Oleh : Thobib Al-Asyhar
Belakang ini media lagi genit. Amat genit malah. Padahal demokrasi sudah lama tumbuh di negeri ini. Sejak tumbangnya Orba, media massa sangat menikmati kebebasan. Ingin bicara apapun boleh selama tidak melanggar UU ITE. Tidak ada yang melarang. Hanya saja butuh sikap “wise” jika menyangkut hal-hal sensitif, salah satunya isu radikalisme. Jangan pula isu-isu radikalisme digebyah uyah! Generalisasi, kata anak mahasiswa.
Nah, yang membuat saya semakin tidak mengerti, kenapa semua kelompok, apapun, “diframing” media telah terpapar radikalisme? Bukankah radikalisme itu terkait ideologi yang bisa masuk kepada semua jenis orang? Artinya, kita semua sudah tahu, bahwa radikalisme, dimulai dari paham, sikap, hingga tindakan, terus berkembang.
Maksud saya begini. Saya setuju sekali bahwa radikalisme itu ancaman buat eksistensi agama. Apapun agamanya. Apalagi buat keragaman bangsa ini. Buat perdamaian dunia ini. Bahkan buat kebahagiaan setiap makhluk bumi ini. Intinya radikalisme itu “public enemy”, khususnya musuh bagi kemanusiaan.
Karena itu, kita harus hadapi bersama. Tidak perlu saling tuduh dan klaim. Radikalisme itu bukan hanya terjadi di dalam agama tertentu. Bukan pula spesial di kalangan tertentu. Selama seseorang berpikir serampangan, itu juga bisa digolongkan radikal. Kata orang Jawa, radikal itu “radi-nakal” alias agak nakal.
Intinya, radikalisme bisa merasuki siapa saja. Bisa dari kelompok atau agama apapun. Namanya juga ideologi. Abstrak, tidak jelas. Bisa jadi, paham-paham radikal juga sudah menjangkiti tokoh-tokoh aktifis demokrasi. Bukankah mereka nampak sering main tuduh?
Mari kita cermati. Ideologi itu bukan melulu soal tampilan (identitas). Ideologi juga soal ragam motivasi. Bisa karena alasan agama. Putus asa lalu pengen dapat 72 bidadari sorga. Ada alasan politik. Ada alasan ekonomi. Ada pula karena latar belakang ras atau kelompok.
Lalu apa hubungannya dengan Home Schooling (HS) yang belakangan diberitakan “miring” oleh media. Ada yang angkat judul beritanya bombastis: “Home Schooling Terpapar Radikalisme. What? Adakah yang salah dari judul itu?
Ya. Judul itu sangat simplistik. Apa premis minor dan mayornya? Kenapa result (natijah) nya begitu? Sudah belajar mantiq belum? Apakah mereka menganut kaidah: “min ithlaqil juz wa iradat al-kull”? (Ditemukan sebagian tapi yang dimaksud keseluruhan).
Oke saya ingin perjelas fokus saya. Saya paham, jika media ingin produknya dibaca. Tapi saya kira jangan begitu-gitu amatlah. Saya paham, judul berita itu berawal dari hasil riset PPIM (Pusat Pengembangan Islam dan Masyarakat) UIN, Jakarta. Dari mereka itu, ada temen-temen saya. Mereka bekerja untuk misi kebangsaan. Meski saya sempat terpikir, kenapa hasil riset mereka akhir-akhir ini kok sedikit-sedikit terpapar radikalisme yah. Entahlah.
OK. Pastinya, hasil riset mereka sudah saya baca. Saya ambil dari kutipan media begini:
“Koordinator Peneliti PPIM UIN Jakarta, Arif Subhan, menuturkan, hasil penelitiannya tidak berarti menggeneralisasi bahwa HS radikal, tetapi berpotensi menyuburkan paham radikalisme. Dari 56 sampel HS yang tersebar di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, Solo, Surabaya, Makassar, dan Padang, ada lima HS yang terindikasi terpapar radikalisme. Kelimanya merupakan HS berbasis ajaran Islam yang bersifat eksklusif.”
Mari kita telaah secara verbatim analysis. Pertama, “hasil penelitiannya tidak berarti menggeneralisasi bahwa HS radikal”. Apa yang kita pahami dari teks ini? Very clear, bahwa hasil penelitian PPIM itu tidak bisa untuk nembak dengan mata tertutup dengan mengarahkan peluru ke semua komunitas HS.
Kedua, kalimat “tetapi berpotensi menyuburkan paham radikalisme”. Mungkin ini yang dijadikan simpulan media agar menarik dibaca bahwa HS menjadi ladang penanaman bibit radikalisme. Apa yg kita pahami tentang “potensi”?
Jika ditengok pengertiannya dalam dictionary, “potential is latent qualities or abilities that may be developed and lead to future success or usefulness”. Intinya, potensi itu kualitas dan kemampuan laten yang mungkin bisa dikembangkan di masa depan. Nah, karena radikalisme itu menyangkut hal abstrak, maka setiap orang punya potensi. Setiap kelompok dan sekolah formal sekalipun juga berpotensi terpapar. Bahkan ada hasil riset yang menyebut sebagian tentara dan polisi juga terpapar radikalisme. Bukankah kalau HS ada prosentasenya? Mari kita lihat fakta selanjutnya!
“Dari 56 sampel HS yang tersebar di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, Solo, Surabaya, Makassar, dan Padang, ada lima HS yang terindikasi terpapar radikalisme”. Its only 5 HS dari 56 sample. Artinya, hanya 8.9%, tidak sampe 10%. Itupun mereka diidentifikasi sebagai kelompok agama eksklusif. Tentu kelompok mereka bisa diasumsikan bukan hanya memiliki HS, tetapi bisa jadi mereka memiliki sekolah-sekolah publik klasikal yang juga berpandangan keagamaan sama.
Selain itu, yang saya kasih underline di sini adalah “indikasi terpapar radikalisme”. What’s indication? Indikasi itu apa? Dalam konteks ini, yang berhubungan dengan ciri paham, sikap, dan perilaku yang mengarah kepada suatu definisi radikalisme. Karena masih indikasi, sehingga belum bisa disebut “terpapar” dalam arti sesungguhnya. Terlebih ditemukan di lapangan bahwa mereka adalah kelompok eksklusif. So, this matter has very clear!
Potret Home Schooling
Sebagai orang tua dari dua anak yang ikut Home Schooling, saya ingin ikut nimbrung nenjelaskan apa sesungguhnya HS itu. Bagaimana habit akademik model sekolah ini? Bagaimana pola relasi keberagamaan di HS?
Terus terang, masih banyak orang yang tidak paham atau gagal paham dengan HS ini. Ya kalau tidak pernah ingin paham, bagaimana bisa paham?
Pertama, apa itu HS? HS itu jangan dipahami leiterleck sebagai sekolah di rumah. Jika anda memahaminya seperti, berarti kurang jauh pikniknya. Minimal ngopinya tidak pernah pahit. Sekalinya ngopi pahit dicampur (mix) dengan susu jahe. Itu pun ditambah es pula, seperti kopi Vietnam.
HS itu adalah salah satu model (varian) pendidikan yang diakomodir oleh UU Sisdiknas. Artinya, HS juga diakui oleh negara selama kurikulum minimalnya mengikuti kurukulum nasional. Selebihnya bisa diadaptasi dari manapun, seperti Cambrige, Al-Azhar, dll.
Bagaimana dengan cara belajarnya, kan tidak ada kelas? Lho bukankah belajar bisa dilakukan dengan gaya apa saja? Bukankah setiap anak memiliki gaya belajar berbeda-beda? Yang penting, belajar itu bisa transfer of knowledge, menumbuhkan kreatifitas, inovasi, dan membentuk karakter yang kuat, apapun medianya, yang tidak selalu dalam kelas klasikal.
Kedua, tradisi akademik HS itu seperti apa? Ya, awalnya memang saya berat memutuskan dua anak saya gabung HS. Banyak asumsi yang memenuhi kepala saya saat itu. Namun seiring berjalannya waktu dan beberapa alasan khusus, akhirnya saya bisa menerimanya karena HS memberi ruang yang luas, bahkan sangat luas agar anak didik memiliki habit akademik yang bagus. Mereka benar-benar dididik agar memiliki jiwa merdeka, kreatif, inovatif, dan mandiri. Mereka tidak perlu takut ada bullying di tempat belajar seperti sekolah klasik karena orang tua akan selalu mengawasi.
Jujur, anak-anak HS itu lebih ekspresif, dan memiliki tingkat kepercayaan diri lebih tinggi dari rata-rata anak-anak sekolah klasikal. Kualitasnya pun boleh diadu. Tapi kan HS tidak ada mekanisme evaluasi? Lagi-lagi banyak disinformasi tentang HS. Yang jelas, HS juga memiliki sistem evaluasi menyeluruh untuk mengetahui perkembangan anak didik.
Ketiga, pola keberagamaan HS seperti apa? Nah ini yang mungkin relevan dengan persoalan inti. Selama saya mengikuti dinamika keberagamaan 2 anak saya di HS, saya tidak pernah menemukan apa yang disebut “indikasi” radikalisme. Apalagi saya bisa dibilang “aktifis” moderasi beragama. Sering mengisi workshop, seminar, diklat, menulis artikel, jurnal, dan semacamnya tentang moderasi beragama. Pastinya saya tidak akan rela anak-anak saya “terpapar” paham radikalisme.
Nah, yang saya lihat dan rasakan langsung, justru lingkungan komunitas HS itu sangat demokratis. Tidak ada suasana diskriminatif. Sesama Islam ada yang berjilbab biasa, jilbab syar’i, gamis gombrong plus cadar hitam, hingga yg pake celana pendek mereka bergaul sangat akrab. Tidak ada sikap intoleran, apalagi saling judgement paling benar atas paham dan aliran yg berbeda. Bahkan banyak pula dari kalangan beda agama, ada yg Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya.
Dari fenomena itu justru saya berpikir bahwa komunitas-komunitas HS mendidik anak-anak sejak dini agar berpikir, bersikap, dan bertindak toleran dan moderat. Bagi mereka, agama dan paham keagamaan itu pilihan personal, tidak perlu diperdebatkan, apalagi saling meniadakan. Jika pun ada komunitas tertutup, jumlahnya amat sedikit. Tentu kehadiran mereka tidak mewakili semua rumpun HS di mula bumi nan indah ini.
Kesimpulannya, HS berbasis komunitas merupakan media pendidikan yang sangat terbuka, dan menjadi model pendidikan dengan relasi keberagamaan yg inklusif. Kesimpulan bahwa HS sebagai tempat tumbuhnya bibit radikalisme tertolak secara otomatis.
Bahwa ada data sebagian kecil HS diduga terindikasi terpapar radikalisme, memang siapa yang bisa mencegah? Ini PR kita semua, seluruh komponen bangsa ini. Kelompok apapun, termasuk keamanan sekalipun, tetap ada potensi dirasuki paham radikal. Ibaratnya, paham radikal itu seperti penyakit endemik yang sangat lembut menusuk korban siapapun. Apakah masih berkesimpulan kalau HS itu tempat tumbuh kembangnya radikalisme?
Wallahu a’lam.
Thobib Al-Asyhar, ayah dari dua anak HS, wakil ketua Komisi Infokom MUI, dosen SKSG UI Salemba, Jakarta.
Leave a Reply