■ Oleh: Dr KH Muammar Bakry Lc MA, Sekretaris Umum MUI Sulsel
OPINI, muisulsel.com — Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara harfiah artinya tempat duduk dan berkumpulnya para ulama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka berkumpul dalam organisasi ini untuk menjawab masalah keumatan, kebangsaan dan kenegaraan berdasar ajaran Islam.
Karena problematika umat menjadi concern dalam wadah ini, maka majelis ini menghimpun seluruh komponen ulama dari berbagai latar belakang ormas dibantu dengan akademisi, cendekiawan hingga praktisi muslim yang care dengan masalah umat dan bangsa.
Perannya dalam mempertemukan dan menyatukan berbagai komponen umat internal muslim dalam satu visi keuamatan sangat urgen dalam mewujudkan organisasi yang legitimed dan memiliki trust di tengah masyarakat.
Selain visi keumatan yang diusung oleh perkumpulan ini, visi kebangsaan dan kenegaraan menjadi keniscayaan dalam kelibatannya mewujudkan negara yang berdaulat dengan ideologi Pancasila.
Siap bersinergi dengan latar belakang pemahaman keagamaan dan menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah rukun utama dari Moderasi Beragama versi mainsteream ulama Indonesia. Dua hal ini menjadi standar dalam mendeteksi pemahaman moderasi beragama seseorang.
Ekslusif dalam pemikiran keagamaan adalah virus berbahaya yang efeknya adalah mudah menyalahkan orang lain termasuk ulama yang tidak sehaluan dengannya. Tidak ada alternatif pemahaman keagamaan kecuali apa yang sejalan dengan pikiran gurunya yang sangat tekstual memahami ayat maupun hadis.
Slogan kembali kepada Alquran dan Hadis sahih saja, tidak perlu ada mazhab, adalah jebakan yang membahayakan dalam praktek beragama.
Ekslusif dalam pemikiran keagamaan akan berdampak pada hadirnya ektrimisme dan radikalisme keagamaan.
Fenomena ini bukan sesuatu yang baru, tapi ini dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alahi wa shallan dengan kumpulan oknum yang justru menghancurkan nilai-nilai agama dengan gemar menuduh syirik kepada saudaranya.
Orang yang ekstrim memahami agama, sulit mengakomodir nilai-nilai baik yang hidup di masyarakat. Tidak menerima urf lokalitas yang bersesuian dengan nilai agama.
Fenomena dakwah yang mengisi mimbar masjid dan layar medsos cenderung mengarah kepada pemahaman yang ekslusif yang dikhawatirkan berkembangnya pemahaman keagamaan yang ekstrim dan tentu setingkat lagi mendekati pada anak tangga yang sangat berbahaya yakni terorisme.
Paham keagamaan yang ekslusif menjadi doktrin keagamaan yang berhasil ditanamkan, dan hasilnya mencengankan. Virus itu menjangkit di pikiran manusia tanpa pandang bulu, bisa menyerang ustaz, kyai, santri, siswa, mahasiswa, polisi, tentara, pegawai, pejabat dan masyarakat awam lainnya.
Bagaimana jika sekelas instansi Polri/TNI yang berada di garda terdepan mengawal bangsa, ternyata ada oknumnya yang terpapar dengan paham ektsrim radikal terorisme? Bayangkan jika sekelas MUI yang memiliki trust keagamaan di masyarakat, ada oknumnya yang “memanfaatkan“ organisasi untuk kepentingan visi dakwahnya yang ekstrim! Tentu pengaruhnya sangat dahsyat.
Virus ekstrimisme, radikalisme hingga terorisme yang menyerang sel-sel jaringan otak manusia hanya bisa diprotek dengan pemahaman “moderasi beragama“. Ia ibaratnya vaksin yang menjaga kekebalan pikiran manusia dari bahaya yang mengancam nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Karena itu, sertifikasi vaksin dan profiling “moderasi beragama“ amat penting dilakukan dalam semua lini organisasi publik terutama dalam kepengurusan Majlis Ulama Indonesia.■
*) Telah terbit di Harian Tribun Timur
Leave a Reply