SAMBUTAN PROF. DR. KH. MA’RUF AMIN
PADA ACARA
SILATURRAHIM HALAL BIHALAL NASIONAL MUI TAHUN 2021
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirrahmannirrahim
الحمد لله رب العالمين، إياه نعبد وإياه نستعين، والعاقبة للمتقين، ولا عدوان إلا على الظالمين، والصلاة والسلام على سيدنا وحبيبنا وشافعنا ومولانا محمد سيد الأنبياء والمرسلين، وعلى آله وأصحابه أجمعين.
- Ulamaina al-kiram wa masyayikhana al-afadhil, wabil khusus ketua umum Majelis Ulama Indonesia Kyai Haji Miftahul Akhyar, pimpinan MUI Pusat, dan Pimpinan MUI Provinsi,;
- Yang saya hormati ketua Mahkamah Agung, yang mulia para Duta Besar negara sahabat, para Menteri Kabinet Indonesia Maju, para Pimpinan Lembaga non Kementerian;
- Para undangan dan hadirin yang saya muliakan.
Pertama-tama, saya menyampaikan syukur alhamdulillah, malam ini kita bisa bersama-sama hadir dalam acara Halal Bi Halal dan Silaturahim Majelis Ulama Indonesia. Dalam kaitan ini, saya ingin menyampaikan ucapan “minal ‘Aidin Wal Faizin Taqabbalallahu shiyamana wa shiyamakum, kullu ‘aam wa antum bi khair”, mohon maaf lahir dan batin.
Acara halal bihalal ini sangat penting, karena kita merasa mempunyai banyak kesalahan, dan itu manusiawi. Karena kita bukan Nabi dan bukan Rasul yang dijaga oleh Allah tanpa kesalahan. Kita tidak ma’shum. Oleh karena itu, menjadi wajar kita sebagai orang yang merasa bersalah dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Sering saya katakan, orang yang bersalah itu manusiawi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Kullu bani adama khatthaun”, semua manusia itu bersalah. “Wakhairu al-khatthain at–tawabun”, dan sebaik-baik orang bersalah itu yang bertaubat, meminta maaf. Yang tidak baik itu orang yang bersalah tapi tidak mau minta maaf. Lebih tidak baik lagi adalah orang yang tidak pernah merasa salah.
Nah, dalam kesempatan halal bihalal ini, kita sebagai pribadi, sebagai lembaga, sebagai komunitas, atau sebagai organisasi saling meminta maaf dan saling memaafkan, baik atas kesalahan kepada Allah maupun kesalahan kepada umat. Momentum halal bihalal ini juga bisa kita jadikan sarana untuk melakukan penilaian kembali terhadap apa yang sudah kita lakukan, agar kita tidak melakukan kesalahan-kesalahan lagi di masa mendatang.
Dalam konteks sebagai pengurus MUI, kita perlu mengingat kembali tugas utama kita, yaitu seperti dikatakan Nabi Syuaib dalam Al-Qur’an (إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ), saya tidak menghendaki apa-apa kecuali melakukan ishlah, perbaikan-perbaikan, sepanjang kemampuan saya. Tugas kita adalah ishlahu al-ummah, memperbaiki umat. Ini merupakan khitthah nabawiyyah, langkah-langkah kenabian. Perbaikan yang dimaksudkan ialah Ishlah fi al-‘aqidah (memperbaiki aqidah), ishlah fi al-ibadah (memperbaiki ibadah), ishlah fi al-mu’amalah (memperbaiki muamalah), dan juga ishlah fi al-akhlaq (memperbaiki ahlak). Tugas utama kita adalah melakukan perbaikan-perbaikan itu, dengan niat mencari keridoan Allah SWT., bukan untuk mencari kehormatan, dan bukan juga untuk mencari kekuasaan.
Kalau soal kemuliaan atau soal kekuasaan, itu bukan wewenang kita, bukan wilayah kita. Kemuliaan dan kekuasaan adalah khuthwah rabbaniyah, langkah ketuhanan. Oleh karena itu di dalam Al-Qur’an dikatakan :
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan”. QS. Ali Imran: 26.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kemuliaan dan kekuasaan itu bukan kuasa kita untuk mengaturnya (laisa khuthwatuna), tetapi kuasa penuh Allah SWT (khuthwah rabbaniyah).
Kita perlu merenungkan, kenapa dulu pada masa-masa awal Islam, saat di bawah pimpinan Rasulullah, di bawah pimpinan para sahabat, umat Islam memperoleh kemuliaan dan memperoleh kekuasaan.? Itu adalah Tsamrah (buah) yang diberikan Allah atas perjuangan mereka. Itu adalah ‘Athiyyah Rabbaniyah, pemberian Tuhan yang diberikan kepada mereka. Karena mereka berjuang dengan sungguh-sungguh, dengan mencari keridhaan Allah Subhanahu Wata’ala.
Dan itu memang janji Allah Subhanahu Wata’ala, seperti disebutkan dalam banyak ayat yang menyatakan itu, antara lain ayat berikut:
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آَمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ
“Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari tampilnya para saksi (hari Kiamat)” QS. Ghafir: 51
Ini memang janji Allah, dan itu sudah dipenuhi untuk diberikan pada para Sahabat. lalu di ayat yang lain Allah menyatakan:
فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ لَنُهْلِكَنَّ الظَّالِمِينَ. وَلَنُسْكِنَنَّكُمُ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِهِمْ ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ
“Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: “Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zalim itu. Dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku”. QS. Ibrahim 13-14
Ada beberapa ayat lain yang isinya hampir serupa dengan ayat di atas. Yang paling banyak dihafal orang adalah ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ، تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ، يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ. وَأُخْرَى تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah kemenangan yang agung. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin.” QS. As-Shaf: 10-13
Ayat ini menjanjikan bahwa jihad, baik jihad dengan arti perang (qital) ataupun dengan arti perbaikan (ishlah), bisa menyelamatkan Min ‘adzabin alim (dari siksa yang pedih). Tapi ada janji lain dari Allah, “wa ukhra tuhibbunaha” (Dan sesuatu (balasan) lain yang kamu sukai), yaitu nashrun minallahi (pertolongan Allah) dan fathun qarib (kemenagan yang dekat). Ini Semua janji-janji Allah, dan sudah dipenuhi oleh Allah pada masa itu, yaitu masa para sahabat.
Oleh karena itu Sayyidina Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan :
نحن قوم أعزنا الله بالإسلام فمهما نطلب العزة بغير ما أعزنا الله به أذلنا الله
“Kita ini kaum yang dimuliakan Allah karena Islam. Apabila kita mencari kemuliaan bukan dengan cara yang seperti kita dimuliakan Allah, maka Allah akan menghinakan kita” .
Ini saya kira hal yang perlu menjadi perhatian kita semua supaya kita kembali kepada Khitthah Nabawiyyah (langkah-langkah kenabian),yaitu Al-Ishlah (perbaikan), berupa Ishlahun Nas (memperbaiki manusia) ‘Aqidatan Wa ‘Ibadatan Wa Mu’amalatan Wa Akhlaqiyyatan (baik akidahnya, ibadahnya, mu’amalahnya, dan juga akhlaknya).
Banyak orang bertanya, kenapa kita belum memperoleh itu? Ya, ini yang tentu harus menjadi renungan kita bersama. Seperti apa sebenarnya yang harus kita perbuat agar kita mendapat pertolongan Allah. Kalau ada yang belum sesuai, mana yang harus diperbaiki.
Dalam kaitan ini saya tertarik dengan ucapan Ibnu ‘Athaillah yang mengatakan: (ورود الإمداد بحسب الإستعداد), wurudu al-imdad bihasabi al-isti’dad” (Datangnya bantuan/pertolongan Allah itu berdasar atas kesiapan kita). Kalau kita siap maka Allah akan beri bantuan pada kita. Tapi kalau kita tidak siap, bantuan itu belum akan diberikan. Artinya, harus ada kesiapan dari kita untuk menerima bantuan itu. Jangan-jangan kita dianggap belum pantas/belum layak menerima itu, karena belum siap. Sehingga Madad Rabbani (bantuan Tuhan) itu belum sampai pada kita.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam perang Badar, walaupun saat itu jumlah umat Islam sedikit, beliau memperoleh kemenangan. Karena apa? Karena mendapat Imdad (bantuan) dari Allah Subhaanahu Wata’ala.
بَلَى إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ آَلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ
“Ya” (cukup). Jika kamu bersabar dan bertakwa ketika mereka datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda” QS. Ali Imran: 125.
Jadi, bagi Allah itu tidak sulit untuk memenangkan dan membuat umat ini berjaya. Tapi seperti kata Imam Ibnu ‘Athaaillah tadi, siap tidak kita menerima bantuan itu? Jangan sampai ada anggapan karena bantuan Allah tersebut tidak datang-datang artinya Allah mengingkari janjinya. Bukan begitu. Bisa jadi karena kesiapan kita yang belum ada.
Apabila kita belum bisa menyatukan barisan, kita belum bisa membangun ukhuwwah yang benar-benar, belum berjuang secara sungguh-sungguh mencari keridhaan Allah, saya kira saat itu (bantuan Allah untuk kemenangan umat Islam) memang belum akan datang. Sebenarnya, apa yang telah digariskan oleh MUI saya kira sudah mengarah pada hal itu. MUI telah menggariskan untuk menjaga umat (himayatul ummah), memberdayakan umat (taqwiyatu al-ummah), dan menyatukan umat (tauhidu al-ummah). Tinggal bagaimana kita di MUI melaksanakan dan mewujudkan apa yang telah tergariskan tersebut.
Kita di MUI telah memulai himayatul ummah (menjaga umat), baik dari sisi akidah/ibadah sesat, pemikiran menyimpang, akhlah tidak terpuji, mu’amalah ribawiyah, produk tidak halal, dan sebagainya. Kita di MUI juga telah memulai taqwiyatul ummah (pemberdayaan umat), baik dari segi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Kita di MUI juga sudah mengupayakan untuk adanya tauhidul ummah (persatuan umat). Menyatukan umat bagaimana menjaga perbedaan yang ada, supaya tidak terjadi sumber perpecahan dan perselisihan. Tetapi, mungkin langkah-langkah itu belum optimal. Saya kira kita harus lebih meningkatkan lagi ikhtiar kita tersebut, agar kita benar-benar dianggap siap menerima bantuan Allah. Sebab apabila kita tidak mampu membangun langkah-langkah Khitthah Nabawiyah itu, saya kira barangkali kita belum dianggap siap. Sehingga bantuan Allah yang dijanjikan belum sampai pada kita.
Mungkin ada yang bertanya, bukankan kita ini banyak ulama, banyak orang-orang shaleh. Tidakkah keberadaan mereka bisa menaikkan kesiapan kita di mata Allah? Saya harus mengatakan bahwa kesalehan seseorang di kelompok tertentu itu tidak menjamin. Jangankan di era kita saat ini, di era Rasulullah pun juga demikian. Suatu ketika Sayyidatuna Zainab pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam;
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ
“Ya Rasulallah, apakah kita bisa dihancurkan padahal kita banyak orang saleh. Nabi Menjawab: iya, bisa, jika kejelekan/kemungkaran itu banyak”
Hal itupun ada contoh saat Rasulullah masih hidup. Tepatnya saat perang Uhud. Saat terjadi al-khabats berupa ketidakpatuhan pada perintah Rasulullah sebagai ulil amri saat itu. Saat itu beliau menempatkan tukang panah (rumaat) di gunung/bukit, dan tidak boleh mereka meninggalkan pos mereka apapun yang terjadi. Saat pasukan umat Islam memperoleh kemenangan dan mengumpulkan rampasan perang, para tukang panah ini melupakan perintah Rasulullah. Mereka tertarik oleh masalah-masalah rampasan (duniawi) sehingga meninggalkan posnya dan turun ikut mengumpulkan rampasan. Ketidakpatuhan dalam menjaga perintah Rasulullah tersebut membawa akibat yang luar biasa besar. Saat pasukan kuffar Quraisy merebut bukit tersebut dan menguasainya, maka itu menjadi titik kelemahan pasukan Muslim, hingga akhirnya pasukan Muslim kalah dan banyak yang gugur syahid.
Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi, padahal Rasulullah ada di tengah-tengah mereka. Bukankah Rasulullah adalah orang paling mulia di sisi Allah? Hal itu terjadi tidak lain karena ada al-khabats, yaitu terjadi pengkhianatan, ketidak patuhan, dan ketidaktaatan. Peristiwa ini menjadi pelajaran penting. Kemenangan yang hampir terjadi, berubah menjadi kekalahan disebabkan oleh adanya ketidakpatuhan.
Hal yang hampir serupa juga terjadi saat perang Hunain, sebagaimana dalam ayat berikut:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“… dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang”. QS. At-Taubah: 25
Saat perang Hunain ini umat Islam merasa jumlahnya banyak, sehingga perasaan bakal memenangkan perang mengalahkan keyakinan mereka selama ini, yaitu mengandalkan pertolongan dan bantuan Allah (‘inayah rabbaniyah). Kekalahan itu terjadi padahal Rasulullah ada bersama umat Islam saat itu. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. berpesan pada para sahabat dan umat Islam: “ista’in billah wala ta’jiz”, mintalah bantuan pada Allah dan jangan lemah.
Rasulullah berpesan: “ista’in billah”, mintalah kepada Allah ‘inayah (bantuan/pertolongan), yaitu yang disebut inayah rabbaniyah (bantuan/pertolongan Tuhan). Kita butuh itu, karena sesungguhnya kita ini lemah. La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Tidak ada kekuatan kecuali dari Allah. Jika Allah menghendaki, maka semuanya bisa terjadi. Tapi kemudian Rasulullah mengingatkan “wala ta’jiz”, jangan lemah.
Oleh karena itu, kita harus menyiapkan segala sesuatunya agar kita kuat. Bagaimana membangun umat supaya kuat, karena al-mu’minu al-qowiyyu khoirun wa ahabbu ilallah min al-mu’min ad-dha’if, orang mu’min yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mu’min yang lemah. Walaupun sebenarnya semua juga baik. Walaupun lemah, orang mu’min itu baik. Tapi al-qawiy ahabbu ilaAllahi, mukmin yang kuat lebih disukai oleh Allah.
Oleh karena itu, menurut saya, dalam kita berhalal bihalal dan bersilaturahmi ini, selain kita saling meminta maaf kepada sesama kita, forum ini juga menjadi tempat yang tepat untuk kita melakukan evaluasi, melakukan intropeksi diri, melakukan muhasabah terhadap apa yang telah kita lakukan. Menjadi tempat yang pas untuk saling mengingatkan untuk kita kembali pada khittah nabawiyyah, upaya-upaya perbaikan yang selama ini sudah kita gariskan dan laksanakan, meskipun belum optimal. Kita perlu melakukan itu semua sebagai upaya untuk menyiapkan diri supaya kita memperoleh pertolongan dari Allah SWT. Upaya dan ikhtiar yang kita lakukan semoga menjadi penyebab Allah menurunkan bantuan dan berkahNya. “’alaina al-harakah wa ‘ala Allahi al-barakah”.
Sekali lagi, melalui MUI lembaga yang sudah kita bangun bersama ini, agar kita optimalkan dan efektifkan tugas-tugas utama kita, baik di dalam rangka sebagai khadimul ummah (pelayan umat) ataupun sebagai shadiqul hukumah (mitra pemerintah). Peran kita di MUI ini agar lebih efektif, terutama sekali di dalam kita menghadapi pandemi covid-19 yang saat ini terjadi dan kita belum tahu sampai kapan berakhirnya. Kita di MUI supaya lebih kuat lagi mengajak masyarakat untuk menjaga diri, mengawal dirinya sendiri dan juga orang lain, agar terhindar dari Covid-19. Karena sebenarnya menurut ulama menjaga diri itu hukumnya wajib.
Syekh Nawawi al-Bantani ketika menafsirkan ayat (خُذُوا حِذْرَكُمْ), bersiapsiagalah kamu, beliau mengatakan: wahadzihi al-ayat tadullu ‘alaa wujubi al-khidzri ‘ala al-madhar al-madznunah, artinya: ayat ini juga menunjukkan wajibnya menjaga diri setiap bahaya yang diduga akan datang. Jadi menurut syeh Nawawi, kita harus selalu bersiap terhadap datangnya bahaya bukan hanya saat dalam perang, tapi juga dalam menghadapi bahaya apa saja yang diduga akan datang, apalagi sudah diyakini datangnya (al-madhar al-mutayaqqanah) seperti pandemi covid-19 ini. Karena itu, kata Syekh Nawawi, walidzalika kana al-‘ilaj bi ad-dawa’ wa al-ihtiraz ‘ani al-waba’ wajiban. Artinya : karena itu, berobat dan menjaga diri dari wabah itu adalah wajib.
Ada yang bertanya, kan kita sebagai mukmin harus punya keyakinan bahwa semua itu terjadikan karena Allah. Laa Haula Wala Quwwata Illa Billah. Ya memang harus seperti itu. Tapi meski demikian, tidak berarti kita tidak ada ikhtiar. Kita tetap harus berusaha, melakukan ikhtiar, yang dalam al-Quran disebut “kasab”. Oleh karena itu Syekh Nawawi menyebutnya: “ikhtiyaran dzaahiran idhthiraran Bathinan. Artinya: secara lahir kita berikhtiar, secara batin kita pasrah kepada Allah SWT. Jadi, kepasrahan kita kepada Allah tidak meniadakan upaya-upaya lahiriah yang kita lakukan.
Hal inilah yang menjadi kewajiban kita untuk memberikan pencerahan, bimbingan pada umat, supaya mudah-mudahan terhindar dari pandemi ini. Tetap secara ketat manjalankan protokol kesehatan, menggunakan masker dan juga mencuci tangan dan termasuk vaksinasi. Itu semua dilakukan sebagai upaya “al-Ihtiraz ‘ani al-waba’”, menjaga diri dari pandemi. Dan itu termasuk dalam pengertian “khudzu hidzrakum”.
Saya kira malam ini, sesuatu yang sangat berharga telah kita lakukan. Kita melakukan halal bihalal, melakukan muhasabah, dan saling mengingatkan agar semakin optimal menjalankan peran sebagai pengurus MUI. Mudah-mudahan kita bisa saling memaafkan satu sama lain atas kesalahan kita. Mudah-mudahan kita bisa merenungkan kembali langkah-langkah yang lebih baik, langkah-langkah yang positif. Kita bisa ke pangkal lagi dalam membangun kebersamaan, sebagaimana ajakan-ajakan yang disampaikan para pimpinan ormas Islam tadi. Kita perlu membangun kembali keutuhan, persatuan antar komponen umat Islam. Kita Bersama menata niat untuk menjalankan misi kenabian, risalah nabawiyah, atau khitthah nabawiyah, yaitu ishlahul ummah. Dengan demikian mudah-mudahan kita memperoleh ‘inayah Allah SWT, ‘inayah Rabbaniyah.
Demikian saya kira yang dapat saya sampaikan sebagai ketua Dewan Pertimbangan MUI. Ini saya sampaikan dalam rangka mengingatkan dan mengajak kita semua tanpa terkecuali, untuk melakukan tahsin atau tashhih an-niyyah (memperbaiki niat) wa tashhih al-harakah (dan memperbaiki gerakan kita kedepan), supaya lebih baik dan lebih tepat.
أقول قولي هذا وأستغفر الله العظيم لي ولكم. إن أريد إلا الإصلاح وما توفيقي إلا بالله، والله الموفق إلى أقوم الطريق.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Leave a Reply