dan peradilan agama di Indonesia.
Hal itu terbukti dari dua momen penting dalam hidupnya. Yang pertama ialah saat ia dipercaya menjadi ketua tim penyusun RUU Peradilan Agama. RUU itu sebenarnya sudah dipersiapkan sejak 1971, berdasarkan Inpres Tahun 1970. Hanya, naskah yang berisi pokok-pokok dan kandungan RUU Peradilan Agama ketika itu tak bisa dilanjutkan ke DPR. Menteri Kehakiman waktu itu menyarankan agar RUU tersebut disampaikan setelah UU MA dan UU Peradilan Umum disahkan DPR.
Pada masa Menteri Agama Mukti Ali, usaha penyusunan RUU Peradilan Agama dimulai lagi. Ketika itu tim penyusun beranggotakan wakil-wakil dari MA, Departemen Kehakiman, Departemen Agama, Universitas Indonesia, dan Fakultas Syar’iyah IAIN Jakarta. Tim itu yang diketuai Bustanul Arifin itu terbukti berhasil menyusun RUU Peradilan Agama dan RUU Acara Perdata Agama. Akhirnya dua RUU itu dijadikan satu dan disahkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Momen penting lainnya ialah kala Bustanul Arifin diberi amanah untuk memimpin tim penyusun rancangan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Saat itu, selain jadi Tuada Uldilag, ia juga jadi Sekjen Perhimpunan Ahli Hukum Islam Asia Tenggara. Saat menyusun rancangan KHI, ia dibantu Prof. Chalid, Masrani Basran, Amiruddin Nur, dan Muchtar Zarkasyi.
Gagasan penyusunan KHI itu merupakan tindak lanjut atas SKB Ketua MA dan Menag yang diteken pada 1985. Berisi tentang perkawinan, waris dan wakaf, rancangan KHI itu jadi pada Desember 1987 lalu diseminarkan setahun berikutnya. Pada akhirnya, KHI itu disahkan oleh Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
***
Bustanul Arifin dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada tanggal 2 Juni 1929. Ia anak terakhir dari enam bersaudara, putra pasangan Andaran Gelar Mahatajo Sutan-Kana.
Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar Belanda. Bukan sekolah agama memang, tapi sebagaimana anak laki-laki di Minangkabau, Bustanul kecil tidak punya tempat di rumah. Maka kehidupan kanak-kanaknya hingga menjelang dewasa dilewatkan di surau. Di tempat itulah Bustanul mempersiapkan pelajaran sekolahnya. Di surau pula ia belajar membaca al-Qur’an.
“Kelas dua SD saya sudah khatam al-Qur’an,” ungkap Bustanul, sebagaimana tertulis di buku Mutiara yang Tak Terlupakan.
Bustanul belajar mengaji kepada pamannya yang bernama sama dengan nama salah seorang sahabat Nabi saw. Ibnu Abbas. Pada masanya, pamannya itu adalah qari ternama di daerahnya. Selain belajar mengaji kepada pamannya, Bustanul pun memperoleh pemahaman tauhid dari kakeknya, Tuanku Keramat.
“Biasanya pada bulan Ramadhan saya tinggal di rumah kakek. Sesudah makan sahur sampai subuh saya mengaji kepada beliau. Seperti paman saya, datuk saya pun buta huruf latin,” kenang Bustanul.
Surau makin akrab dengannya, ketika setamat SD, Bustanul tidak boleh melanjutkan sekolah ke SMP. Ketika itu, satu-satunya SMP ada di Padang sementara jarak antara Payakumbuh-Padang waktu itu terasa amat jauh. Namanya anak-anak, dilarang melanjutkan sekolah Bustanul malah senang. Dua setengah tahun Bustanul tidak sekolah. Selama masa itu, pekerjaannya sehari-hari ialah pergi ke sawah, lading, mengaji, belajar silat, dan membaca buku.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia, Bustanul sempat masuk Seinenda yang pelatihannya amat keras. Mungkin karena itu, meskipun baru berusia belasan, Bustanul diperlakukan bagai orang dewasa. Dia mulai sering diminta bertabligh. Karena sering diminta bertabligh itulah, mau tidak mau Bustanul terus menambah ilmu-ilmu keislaman, baik dari hasil bacaan, maupun dari pergaulan.
Ketaatan kedua orang tua Bustanul dalam beribadah, juga meninggalkan jejak mendalam di hatinya; Begitu mendalam, sampai-sampai ketika masih SMP Bustanul menyatakan hasratnya untuk mengikuti jejak kedua orang tuanya masuk tarekat. Tetapi, hasranya itu dicegah ibunya: “Jangan. Kamu berdosa nanti, karena kamu masih sering hilir mudik ke sana ke mari, dan ketawa-ketawa”.
Sekitar tahun 1947, ketika masih kelas dua SMP, Bustanul sakit keras selama enam bulan. Entah apa penyakitnya, yang jelas obat-obatan susah didapat karena diblokade oleh Belanda. Begitu parahnya penyakit yang mendera Bustanul, sehingga dia pernah koma selama 24 jam. Dokter yang menanganinya sudah menyerah, dan menyatakan tidak ada lagi harapan hidup bagi Bustanul.
Semua sanak famili telah berkumpul seraya membaca surat Yasin di sekitar tempat tidur. Dalam keadaan demikian, ibun Bustanul bernadzar: “Kalau kamu sembuh nanti, ibu akan sekolahkan kamu ke Sumatera Thawalib supaya bisa berguru ke Inyik Candung (Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli – pen)”. Konon, dalam keadaan koma, Bustanul mengiyakan nadzar ibunya itu.
Sesudah ternyata Bustanul sembuh, Ny. Kana bermaksud melaksanakan nadzarnya. Bustanul pun sudah bersiap-siap berangkat ke Sumatera Thawalib. Namun ayahandanya punya pendapat lain. Menurutnya, jika Bustanul dikirim ke Sumatera Thawalib, dia harus mengulang kembali pelajarannya dari awal. Padahal Bustanul sudah kelas dua SMP. Lagi pula, kata ayahndanyaL “Agama itu, kemampun kita berjalan asal niatnya sudah betul, sudah dapat.
Akhirnya Ny. Kana membatalkan nadzarnya dengan membayar kafarat. Kelak, ketika Bustanul sudah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UGM, ayahnya berkirim surat – sesuatu yang di luar kebiasannya. Isi surat itu antara lain: “Kamu sekarang sudah sekolah tinggi hukum. Satu hal jangan pernah kamu lupakan: tidak bergerak selain di jalan Allah.”
Kalimat terakhir itu digarisbawahi. Tidak lama sesudah berkirim surat tersebut, ayahnya Bustanul wafat. Karena itu Bustanul menganggap surat itu sebagai wasiat. Wasiat dan keinginan ibundanya menyekolahkan Bustanul ke lembaga pendidikan Islam, kelak mempengaruhi jalan hidupnya.
Sebuah keajaiban dialami Bustanul. Dirinya yang selama di SMP aktif berorganisasi – antara lain pernah menjadi sekretaris Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Sumatera yang diketahui oleh Bustaman (kini Dr. S.H. –pen), tidak terlalu baik prestasi belajarnya, dalam ujian akhir SMP justru meraih prediket terbaik se-Sumatera Tengah. Karena prestasinya itu, pemerintah RI berniat menyekolahkan Bustanul ke Singapura dengan beasiswa. Karena itulah setamat SMP pada 1948, Bustanul tidak segera mendaftar ke SMA Bukittinggi. Dia menunggu kabar dari ibu kota, Yogyakarta. Namun, karena terjadi agresi Belanda, kabar dari Yogya tidak pernah diterimanya, dan rencana melanjutkan sekolah ke Singapura pun gagal.
Bustanul kemudian mencemplungkan diri ke kancah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dia bergabung ke dalam Pasukan Mobil Teras “Gerilya Antara” Sektor II Front utara Payakumbuh. Dalam pasukan itu, Bustanul menjadi anggota Brigade Tempur Istimewa.
Sesudah pengakuan kedaulatan, 1949, Bustanul berangkat ke Jakarta dan masuk SMA. Tahun 1951, Bustanul lulus. Tahun itu juga dia berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi di Fakultas Hukum UGM (ketika itu bernama Fakultas Hukum; Ekonomi, Sosial, dan Politik –pen). Bustanul kuliah sambil aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta. Atas desakan teman-temannya, Bushtanul menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta (1954-1955). Selain aktif di organisasi, Bustanul pun mengajar di salah satu SMA swasta.
Sesudah lulus dari fakultas hukum pada akhir 1955, Bustanul meniti karier sebagai hakim di Semarang. Sambil bekerja sebagai hakim, Bustanul mengajar di sebuah SMA swasta. Suatu hari beberapa temannya mengajak mendirikan perguruan tinggi. “Masak mau mengajar di SMA terus,” kata mereka. Sejak itulah Bustanul terlibat aktif dalam panitia pembentukan Universitas Semarang yang kemudian menjadi Universitas Diponegoro. Ketua panitiana Imam Bardjo, pernah menjadi Jaksa Tinggi di Jawa Tengah. Mantan Ketua Mahkamah Agung, Mr. Soerjadi, turut pula dalam kepanitiaan.
Waktu rapat pembagian tugas mengajar, Bustanul langsung menawarkan diri untuk memegang mata kuliah hukum pidana sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun rapat terbentur pada siapa yang akan mengajar mata kuliah hukum Islam, padahal mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah wajib di fakultas hukum. Akhirnya ketua panitia memutuskan bahwa mata kuliah hukum Islam harus dipegang Bustanul.
“Mata kuliah hukum Islam harus kamu yang memegang. Yang bisa baca Qur’an cuma kamu. Masak kami yang tidak membaca al-Qur’an harus mengajar hukum Islam,” kata Bardjo mendesak. Akhirnya resmilah Bustanul memegang mata kuliah hukum Islam. Karena harus mengajar sesuatu yang bukan disiplin ilmunya, mau tidak mau Bustanul pun mesti giat belajar. Yang amat disyukurinya, buku-buku mengenai hukum Islam relative mudah diperoleh.
Kebiasaannya di kampong dan di Yogya, juga terus berlanjut. Di Semarang, Bustanul dekat dengan para ulama dan tokoh-tokoh Islam seperti K.H. Moenawar Cholil, K.H.A Gaffar Ismail (Pekalongan), dan Imam Sofwan. “Kalau saya berkunjung ke rumah Kiai Moenawar Cholil, atau beliau mengunjung isaya, bisa dipastikan subuh baru kami selesai ngobrol,” ungkap Bustanul tentang keintimannya dengan Kiai Moenawar Cholil.
Ketika Bustanul diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Negeri Kalimantan Selatan dan Tengah yang berkedudukan di Banjarmasin (1966-1968), mengingat frekuensi kesibukannya yang demikian tinggi, dirinya menduga waktunya akan habis mengurusi tugas, dan tidak ada lagi waktu luang untuk berkomunikasi dengan para ulama. Dugaan Bustanul itu ternyata keliru. Di Banjarmasin, dia tetap dekat dengan para ulama.
Dalam menjalin komunikasi dengan para ulama dan tokoh-tokoh agama, Bustanul sama sekali tidak memandang latar belakang politik atau pendirian tokoh yang bersangkutan. Dengan mantan Perdana Menteri RI dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Mohammad Natsir (1908-1993) pun, Bustanul menjalin hubungan cukup akrab.
Di tengah perdebatan soal RUU-PA, dua kali Natsir mengundang Bustanul untuk berceramah soal RUU-PA. Pertama di depan para ulama dan pimpinan pondok pesanteren se-Jawa Barat, di Sukabumi. Kedua, di depan para da’i Dewan Dakwah dari seluruh Indonesia yang dikumpulkan di Jakarta. Kedua undangan itu, dipenuhi Bustanul. Tetapi karena Natsir adalah salah seorang penandatanganan Petisi 50 salah seorang sejawatnya di Mahkamah Agung, sempat mempertanyakan kesediaan Bustanul memenuhi undangan Natsir. Dan Bustanul menjawab pertanyaan itu dengan tegar: “Mengapa tidak? Pak Natsir itu kan Ketua Dewan Dakwah, tokoh agama yang banyak jasanya untuk negara kita. Jangankan Pak Natsir, orang komunis pun kalau mereka meminta saya menerangkan soal agama, akan saya penuhi.
Dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 38 tahun 1968 tertanggal 3 Februari 1968, Bustanul diangkat menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI. Ketika diangkat menjadi Hakim Agung itu, usia Bustanul baru 38 tahun.
Sesudah 14 tahun menjadi Hakim Agung, pada tanggal 22 Februari 1982 melalui Keppres No. 33/M Tahun 1982, Bustanul diangkat menjadi Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Jabatan itu dipangkunya sampai saat Bustanul memasuki masa pensiun pada 30 Juli 1994.
***
Pada 18 September 2012, ketika Badilag menggelar acara puncak Peringatan 130 Tahun Peradilan Agama di Hotel Mercure Jakarta, Bustanul Arifin hadir di sana. Ia banyak bercerita dan membagi nasehatnya ketika para sesepuh dan tokoh peradilan agama berkumpul.
Mengawali ceramahnya, Pak Bus—demikian sapaan akrabnya—menegaskan peradilan agama harus terus mengikatkan diri pada landasan syar’i dalam membuat putusan. Menurutnya, ilmu hakim berbeda dengan ilmu hukum.
“Jika ilmu hukum hanya mengandalkan nalar, maka ilmu hakim harus menyeimbangkan ilmu nalar dan ilmu naluri,” ujarnya.
Pak Bus juga mengatakan peradilan agama sejak dulu sudah dihormati oleh lembaga luar negeri dan sering diundang dalam acara internasional. Itu karena, salah satunya, SDM peradilan agama mumpuni.
Pak Bus mengenang masa ketika menjadi Tuada Uldilag. Kala itu Pak Bus mendapat undangan istimewa untuk menyampaikan makalah seputar perkembangan peradilan agama di Belanda. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang baik, ditambah literatur bahasa Belanda yang familier, Pak Bus mampu mempesona para peserta dalam acara tersebut.
Kepada para hakim peradilan agama di masa sekarang, Pak Bus berharap agar bisa lebih meningkatkan diri dengan mempelajari berbagai ilmu hukum. Di samping itu, menurut Pak Bus, para hakim perlu menguasai bahasa asing, agar dapat bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk dari luar negeri.
Kini Pak Bus telah tiada. Bukan saja keluarga besar peradilan—khususnya peradilan agama—yang berduka. Umat Islam dan anak-anak bangsa juga layak kehilangan sosoknya. Itu karena Pak Bus bukan saja tokoh peradilan, namun juga tokoh Islam dan tokoh bangsa.
Selamat jalan, Pak Bus. Selamat jalan, Sang Perintis…
[hermansyah l rahmat arijaya]
Leave a Reply