Oleh Erni Juliana Al Hasanah Nasution*
Pandemi Covid-19 telah menyebar di lebih dari 213 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Setiap negara menyikapinya dengan berbagai cara. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk 265 juta jiwa tidak serta merta mengadopsi cara yang ditempuh negara lain. Indonesia memilih mengambil kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang di anggap paling pas dengan konsisi masyarakat dan geopolitik Indonesia.
Pemerintah Indonesia dalam membuat kebijakan terkait Covid-19 tentu dengan mempertimbangan berbagai faktor termasuk memperhatikan demografi sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kebijakan PSBB mengharuskan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya dari rumah termasuk dalam beribadah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga strategis yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia tentu memiliki peranan yang sangat signifikan dalam mendukung pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang berdampak pada masyarakat muslim khususnya yang berkaitan dengan ibadah.
MUI sadar betul mempunyai tanggung jawab besar untuk menjalankan peranannya sebagai pelayan umat (khadim al-ummah). Tidak cukup hanya sekedar menunaikan tugas saja, sekedar memberi dukungan moril dan sprituil saja, umat membutuhkan lebih dari itu, disaat seperti ini umat membutuhkan pelayanan yang lebih prima (service excellent) untuk dapat melawan dan menghadapi wabah ini dengan istikamah.
Sejak tahun 2017 MUI telah mengunakan system manajemen mutu ISO 9001:2015 dalam tatakelola organisasinya. Fokus utama dari ISO 9001:2015 adalah kepuasan umat sebagai stakeholder utamanya, memenuhi dan memberi lebih dari sekedar yang dibutuhan umat sehingga meningkatkan kepercayaan stakeholder (umat) kepada MUI. Umat adalah alasan kelahiran MUI.
Sebagai “Penjaga” NKRI dalam bentuk persatuan ukhuwah Islamiyah, MUI mendukung kebijakan pemerintah melakukan “phisical distancing” apalagi setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, MUI meliburkan aktifitas kantor sejak tanggal 18 Maret 2020 dengan tetap memberlakukan jadwal piket agar umat terlayani.
Walaupun sekretariat libur, MUI justru semakin produktif, rapat-rapat koordinasi tetap dilakukan melalui media sosial, diskusi via webinar, pengajian online, dakwah online bahkan semakin intens dengan berbagai tema keumatan yang sedang in di masyarakat.
Justru ada hikmah tersendiri di balik wabah ini. MUI yang notabene pengurusnya adalah orang-orang yang sudah senior (untuk tidak mengatakan tua) dipaksa akrab dengan dunia digital dan tools-nya. Dan ternyata bisa, ini tentu luar biasa, cara-cara tradisional dengan sendirinya bertransformasi menjadi modern.
Sebagai pelayan umat dalam memberikan fatwa (mufti), MUI dengan cepat merespon kegelisahan umat khususnya yang menyangkut masalah ibadah. dalam bulan maret ini saja (rentang waktu 16-27 Maret 2020) MUI telah mengeluarkan 3 (tiga) fatwa Untuk merespon harapan umat untuk memberikan layanan yang prima.
Pertama, Fatwa nomor 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19, dimana bagi orang yang telah terpapar Covid-19, baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur, bagi orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19 tapi berada di kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah sholat lima waktu/rawatib, tarawih, dan salat Ied di masjid atau tempat umum lainnya.
Kedua, Fatwa No. 17 tahun 2020 Tentang Pedoman Kaifiat Shalat Bagi Tenaga Kesehatan Yang Memakai Alat Pelindung Diri (APD) Saat Merawat dan Menangani Pasien Covid-19. Fatwa ini juga dikeluarga untuk memenuhi harapan umat, khususnya tenaga medis, untuk kepentingan keselamatan, tenaga kesehatan yang merawat dan menangani pasien Covid-19 harus memakai APD sekali pakai selama bekerja, kadang dalam waktu yang panjang sehingga sulit untuk wudhu dan tayamum saat akan mendirikan shalat dan kesulitan melaksanakan shalat tepat waktu.
Ketiga, Fatwa MUI, Nomor: 18 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pengurusan Jenazah Muslim Yang Terinfeksi Covid-19. Hal ini untuk menjawab tentang kemungkinan pada orang yang sudah meninggal karena Covid-19, virusnya masih ada di tubuhnya dan dapat menularkan pada orang lain yang melakukan kontak dengan jenazah, sehingga muncul pertanyaan tentang tata cara pengurusan jenazah Muslim pasien Covid-19 yang meliputi memandikan, mengafani, menyalatkan, dan mengebumikan sebagaimana aturan syariat terhadap jenazah pada umumnya.
Selanjutnya MUI mengajak umat Islam meningkatkan solidaritas dan saling membantu antar sesama manusia, peka terhadap lingkungan sekitar dan para tetangganya. Tentunya hal tersebut harus didukung oleh pemerintah, untuk itu MUI menyeru pemerintah agar membatasi secara ketat pergerakan masyarakat yang akan mudik atau yang akan berpindah dari daerah ke daerah lainnya.
Sebagai wujud kepedulian pada umat, MUI membentuk Satuan Tugas (Satgas) penanganan pandemi wabah Covid-19. MUI berkomitmen memaksimalkan kinerja membantu masyarakat baik tim medis ataupun mereka yang terdampak Covid-19. Guna memaksimalkan kinerja Satgas Covid-19, MUI bersinergi dengan pihak terkait seperti BNPB dan Satgas Nasional Covid-19, termasuk dengan jejaring ormas-ormas Islam dan lembaga filantropi.
Satgas Covid-19 MUI ini menyiapkan relawan untuk pendampingan keagamaan secara virtual pada pasien yang dalam isolasi serta menjadi konsultan tempat bertanya masyarakat dalam pengurusan jenazah. Mengedukasi masyarakat tentang isu-isu penting terkait pandemi Corona seperti tentang tidak bolehnya penolakan pemakaman jenazah Covid-19 dan edukasi umat terkait pelaksanaan beribadah selama wabah Covid-19.
MUI juga mendorong pengelola media massa, khususnya televisi dan radio agar mempersiapkan berbagai acara siaran –terutama di bulan Ramadhan– yang sejalan dengan nilai-nilai akhlak mulia dan semangat gotong royong, saling membantu, dan berlomba dalam kebaikan. Media massa harus dijadikan sarana sedukasi yang konstruktif, terutama terkait penanganan Covid-19.
Kita punya kekuatan besar untuk mengendalikan pandemi ini. Kerjasama antar berbagai pihak yang berbasis komunitas sangat diharapkan. Pemerintah dengan kewenangannya wajib melakukan pembatasan super ketat terhadap keluar-masuknya orang dan barang ke dan dari Indonesia kecuali petugas medis dan barang kebutuhan pokok serta keperluan emergensi.
Bersama MUI, umat Islam wajib mendukung dan menaati kebijakan pemerintah yang melakukan isolasi dan pengobatan terhadap orang yang terpapar Covid-19, agar penyebaran virus tersebut dapat dicegah. Terhadap mereka yang suspect atau terpapar Covid-19 kita harus menyikapi secara proporsional, tidak menolak, tapi tidak juga berhubungan secara langsung. Terhadap mereka yang sudah dinyatakan negatif dan/atau dinyatakan sudah sembuh, kita harus menerimanya dengan baik untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Tentu masih banyak hal lain yang harus dilakukan MUI untuk menghantarkan umat menjadi masyarakat yang berkualitas (khaira ummah) sebagai organisasi yang sudah berstandar internasional umat menanti service excellence / pelayanan yang memberikan nilai tambah (value added), dengan didukung leadership (kepemimpinan) yang kuat Insya Allah visi besar baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur akan terwujud. (ed: Din)
*Penulis adalah Dosen Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Jakarta
Sekretaris Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (KPEU-MUI)
Leave a Reply