Liputan Perjalanan
oleh : Thobib Al-Asyhar
Setelah berziarah ke makam Sulthanul Auliya, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany, perjalanan pun dilanjutkan. Konteksnya masih sama, ziarah kubur. Kesempatan emas yang jarang dimiliki orang lain. Destinasi ziarah kedua, kami dijadwalkan menuju makam ulama besar mazhab fikih Sunni, Imam Abu Hanifah. Pendiri Mazhab Hanafi yang sangat terkenal di dunia. Ya Allah, saya mengagumi beliau dengan pemikirannya yang maju dan keren. Bagi kami, Imam Abu Hanifah adalah imam mazhab yang menjunjung tinggi rasionalitas melalui pendekatan qiyas dan istihsan (setelah Alquran, Sunnah, dan Ijma’).
Sebagaimana makam Shaikh Abdul Qadir al-Jailani, pembaringannya berada dalam sebuah kompleks yang sangat luas dan menjadi satu kesatuan dengan Masjid yang sangat luas. Ruang makamnya memang tidak sebagus makam Shaikh Abdul Qadir al-Jailani, posisinya berada di samping kiri masjid, dengan ornamen yang lebih sederhana. Ruangannya sekitar 4×4 meter, dengan karpet merah di bawahnya.
Selesai kami memanjatkan doa dan berharap mendapatkan berkah ilmu dan kearifan sang imam, kami sudah ditunggu oleh seorang ulama Dr Abdul Sattar Abdul Jabbar, pimpinan tertinggi “Majma’ Fiqih al-Iraqy” atau Pusat Perhimpunan Ulama Fikih Irak. Kantornya berada di sebelah kanan depan masjid yang masih satu lanskap kompleks pemakaman Imam Abu Hanifah, sehingga kami cukup berjalan kaki menuju ke sana. Gedung berwarna kuning tua tidak terlalu besar.
Saat kami tiba sudah ditunggu beliau di depan pintu bersama staf-stafnya. Di ruang tunggu, ada beberapa orang yang duduk menunggu, mungkin ingin bertemu dengan pimpinan atau ada urusan lain. Seperti biasa, kami disambut dengan ramah oleh tuan rumah sambil berangkulan ala tradisi Arab. Kami dipersilahkan duduk dalam sebuah ruangan yang cukup besar dengan kursi-kursi melingkar yang didesain khusus untuk menerima tamu, dengan bendera organisasi Majma’ Fiqih Iraq yang terpasang rapi.
Selama pertemuan, kami berbincang panjang lebar, penuh gelak tawa tapi serius. Shaikh Sattar memulai dengan menceritakan tentang Majma’ Fiqih Iraq. Delegasi Indonesia dipimpin oleh KH Muhiyyin Junaidi dari MUI, dan Dr Mukhlis M Hanafi, MA wakil Menag. Materi obrolan terus berlanjut sekitar kondisi negara masing-masing, khususnya terkait dengan dinamika politik, sejarah, dan kehidupan umat beragama mutakhir di Irak dan Indonesia.
Sekira 45 menit bertamu dengan disuguhi teh khas Arab dan orange juice kemasan, kami melanjutkan perjalanan spiritual menuju makam Shaikh Junaid Al-Baghdadi atau Abu Qasim al-Qawariri al-Khazzaz al-Nahawandi al-Baghdadi. Bagi para pengamal tasawuf, nama ini sangat tidak asing. Bisa disebut tokoh tasawuf yang sangat masyhur setelah Shaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Dibandingkan dengan dua makam sebelumnya, kondisi makam Shaikh Junaid Al-Baghdadi nampak kurang terawat dan lokasinya agak jauh dari keramaian. Bangunannya nampak kurang tertata rapi. Di sekitar bangunan utama bahkan ada ruangan kosong yang kurang terurus. Seperti tidak banyak orang yang mengunjungi di tempat ini dan kekurangan biaya untuk merawatnya. Maklum lah, mungkin negara terlalu lama berperang.
Beberapa saat untuk berdoa bersama, tim melanjutkan ke sebuah pemakaman umum yang kondisinya sangat memprihatinkan. Banyak puing-puing batu bata berserakan, lantai yang kotor, dan kondisi bangunan yang sudah amat tua dan rusak. Ada dua bangunan utama, sebelah kiri tertulis makam Nabi Yusya’ bin Nun, dan sebelah agak masuk ada Shaikh Bahlul Ibnu Amir al-Tashrifi. Shaikh Bahlul adalah salah seorang tokoh alim yang nyeleneh seperti Abu Nawas, sehingga ada sebutan (laqab) buruk bagi orang-orang yang nampak aneh.
Perjelanan melelahkan ke makam para ulama dan auliya menyadarkan saya betapa kota Baghdad merupakan kota tua yang dihuni oleh para alim dan saleh. Namun karena keserakahan manusia, saling berebut kekuasaan, negeri yang awalnya sebagai pusat peradaban dunia jadi hancur. Tak terkecuali situs-situs penting tidak terawatt karena perang yang berkepanjangan. Ini karena ulah Sebagian kelompok yang menamakan diri sebagai pejuang Daulah Islamiyah tetapi justru menghancurkan jejak-jejak kejayaannya.
Lalu, di penghujung sore itu waktu menunjukkan jam 17.15. Karena hari mulai mendekati malam, kami menyudahi petuangan spiritual dan menuju kantor KBRI untuk melanjutkan agenda berikutnya, yaitu memenuhi undangan Dubes dalam acara jamuan makan malam di sebuah restoran yang lumayan jauh dari KBRI. Meski tubuh sangat lemah, tetapi secara batin kami puas karena bisa berkunjung ke tempat-tempat luar biasa.
Thobib Al-Asyhar
(Salah satu delegasi Indonesia dalam Konferensi Internasional tentang Islam Wasathiyah di Baghdad, Wakil Ketua Infokom MUI)
Leave a Reply