Oleh Asrori S. Karni, Wakil Sekjen Bidang Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia
Masjid bukan sekadar tempat sujud. Sebagaimana makna harfiahnya. Ismail Raji Al-Faruqi, pakar kebudayaan Islam asal Palestina, mencatat, sejak zaman Nabi Muhammad, 14 abad silam, masjid punya ragam fungsi. Tidak hanya tempat ritual murni (ibadah mahdah): seperti salat dan iktikaf. Komplek masjid juga jadi pusat pemerintahan, markas militer, sentra pendidikan, bahkan ruang tawanan perang.
Di Masjid Nabawi, masjid kedua yang didirikan Nabi di Madinah, terdapat ruang bernama suffah yang dipakai menampung program santunan fakir-miskin. M. Quraish Shihab, pakar tafsir Al-Quran terkemuka di Tanah Air, merangkum minimal ada 10 fungsi Masjid Nabawi pada periode awal sejarah Islam.
Dalam perkembangan kontemporer, muncul banyak persepsi yang justru mempersempit fungsi masjid. Bila sebidang tanah diwakafkan untuk masjid, maka yang terpikir, peruntukannya semata ibadah murni. Pola pikir ibadah-oriented ini juga berkembang di Indonesia, seperti terbaca dalam arsip Departemen Agama (Depag). Bahwa wakaf terbesar digunakan buat tempat ibadah (68%). Sisanya untuk sarana pendidikan (8,5%), kuburan (8,4%), dan lain-lain (14,6%).
Karena minimnya peran horizontal wakaf masjid, maka efek sosial-ekonominya pun kurang optimal. Ada masjid mentereng yang tak bisa berbuat banyak menyelesaikan kemiskinan jamaah sekitarnya. Sebagian masjid malah jadi tempat mangkal puluhan pengemis. Masjid lantas jadi ikon ketimpangan: bangunan mewah yang berdampingan dengan permukiman miskin.
Tak jarang pula ada masjid yang lebih sibuk berdandan, namun abai pada lingkungan. Programnya renovasi interior, perbaikan menara, menambah lantai atas, atau sekadar modifikasi pagar. Sebagai pendukung, kotak amal terus-menerus digelar di jalanan. Kadang mengganggu kenyamanan. Keberadaan wakaf masjid, dalam kasus ini, kerap malah jadi beban pengurus dan masyarakat sekitar.
Padahal, masjid bisa dikelola agar produktif dan memberi nilai tambah. Tidak hanya jadi penadah sedekah. Payung hukum yang bisa dipakai adalah ketentuan wakaf. Sebagian besar tanah masjid adalah wakaf. Yakni properti pribadi yang diserahkan jadi milik Allah, agar dimanfaatkan bagi kepentingan ibadah dan kemaslahatan umum.
Dengan logika wakaf, tanah masjid bisa digunakan untuk berbagai usaha produktif, sejauh tak bertentangan dengan prinsip Islam. Masjid Nabawi pada masa Nabi pun sudah memberi teladan bahwa fungsinya tidak sekadar ibadah. Usaha produktif juga mewarnai pola pengelolaan Masjid Nabawi masa kini. Sebagian lahan wakafnya disewakan untuk hotel berbintang. Untungnya diputar buat operasional rutin masjid dan kegiatan sosial.
Masjid Al-Azhar Kairo, Mesir, dengan sejumlah tanah wakafnya, juga dikembangkan dengan orientasi profit. Antara lain disewakan buat kantor-kantor pemerintahan. Al-Azhar sudah lama jadi ikon ”mesin uang” pendidikan. Karena mampu memberi beasiswa seluruh mahasiswanya dari pelbagai pelosok dunia, termasuk asal Nusantara.
Di Indonesia, meski masih ada beberapa masjid yang berfungsi sempit, sudah pula bermunculan masjid dengan aneka guna. Terutama di kota-kota besar, perkembangan model ini makin pesat. Sekadar misal, pada bagian pertama edisi ini, bisa dibaca kiprah Masjid Agung Al-Azhar Jakarta dan Masjid Istiqamah Bandung. Keduanya sama-sama berkembang jadi pusat pendidikan.
Pada kasus Masjid Al-Azhar, lembaga pendidikannya bahkan sudah jadi ”merek dagang”. Cabangnya berdiri di mana-mana. Sehingga bisa berperan efektif dalam memutar modal. Sumber keuangan masjid pun makin mandiri dan profesional. Masjid-masjid di areal strategis memang sudah waktunya meninggalkan pola penggalian dana amatiran seperti kotak amal jalanan.
Masjid Muhammadiyah Bengkulu sejak awal 1980-an sudah menempuh pola itu. Lokasinya strategis. Berada di jalanan protokol, Soeprapto, sebuah kawasan bisnis dan pusat perbelanjaan kota Bengkulu. Masjid ini adalah wakaf Datuk Hasandin, kakeknya Megawati Soekarnoputri dari jalur Fatmawati. Mertua Bung Karno itu juga tokoh Muhammadiyah setempat.
Kompleks masjid itu tadinya hanya seluas 400-an meter persegi. Lalu dikelola dengan membangun gedung tiga tingkat. Lantai bawah dijadikan lima unit rumah toko (ruko). Lantai kedua untuk masjid, dan lantai paling atas untuk kantor pengurus Muhammadiyah setempat dan lembaga onderbouw-nya. Masing-masing ruko disewakan dengan tarif Rp 7 juta sampai Rp 10 juta per tahun. Karena ukurannya beda-beda.
Aneka kebutuhan tersedia di kelima ruko itu. Mulai alat-alat listrik, pakaian, sepatu, sampai jam tangan. Animo pembeli juga tinggi. Penyewa pun tak merasa rugi. ”Hasil sewa ruko itu cukup untuk membiayai kebutuhan operasional masjid,” kata H. Supyan Asauri, Ketua Muhammadiyah Cabang IV, Bengkulu.
Bahkan sisa keuntungan sewa ruko itu bisa dipakai untuk membeli tanah seluas 1.200 meter persegi di belakang masjid. Tiga kali lipat dari modal awal wakaf. Pada areal itu, kini dibangun gedung sekolah, mulai TK, SD, madrasah diniyah awaliyah, madrasah tsanawiyah (setingkat SMP), hingga madrasah aliyah (selevel SMU). Tak ada cerita gelar kotak amal jalanan dalam kamus masjid ini.
Pengelolaan wakaf produktif ala Masjid Muhammadiyah Bengkulu, Al-Azhar Kairo, dan Nabawi Madinah itulah yang belakangan tengah digalakkan Depag. Menyusul disahkannya Undang-Undang Nomor 41/2004 tentang Wakaf, 27 Oktober 2004. Subdit Pemberdayaan Wakaf Depag setahun terakhir ini sibuk menyusun panduan dan sosialisasi pemberdayaan wakaf masjid secara produktif.
Sejauh ini, pengembangan multifungsi masjid secara produktif baru menjadi gerakan sporadis. Belum serempak. Masih banyak masjid di areal strategis yang dikelola secara konvensional atau semi-profesional. Achmad Djunaidi, Kasubdit Pemberdayaan Wakaf, menilai pengelolaan masjid di Indonesia paling jauh baru level semi-profesional.
Penggalian dana semi-profesional biasanya baru sebatas penyewaan aula untuk resepsi perkawinan dan pembentukan lembaga pendidikan. ”Masih banyak peluang bisnis yang belum dikembangkan,” kata Djunaidi. Ia membuat panduan detail dalam bukunya, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia (2004) (lihat: Simulasi Pemberdayaan Masjid).
Pada buku itu, ia menjadikan Masjid Baitul Mughni, Jakarta, sebagai objek studi kasus. Masjid di areal 6.000-an meter persegi ini menempati lokasi amat strategis di Kavling 26 Jalan Gatot Subroto. Selain terdapat masjid tiga tingkat, juga ada dua gedung sekolah, masing-masing lima lantai.
Wakaf dari Guru Mughni, ulama kondang Betawi tahun 1940-an, itu dikepung pusat perkantoran dan sentra bisnis segitiga emas Jakarta: Gatot Subroto, Sudirman-Thamrin, dan Rasuna Said. Menara Jamsostek, Gedung Telkom, Hotel Kartika Chandra, Wisma Argo Manunggal, serta pusat bisnis Mega Kuningan mengelilingi kompleks Al-Mughni.
“Melihat lokasinya, tanah wakaf itu bisa dijadikan mesin uang yang luar biasa,” Thobieb Al-Asyhar, anggota tim penyusun buku yang diketuai Djunaidi, menambahkan. Caranya? “Dengan membangun gedung yang setara dengan gedung sekitarnya. Lalu disewakan untuk bisnis Islami,” Djunaidi menimpali.
Meski belum pernah berembuk, Ketua Yayasan Al-Mughni, KH Abdul Azim Abdullah Suhaimi, sepakat dengan tawaran Djunaidi. “Itu positif sekali. Cocok!” kata lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, tahun 1960-an itu. “Di Kairo, banyak aset wakaf Al-Azhar disewakan pada kantor kementerian,” Abdul Azim menguatkan.
Sumber dana Masjid Mughni selama ini masih menempuh cara konvensional. “Yang utama sumbangan dari jamaah,” kata Abdul Azim. Jamaah salat dan pengajian rutin di masjid menyumbang lewat kotak amal. Saat salat Jumat, bisa terkumpul donasi minimal Rp 1 juta. Ada pula sumbangan lebih besar dari para donatur insidental. “Sejauh ini, kebutuhan operasional masjid bisa tertangani,” ujar cucu Guru Mughni itu.
Dengan model konvensional saja, masjid ini mampu menyediakan rumah sederhana bagi imam salat dan petugas azan, serta menggajinya secara layak. Kas masjid bahkan sering meminjami bagian pendidikan yayasan yang mengelola TK, SD, dan SMP Islam terpadu. Lebih-lebih bila dikelola secara profesional.
Pengembangan unit usaha, menurut Abdul Azim, sebenarnya mulai disiapkan. Di antaranya usaha simpan-pinjam, biro perjalanan, dan klinik. “Kebetulan ada cicit Guru Mughni yang jadi dokter dan menjadi Kepala Puskesmas Mampang, ya, sekalian ngabdi di yayasan,” kata Abdul Azim, sesaat sebelum bersiap jadi khatib Jumat, beberapa waktu lalu.
Orientasi produktif pengelolaan wakaf masjid telah dipayungi Undang-Undang Wakaf. “Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf dilakukan secara produktif,” isi Pasal 43 ayat 2. Penjelasannya, “Dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.”
Hal itu sebagai evaluasi pada pola pengelolaan wakaf masjid di Indonesia yang cenderung konsumtif. Cara kerja pengelola wakaf masjid (nadzir) juga dibuat lebih profesional. Inovasi pengembangan aset masjid sangat tergantung kreativitas nadzir. Karena itu, Undang-Undang Wakaf memberi kriteria lebih ketat. Nadzir tidak bisa asal tokoh masyarakat, sesepuh desa, kiai, atau ulama. Tapi juga harus punya keahlian manajerial.
Masa jabatan nadzir dibatasi, tidak bisa lagi seumur hidup. Sebagai professional fee, nadzir berhak menerima imbalan maksimal 10% hasil bersih pengembangan wakaf. Sehingga ia tidak sekadar pekerja sambilan. Namun bila ia nakal mengambil imbalan melebihi jatah, bisa dipidana tiga tahun penjara dan atau denda Rp 300 juta.
Untuk memuluskan sumber investasi pengembangan masjid, Depag menyiapkan rancangan peraturan pemerintah. Di sana, antara lain, diatur ketentuan teknis wakaf uang lewat lembaga keuangan syariah. Selain itu, tengah disiapkan tiga pilot project masjid dengan konsep baru ini lewat Anggaran Belanja Tambahan 2005.
”Kami rencanakan di Medan, Kuningan, dan Bali,” kata Djunaidi, yang baru diangkat jadi Kepala Biro Perencanaan Depag ini. Proyek di Medan akan dikelola organisasi Al Jami’atul Washliyah, pimpinan KH Aziddin, SE. Percontohan di Kuningan, Jawa Barat, akan membangun pom bensin sebagai usaha prioritas, karena berada di pinggir jalan utama. ”Untuk Bali, kami masih survei,” papar Djunaidi.
Masing-masing akan mendapat suntikan modal awal Rp 2 milyar dari anggaran Depag. Kekurangannya diminta cari sumber lain. Sejuta masjid di negeri ini memang sudah waktunya bangkit memberi manfaat, dunia maupun akhirat, bagi lingkaran umat terdekat. Bukan sekadar monumen bertingkat.
tulisan ini sudah pernah tayang di situs resmi Badan Wakaf Indonesia 3 Mei 2011 dengan link : (https://www.bwi.go.id/568/2011/05/03/menggagas-nazhir-wakaf-air-minum/)
Leave a Reply