Oleh: Tantan Hermansah
Pengurus Komisi Infokom MUI
Menjelang akhir tahun bangsa ini selalu disibukan oleh hal-hal yang sangat rutin yaitu liburan. Liburan atau vacancy, sejatinya merupakan kegiatan yang di dalamnya penuh kerianggembiraan dan keceriaan. Sehingga momen untuk liburan selalu ditunggu banyak orang. Memang banyak yang mengisi momentum liburan ini dengan kegiatan-kegiatan yang beragam. Salah satunya adalah dengan bepergian untuk berwisata maupun bersilaturahmi.
Bepergian untuk berwisata merupakan hal yang positif karena kegiatan ini sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Allah dalam Al-Quran Surat Al-Mulk Ayat 15:
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Bagi seorang muslim pergi untuk kegiatan wisata memiliki multi makna dan multi manfaat. Pertama berwisata akan membuat tambah bahagia, karena dalam proses wisata seorang muslim akan menjadikan destinasinya tempat menambang ilmu pengetahuan juga keberkahan. Maka tidak heran jika kemudian salah satu diantara Destinasi yang populer di kalangan kaum muslimin adalah tempat tempat wisata berziarah. Kedua, berwisata bagi kalangan muslim menjadi sarana juga untuk saling memberi manfaat kepada sesama, entah dalam bentuk bersedekah atau dalam bentuk lain seperti membelanjakan uang yang dimilikinya sehingga kemudian memberikan dampak ekonomi pada Destinasi.
Maka dari itu tidak ada yang salah dengan aktivitas liburan atau mengisi kegiatan dengan berwisata bersilaturahmi yang positif. Pun tidak ada yang salah dengan pemilihan waktu liburan atau berwisata, termasuk silaturahmi atau kegiatan yang dilaksanakan pada akhir tahun ini. Apalagi tradisi ini sudah berlangsung dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.
Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kondisi dunia saat ini, termasuk Indonesia, tengah berjuang menghadapi Pandemi Covid 19. Ditambah, adanya varian baru bernama Omicron atau B.1.1.529 yang tengah mewabah di dunia dan baru saja masuk Indonesia.
Tercatat pada Sabtu 18 Desember 2021, sudah ada 3 orang WNI yang posisif Covid 19 akibat varian Omicron. Pasien pertama adalah petugas kebersihan di Wisma Atlet, dan dua lainnya memiliki riwayat perjalanan dari luar negeri, yaitu Inggris dan Amerika Selatan.
Apa yang terjadi baru-baru ini merupakan warning atau peringatan bagi kita semua bahwa wabah yang telah terjadi ini harus menjadi perhatian bersama. Inilah apa yang kita sebut sebagai harus adanya “kewaspadaan sosial”. Kewaspadaan sosial adalah agregasi kesadaran publik kehidupan sehari-hari terkiat hal-hal yang sipatnya antisimpatif. Sehingga dengan Kewaspadaan ini maka kita semua bisa meminimalisir resiko-resiko negatif dari satu tindakan.
Secara kultural kewaspadaan sosial ini sebetulnya sudah cukup lama dalam kehidupan bangsa Indonesia. Misalnya ada kelompok masarakat yang selalu rutin mengadakan ronda bersama di lingkungan tempat mereka tinggal. Atau sejumlah aksi bersama lain yang ujungnya adalah untuk meminimalisir resiko negatif dari sebuah tindakan.
Lalu bagaimana cara agar kita semua memiliki Kewaspadaan sosial, beberapa hal yang bisa kita lakukan secara bersama sama.
Pertama, keteladanan. Agar kewaspadaan sosial bisa berjalan dengan masing dan baik maka semua pihak harus berbagi keteladanan dalam berbagai aktivitas. Apalagi mereka mereka yang kemudian merupakan tokoh publik baik dari kalangan agamawan maupun tokoh publik lain seperti tokoh politik, tokoh bisnis dan para guru bangsa. Mereka adalah teladan-teladan yang setiap gerak-geriknya akan menjadi referensi publik. Sehingga keteladanan ini akan menjadi pangerek gerakan di masyarakat itu sendiri.
Kedua, pembatasan yang rasional. Aktivitas mobilitas warga tidak bisa dilarang. Maka dari itu yang bisa dilakukan adalah membuat sejumlah pembatasan yang tetap dalam koridor akal sehat, atau rasional. Misalnya menggunakan teknologi antrian untuk membatasi kunjungan masarakat pada suatu Destinasi. Sehingga tidak terjadi penumpukan masa pada satu titik tertentu. Termasuk apa yang disampaikan oleh kepolisian tentang SKMM atau surat keterangan mudik merupakan bagian dari pembatasan yang rasional itu.
Jika kedua hal ini kita lakukan, maka persoalan yang selalu menjadi ”cerita” akhir tahun di mana terjadi penumpukan massa yang mencemaskan mungkin bisa diminimalisir. Tinggal apakah masyarakat mau berpartisipasi untuk menantinya, ini persoalan lain.
Leave a Reply