Media Amerika Wall Street Journal beberapa hari lalu menulis tuduhan bahwa beberapa pimpinan Ormas Islam, Jurnalis, dan Akademisi di Indonesia mendapatkan suap dari Pemerintah China. Tuduhan itu menyusul anggapan bahwa negara-negara mayoritas muslim terkesan diam terhadap isu Uighur, tidak seperti media Barat yang terus menerus memberitakan.
Sejak akhir tahun lalu, beberapa media besar Barat seperti Guardian, BBC, Wall Street Journal, bahkan New York Post banyak mengulas mengenai isu Uighur di Xinjiang. Di tengah gegap gempita berita dari media Barat itu, beberapa mempertanyakan mengapa negara mayoritas muslim justru terkesan diam dengan isu itu, tidak seperti Amerika dan negara Barat lainnya. Lalu muncul desas-desus, dan yang terbaru seperti yang ditulis WSJ itu.
Tuduhan WSJ tersebut berdasarkan pada usaha pemerintah Cina mengundang jurnalis, akademisi, politisi, bahkan influencer sosial media untuk melihat langsung kondisi di Xinjiang pada Februari 2019 lalu. Sembilan bulan yang lalu, beberapa pimpinan MUI, NU, Muhammadiyah, jurnalis media nasional, dan akademisi memang diundang pemerintah China untuk melihat kondisi Xinjiang secara langsung. Pimpinan MUI menerima penawaran itu dalam rangka tabayyun karena kehebohan isu Xinjiang, termasuk klaim penahanan sejuta warga Xinjiang selalu datang dari media Barat. Kunjungan itulah yang dianggap WSJ sebagai suap agar banyak yang diam dengan isu Uighur.
Merespon tuduhan tersebut, Sekjen MUI Pusat Buya Anwar Abbas menilai bahwa selama ini MUI telah menjalankan tugas sesuai porsinya. MUI, kata dia, telah menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
Buya Anwar mengungkapkan tidak pernah mendukung tindakan represif di manapun, entah itu di Xinjiang ataupun di Afghanistan yang dilakukan Amerika.
“Kita mengutuk tindakan dan sikap Pemerintah China terhadap umat Islam Uighur dan sikap pemerintah Amerika terhadap Afghanistan dan rakyat Palestina yang dzalim, karena MUI cinta damai dan cinta keadilan,” ungkap Buya Anwar, Jumat (13/12) di Kantor MUI Pusat, Jakarta.
Labih lanjut Anwar mengatakan, tuduhan bahwa setelah kunjungan kemudian banyak yang diam itu tidak beralasan. Bahkan, katanya, kalaupun pemerintah China mengundang MUI untuk datang ke China seribu kali pun tetap tidak akan mengubah posisi MUI bila masih ada kekerasan terhadap Uighur di Xinjiang.
“Meskipun seribu kali pemerintah China mengundang MUI datang ke China, selama pemerintah China tidak bisa menghormati hak-hak beragama rakyat Uighur, maka MUI akan tetap bersuara lantang,” tegas dia.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Infokom yang pada Februari lalu sempat ke Xinjiang mengungkapkan bahwa tuduhan itu menyederhanakan masalah. MUI, kata dia, memiliki sikap sendiri yang berbeda dengan media-media Barat dalam merespon isu Xinjiang. Hanya karena berbeda respon, tidak lantas MUI tidak bersuara tentang Xinjiang.
“Kami punya sikap yang jelas tentang saudara kami di Xinjiang. Sikap kami tentu tidak sama dengan sikap orang-orang yang selama ini mengkritisi China, terutama Amerika dan Barat,” kata dia.
“Kalau (respon) kami tidak sama dengan mereka (Amerika), janganlah kemudian kami dituduh seperti menerima ini dan itu, seakan-akan kami terkena sogok yang asalnya kritis lalu tidak kritis, itu tidak benar,” imbuhnya.
MUI sendiri beberapa kali juga menerima kunjungan dari delegasi Uighur. Terakhir, Delegasi Uighur sekaligus Ketua Majelis Turkistan Timur Seyit Tumturk dua minggu lalu diterima di MUI. Langkah MUI dalam merespon isu Uighur memang berbeda dengan Barat dan medianya, namun tidak berarti MUI diam.
Amerika dan Barat sejak akhir tahun lalu memang fokus memberitakn isu Uighur. Laporan ada sejuta masyarakat Uighur yang ditahan di Kamp Konsentrasi juga bermula dari media Barat akhir tahun lalu. Yang terbaru, merespon masalah Uighur ini, DPR Amerika meloloskan undang-undang Uighur 2019 atau Uighur Act 2019. Lolosnya undang-undang memicu reaksi keras dari China dan semakin merenggangkan hubungan kedua negara setelah perang dagang yang berlarut-larut. (Azhar/Thobib)
Leave a Reply