Belakangan ini banyak orang mengolah Ulat Jerman itu untuk menjadi bahan konsumsi. Misalnya dibuat menjadi campuran sambal, atau rempeyek, seperti rempeyek udang/ebi, dll. Ada yang menyebutkan kandungan gizinya sangat baik.
Bahkan karena kandungan lemaknya juga tinggi, maka ada yang malah sengaja membudi-dayakannya untuk diolah menjadi minyak goreng. Karena dianggap lebih ramah lingkungan. Sebagai pengganti minyak goreng dari kelapa sawit, yang memerlukan lahan sangat luas, dan dianggap cenderung merusak (keseimbangan) lingkungan.
Melihat hal tersebut, para ulama berpendapat bahwa sejatinya, penetapan hukum dalam Islam itu sederhana. Yaitu merujuk pada ketentuan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dari sini, maka dapat dipahami, makanan yang haram itu hanya sedikit, sebagaimana yang disebutkan secara spesifik di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Sedangkan selebihnya, yang halal itu, sangat banyak.
Dari sisi nash syariah, hukum tentang makan Ulat Jerman ini tidak ada di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Juga tidak ada dalil nash yang sharih (secara jelas dan tegas) menyatakan keharamannya. Dalam hal ini, maka sebagai petunjuk dapat merujuk pada Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan: “Al-ashlu fi al-asy-ya’i al-ibaahah, illaa maa dalla daliilu ‘alaa tahriimihi” (Segala sesuatu itu pada dasarnya adalah mubah atau boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Dengan demikian dalam kaidah syariah, mengkonsumsi Ulat Jerman itu termasuk kategori yang didiamkan. Oleh karenanya, sepanjang tidak dijelaskan dengan tegas tentang keharamannya, atau tidak menjijikkan, atau tidak membahayakan, maka Ulat Jerman itu boleh dikonsumsi.
Para ulama menafsirkan dan menjelaskan, hal-hal yang didiamkan itu juga berarti Ma’fu ‘Anhu, hal yang dimaafkan. Artinya, dibolehkan atau halal hukumnya, kecuali kalau menjijikkan dan/atau membahayakan. Dalam hal ini berlaku kaidah hukum yang bersifat umum, yaitu kemanfaatan dan kemaslahatan. Kalau bermanfaat dan membawa maslahat (kebaikan), maka diperbolehkan. Dan sebaliknya, kalau membahayakan, maka terlarang: “Laa dhoror wa laa dhiror”. Tidak boleh membahayakan atau menimbulkan bahaya. Kalau berbahaya, maka menjadi haram.
Menjijikkan, sebagai terjemahan dari ungkapan kata “Khobaits” yang disebutkan dalam nash, itu artinya bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang normal, sehingga akan selalu dihindari orang. Memang, menjijikkan itu sendiri sangat relatif. Misalnya, bagi orang tertentu, buah durian sangat menjijikkan. Mencium aroma atau baunya saja, langsung mau muntah. Sehingga membahayakan bagi dirinya. Maka, bagi orang itu, durian menjadi terlarang. Oleh karena itu, sebagian ulama menjelaskan “Khobaits” bermakna menjijikkan itu adalah najis. Karena, boleh dikata, semua orang tentu akan merasa jijik dengan najis.
Ulat itu kalau termasuk khobaits, menjijikkan, maka hukumnya haram untuk dikonsumsi, sedangkan kalau tidak termasuk khobaits, maka hukumnya boleh atau halal. Karena ada pendapat ulama, kalau ulat itu hidup di lingkungan atau dari pakan yang halal, maka hukumnya halal pula untuk dikonsumsi. Sebaliknya, kalau pakannya dari barang yang haram atau najis, maka hukumnya juga haram. Seperti ulat atau belatung yang hidup dan makanannya dari bangkai, maka hukumnya haram. Sedangkan kalau ulat itu hidup di dalam buah, misalnya buah mangga atau kacang panjang, lalu termakan, maka itu tidak masalah dari sisi agama. Dari sini maka dapat dipahami, kalau ulat itu dibudidayakan, maka harus diketahui terlebih dahulu pakannya.
Meskipun demikian, secara spesifik dapat dijelaskan bahwa Ulat Jerman itu merupakan bagian dari tahapan metamorfosa kumbang. Menurut pendapat sebagian ulama, secara fisikal, tampilan fisik, Ulat Jerman itu memiliki unsur Istiqdzar atau menjijikkan, termasuk bagian dari Khobaits dalam pengertian yang umum. Kalau memang bisa disimpulkan termasuk Istiqdzar secara umum, maka mengkonsumsi Ulat Jerman itu menjadi terlarang. Karena ia bersifat Khobaits. Tetapi jika, dengan berbagai alasan, Ulat Jerman itu tidak termasuk Istiqdzar, maka ia tidak termasuk Khobaits, dan berarti tidak haram. Bisa dihukumi sama dengan hewan/serangga Cochineal yang telah difatwakan halal oleh Komisi Fatwa (KF) MUI. Atau juga seperti laron yang juga halal, dan telah lazim dikonsumsi oleh sebagian masyarakat.
Lebih lanjut lagi, menurut para ulama, ulat itu merupakan salah satu jenis hewan yang termasuk ke dalam kategori al-Hasyarot, dan dapat diqiyashkan atau dianalogikan sama dengan cacing.
Berkenaan dengan hal ini, dalam Fatwa yang telah ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI, dan telah pula dipublikasikan dalam buku Himpunan Fatwa MUI, hal 636-638, disebutkan bahwa sebagian ulama ada yang berpendapat halal hukumnya memakan cacing, sepanjang ia bermanfaat, dan tidak membahayakan. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Al-Auza’i. Namun ada pula pendapat ulama yang mengharamkan memakannya.
Berikutnya, membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, maka hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. sedangkan membudidayakan cacing ini untuk diambil sendiri manfaatnya secara tidak langsung, misalnya untuk pakan burung, tidak untuk dikonsumsi manusia, maka hukumnya boleh (mubah).
Selain itu, harus pula ditelaah, apakah Ulat Jerman itu memiliki darah yang berwarna merah, atau darah yang mengalir. Sebab, kalau mengandung darah yang demikian, maka hukumnya haram. Oleh karena itu perlu pula dilakukan verifikasi dari tenaga ahli biologi atau pakar hewan jenis ini. Kami sebagai ulama, hanya bisa memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan tentang ketentuan halal-haram untuk hewan jenis ini. Sampai sejauh ini, Komisi Fatwa MUI belum mengeluarkan fatwa khusus tentang halal atau haramnya mengkonsumsi hewan ini. Wallahu a’lam. (USM)
Sumber foto : abahtani.com
Leave a Reply