Hukum Mengonsumsi Daging Kuda

Ada sebuah anggapan bahwa mengonsumsi daging kuda dapat meningkatkan vitalitas, vitalitas, menambah stamina tubuh, menyembuhkan pegal linu, dan lain-lain. Sehingga diharapkan secara bertahap dapat mengatasi keluhan yang saya kemukakan itu.

Kuda telah lama dikenal memiliki tenaga yang besar dan kuat, dapat berlari kencang, menempuh jarak yang jauh. Sehingga sering digunakan untuk membawa beban atau menarik delman. Bahkan di bidang permesinan, daya kekuatan suatu mesin banyak yang diukur dengan satuan “Horse Power” atau Tenaga Kuda. Mengindikasikan kekuatannya dapat diandalkan. Maka daging kuda itu dianggap dapat memberikan kekuatannya bagi kehidupan orang yang mengkonsumsinya.

Melihat fenomena seperti ini, beginilah penjelasan para ulama mengenai hukum mengonsumsi daging kuda.

Pada dasarnya daging kuda itu halal. Termasuk kategori Al-Baha’im, atau Bahimatul-An’am, kelompok binatang ternak. Dan dagingnya termasuk “Ma’kulul-lahm”. Dagingnya boleh dimakan. Meskipun dalam satu riwayat disebutkan, di masa Nabi saw pernah dilarang memakannya, secara temporer, bersifat sementara. Karena adanya kebutuhan kondisional pada saat itu. Yakni dibutuhkan sebagai bagian dari alat atau sarana perang.

Konteks larangan memakan daging kuda di masa itu adalah dalam rangka untuk kebutuhan perang. Dalam kaidah Ushul-Fiqh disebutkan, “Al-Hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi, wujudan wa ‘adaman”. Ketetapan hukum itu tergantung pada ‘illat-nya, adanya atau tiadanya ‘illat itu. Sama dengan kondisi sekarang, misalnya, dimana pemerintah membuat peraturan yang melarang menyembelih sapi betina yang masih produktif. Karena akan mengganggu bahkan menghambat perkembang-biakan ternak sapi domestik, yang sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan protein hewani masyarakat. Kalau ada yang melanggarnya, maka dapat dihukum denda, atau malah dihukum penjara. Dalam bahasa atau kaidah Fiqhiyyah hal itu termasuk kategori Makruh Tahrim. Ketentuan hukumnya secara Fiqhiyyah bersifat Makruh, tetapi dalam prakteknya terlarang dilakukan,

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia mengatakan, “Pada penaklukan Khoibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging keledai jinak, dan beliau membolehkan daging kuda.” (HR. Bukhari 3982 dan Muslim 1941).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia menceritakan: “Kami pernah bersafar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kami makan daging kuda dan minum susunya.” (HR. Ad-Daruquthni, al-Baihaqi. An-Nawawi mengatakan: Sanadnya shahih).

Meskipun demikian, menurut pendapat Abu Hanifah dan dua murid dekatnya: Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, daging kuda hukumnya makruh untuk dimakan.  Kalangan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa makan daging kuda adalah makruh. Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan sebagai berikut; “Dan halal dari hewan adalah makan kuda dan zirafah (jerapah). Ulama Hanafiyah berkata, ‘Makan kuda adalah Makruh (dengan kategori Makruh) Tanzih.”

Makruh Tanzih itu sendiri ialah segala sesuatu yang (dipahami) bersifat terlarang oleh Syara’ namun secara tidak tegas. Hanya dipaham dengan melalui dalil yang masih bersifat Zhanni. Dalam penjelasan lain, Makruh Tanzih itu didefinisikan dengan meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya, meskipun tidak ada hukuman dalam melakukannya. (Al-Mustashfa, 1/215-216).

Pendapat mereka yang memakruhkan memakan daging kuda, berdasarkan dalil di surat An-Nahl ayat 5 sampai 7, Allah menyebutkan tentang Bahimatul An’am (unta, sapi, dan kambing). Allah sebutkan manfaat yang didapat oleh manusia dengan binatang itu, termasuk manfaat untuk dimakan. Kemudian di ayat ke-8 Allah menyebutkan jenis hewan yang lain: “Dia menciptakan kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), dan keledai, agar bisa kalian tunggangi dan sebagai hiasan. Dia juga menciptakan makhluk yang tidak kalian ketahui.” (QS. An-Nahl: 8).

Di ayat ke-8 ini Allah tidak menyebutkan fungsi mereka (hewan-hewan itu) untuk dimakan. Padahal Allah sebutkan manfaat ‘dimakan’ pada Bahimatul An’am yang disebutkan di ayat sebelumnya.

Namun pendalilan ini disanggah. Berdalil dengan ayat ini untuk menghukumi makruhnya makan daging kuda adalah menyimpulkan dalil yang kurang tepat. Karena penyebutan fungsi kuda, bighal, dan khimar untuk dinaiki dan sebagai hiasan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa binatang ini tidak boleh dimanfaatkan untuk yang lainnya (untuk dimakan). Disebutkan manfaat ‘bisa tunggangi dan sebagai hiasan’ karena itulah umumnya manfaat yang diambil dari kuda.

Selain itu, kehalalan daging kuda juga karena tak ada dalil atau nash yang melarangnya dengan Sharih (jelas dan tegas). Para ulama menjelaskan, kuda tidak termasuk ke dalam kategori hewan yang haram, dilarang untuk dikonsumsi. Seperti buas, Khabaits (menjijikkan), Jallalah (memakan najis), binatang bertaring yang dengan taringnya ia memangsa dan menyerang musuh/mangsanya.

Ditegaskan di dalam ayat Al-Quran yang artinya: “Dan menghalalkan bagi mereka Ath-Thoyyibaat (segala yang baik) dan mengharamkan bagi mereka Al-Khobaits (segala yang buruk, menjijikkan).” (QS. Al-A’raaf, 7: 157).

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu Dawud no. 3785 dan At-Tirmidzi no. 1824).

Dalam hadits lain, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Semua binatang yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” [HR. Muslim].

Juga diriwayatkan oleh Idris Al-Khalulani, dia mendengar Abu Tsa’labah al-Khutsani berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932).

Selanjutnya, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934).

Meskipun demikian, kehalalan daging kuda menurut para ulama yang menghalalkannya, tetap harus berdasarkan syarat-syarat yang Mu’tabar seperti harus disembelih secara Syar’i, dan ketentuan lain yang telah ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI dalam hal penyembelihan hewan sesuai dengan kaidah Syariah.

Wallahu a’lam. (USM)



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia