MEMPERINGATI HARI ASYURO : 9 Muharram 1441 H/28 Agustus 2020

Oleh : Muchlis M Hanafi

Doktor Tafsir Alumni Al-Azhar Mesir, Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ)

Di antara anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah menjadikan waktu-waktu tertentu memiliki keutamaan dibanding lainnya sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Salah satunya adalah bulan Muharram, satu di antara empat bulan lainnya, yaitu Dzlqo`dah, Dzulhijjah dan Rajab, yang diagungkan dan disucikan oleh-Nya. Begitu mulianya empat bulan tersebut sampai-sampai Allah melarang perbuatan zalim dan maksiat, karena dosanya dilipatgandakan dibanding bulan-bulan lain (QS. At-Taubah: 36). Kata Muharram itu sendiri, secara bahasa, menegaskan keharaman melakukan kezaliman dan kemaksiatan di dalamnya, disamping kesucian dan keagungannya.

Salah satu kemuliaan bulan Muharram adalah keberadaan hari Asyura, yang merupakan hari kesepuluh di bulan tersebut. Kata Asyura popular di masa Islam, meskipun sebelum itu bangsa Arab telah biasa memuliakannya. Di hari itu Rasulullah perintahkan umatnya untuk berpuasa, karena memiliki kedudukan yang sangat luar biasa. Beliau sangat mengutamakan berpuasa di hari itu dibanding hari-hari lainnya, sebab puasa di hari itu, seperti dinyatakan dalam hadis riwayat Muslim, akan menghapuskan dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya (yukaffiru al-sanatal mâdhiyata). Bangsa Arab pada masa Jahiliyyah (sebelum Islam datang) juga memuliakannya dengan berpuasa. Demikian pula orang-orang Yahudi yang ada di Madinah.

Bahkan, dalam kisah sababul wurûd puasa Asyura, ketika tiba di Madinah Nabi menjumpai orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyuro. Alasannya, menurut mereka, ini adalah hari baik, sebab di hari itu Allah telah menyelamatkan bani Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa dari kejaran fir`aun dan bala tentaranya. Sebagai ungkapan rasa syukur, Nabi Musa berpuasa di setiap hari itu dan diikuti oleh umat Yahudi sampai masa Nabi Muhammad. Tentu, bukan hanya umat Yahudi, tetapi umat Nabi Muhammad juga lebih berhak memuliakan Nabi Musa, sehingga beliau perintahkan umatnya untuk berpuasa. Ana ahaqqu bi Mûsâ minkum (Aku lebih berhak memuliakan Musa daripada kalian), begitu katanya. Agar berbeda dengan umat Yahudi, beliau anjurkan untuk menambahkan puasa satu hari sebelum atau sesudah tanggal sepuluh Muharram.

Ma`âsyiral Muslimîn Hafizhakumullâh

Kisah tersebut mengajarkan kita untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan. Seruan Nabi untuk berpuasa di hari Asyura adalah upaya menghidupkan kembali kesadaran tentang sejarah, terutama yang memiliki dampak besar bagi kehidupan. Di hari Asyura Allah menunjukkan akhir perjuangan panjang membela kebenaran, yaitu dengan membinasakan penguasa tiran dengan segala kezalimannya. Dalam konteks kisah Nabi Musa, ditenggelamkannya Firaun di Laut Merah merupakan sebuah kemenangan besar, sehingga sangat wajar jika Allah perintahkan Nabi Musa untuk selalu mengingatkan bani Israil tentang berbagai nikmat karunia Allah dalam hari-hari kehidupan mereka. Wadzakkirhum bi ayyâmillâh (Ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah) (QS. Ibrahim: 5).

ana ahaqqu bi Mûsa minkum’ menunjukkan bahwa risalah yang dibawa oleh para nabi pada hakikatnya satu, yaitu menyeru kepada ajaran mengesakan Allah Swt. Hanya saja, syariat atau cara menjalankan ajaran agamanya berbeda antara satu dengan lainnya, sesuai dengan kondisi masing-masing. Dalam pernyataannya yang lain Rasulullah menegaskan, ‘ana awlan nâsi bi `Isâ ibni Maryam fid dunyâ wal âkhirah’, (Aku lebih berhak memuliakan Nabi Isa putra Maryam di dunia dan akhirat) sebab kedudukan para nabi itu seperti saudara satu bapak lain ibu (ikhwatun min `allâtin); ibunya (syariatnya) banyak dan bapaknya (agamanya) satu. Ini tidak berarti semua agama sama, sebab Al-Qur`an juga menegaskan terjadinya penyimpangan dan penyelewangan terhadap ajaran nabi-nabi terdahulu. Islam sebagai agama terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad menghimpun dan menyempurnakan ajaran-ajaran terdahulu.

Apresiasi dan penghormatan yang begitu sangat tinggi kepada nabi-nabi terdahulu membuat Islam menjunjung tinggi hubungan antara sesama pemeluk agama. Persaudaraan sesama manusia dibangun atas dasar kemanusiaan (ukhuwwah insâniyyah), bukan atas perbedaan agama, ras, warna kulit dan bahasa. Lihatlah bagaimana Rasulullah membangun masyarakat Madinah dengan segala keragaman suku dan agama yang ada melalui perjanjian yang tertuang dalam Piagam Madinah. Seluruh komponen masyarakat dipandang sebagai satu ‘ummat’ yang saling melindungi satu dengan lainnya. Begitu juga dengan pemeluk Kristen di Najran. Hal sama dilakukan Umar bin Khattab dengan penduduk Elia (Yerusalem) berupa jaminan keselamatan atas jiwa, harta dan rumah ibadah mereka setelah wilayah itu dikuasainya pada tahun 638 M (15 H).

Ma`âsyiral Muslimîn Hafizhakumullâh

Bila hubungan persaudaraan kemanusiaan dengan yang berbeda agama sangat ditekankan, apalagi dengan sesama Muslim. Meski berbeda dalam cara mengamalkan rincian ajaran agama, kesamaan keyakinan kepada Allah yang Maha Esa, Nabi mulia dan kitab sucinya, serta kiblat yang sama dalam shalat dan haji, itu semua cukup menjadi dasar untuk membangun persatuan atas dasar saudara seagama. Namun sayang, jauh panggang dari api. Sebagai contoh, kemulian dan kesucian hari Asyura tercoreng oleh peristiwa yang meniggalkan luka mendalam yang hingga saat ini memicu konflik berkepanjangan antara Muslim Sunni dan Syiah. Perselisihan semakin meruncing setiap kali hari Asyura datang. 

Di saat mayoritas Muslim penganut Ahlussunnah wal Jam`ah memperingati hari Asyura sebagai hari kesyukuran atas kemenangan dengan mengabadikan ingatan sejarah kemenangan Nabi Musa atas tirani kekuasaan Firaun, kaum Syiah memperingatinya sebagai hari kesedihan. Bahkan, dalam ritualnya ada yang sampai melukai diri agar bisa merasakan apa yang dialami oleh Sayyidunal Husain. Di hari itu, tepatnya pada tahun 61 H, Imam Husein beserta pengikutnya sebanyak 72 orang dibunuh dibunuh di Karbala Irak, oleh Yazid bin Muawiyah, penguasa saat itu. Peristiwa itu pada mulanya bermotifkan politik, tetapi memberi pengaruh psikologis dan teologis yang sangat mendalam, sehingga sampai sekarang kebencian dan kecurigaan menyelimuti hubungan antara dua tradisi keislaman; Sunni dan Syiah. Bahkan dengan mudahnya antara satu dengan lainnya saling mangkafirkan. Isu inilah yang berperan memecah belah persatuan umat seperti yang terjadi di beberapa negara Islam.

Tidak sepatutnya umat Islam terus tersandera oleh beban sejarah kelam di masa lalu. Sampai kapan peritiwa itu akan terus menghalangi persatuan umat. Lalu, apa dosa generasi belakangan yang tidak terlibat dalam peristiwa itu, bahkan mengingkarinya, sehingga harus menanggung beban sejarah masa lalu?

Umat Islam, Sunni dan Syiah, bersepakat tentang kedudukan Ahlul Bayt di hati kaum muslimin. Cinta kepada Nabi dan keluarganya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Bahkan, Imam Syafi`I menyatakan wajib hukumnya membaca shalawat (doa) untuk Ahlul bayt dalam shalat. Dalam bait syair beliau berdendang:

يا آل بيت رسول الله حبكمو                      فرض من الله فى القرآن أنزله

يكفيكم من عظيم الفخر أنكمو                  من لم يصل عليكم فلا صلاة له

Wahai Ahlu Bayt (keluarga) Rasulillah, mencintaimu adalah kewajiban dari Allah dalam Al-Qur`an yang diturunkan-Nya

Cukuplah kebanggaan luar biasa bagimu, bahwa yang tidak membaca shalawat (doa) untukmu (dalam shalat) maka tidak sah shalatnya.

Hubungan antara para Sahabat dengan Ahlul Bayt terjalin dengan baik penuh kecintaan dan kasih sayang. Imam Ali menikahkan putrinya Ummi Kultsum kepada Umar bin Khattab, dan menamakan anak-anaknya dengan nama Abu bakar, Umar dan Usman. Imam Musa al-Kazhim putra Imam Ja`far al-Shadiq menamakan salah seorang putranya dengan nama Abu Bakar dan putrinya bernama Aisyah. Lalu, mengapa cacian dan laknat terhadap para sahabat yang sangat dihormati oleh Muslim Sunni masih terdengar hingga kini? Padahal, Allah telah menyatakan dalam kitab suci-Nya:

﴿ وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ ١٠٠ ﴾

Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung. (QS. At-Taubah: 100).

Tentu, sebagai manusia mereka tak luput dari kesalahan. Tetapi, itu tidak berarti kita boleh merendahkan, apalagi mencaci dan melaknat mereka, wal`iyâdzu billâh. Kalaupun pernah terjadi konflik politik di masa lalu, biarlah itu bagian dari masa lalu yang harus menjadi pelajaran bagi generasi mendatang untuk menatap masa depan bersama yang lebih baik. Teladani Imam Syafi`i yang menyikapi persitiwa itu dengan mengatakan, “itu semua adalah peristiwa yang Allah telah jauhkan kita darinya, maka jangan kotori lisanmu dengannya” (hâdzihi ahdâtsun ab`adallâhu aydînâ `anhâ, falâ nulawwitsu alsinatana bihâ). Atau, Khalifah Umar bin Abdil Aziz yang pernah mengatakan, “Itu adalah (peristiwa ber)darah yang Allah bebaskan aku darinya, maka aku tidak suka mengotori lisanku dengannya”.

Mari kita muliakan hari Asyura dan bulan mulia ini dengan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah dan menyatukan barisan. Tidak dengan membangkitkan emosi dan narasi kebencian yang akan mempertajam jurang perpecahan. Tabiat kolonialisme, kapan dan di mana pun sama, yaitu mengadu domba dan memecah belah kekuatan  (devide et impera). Jika saat ini beberapa negara Muslim telah berhasil dipecah dengan isu Sunnah-Syiah, tidak mustahil ke depan perpecahan akan terjadi antara sesama pengikut Sunni, dan antara sesama pengikut Syi`ah. Kita harus selalu ingat pesan Allah Swt:

﴿ اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ ١٠ ﴾

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (Qs. Al-Hujurât: 10).

﴿ وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖ ….. ١٠٣ ﴾

Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, (QS. Ali Imran: 103).



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia