■ Oleh: Asnawin Aminuddin, Komisi Komunikasi dan Informasi MUI Sulsel
OPINI, muisulsel.com — Kita semua pernah berbuat dosa. Kita semua pernah melakukan kesalahan. Kalau kita menyadari perbuatan dosa kita, kalau kita menyadari kesalahan kita, maka yang harus kita lakukan adalah segera bertobat.
Rasulullah bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.”
Bagaimana kalau kesalahan atau dosa itu dilakukan oleh orang lain? Bagaimana cara menegur atau mengingatkannya?
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, No. 49)
Bagaimana kalau kesalahan yang dilakukan saudara kita, bukan kita yang melihatnya secara langsung, tapi disampaikan oleh orang lain?
Dalam Surah Al-Hujurat, surah ke-49, ayat ke-6, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Kalau kita menerima informasi mengenai keburukan orang lain, kalau kita menerima informasi mengenai kesalahan yang dilakukan orang lain, maka jangan langsung percaya, telitilah terlebih dahulu kebenarannya, konfirmasilah kepada yang bersangkutan.
Karena tidak semua orang yang memberi atau membawa berita itu adalah orang baik. Boleh jadi mereka adalah orang-orang fasik, orang-orang munafik, atau orang yang selama ini memang dikenal suka berbohong atau selalu berpikiran negatif.
Jangan Paksakan Diterima
Kalau kita ingin menasehati, jangan paksakan agar nasehat kita diterima. Rasulullah pun tidak bisa memaksakan nasehatnya untuk diterima. Rasulullah sangat dekat dengan pamannya, Abu Thalib. Abu Thalib-lah yang memelihara dan membesarkan Rasulullah hingga Rasulullah menikah dengan Sitti Khadijah.
Abu Thalib bahkan masih hidup hingga Muhammad diangkat menjadi Nabi pada usia 40 tahun, dan juga pembela utama Rasulullah dalam tahun-tahun awal perjuangannya menyebarkan agama Islam.
Tapi Abu Thalib sendiri tetap dengan agamanya sebagai penyembah berhala. Rasulullah terus menerus meminta dan menasehati pamannya, Abu Thalib, agar meninggalkan agamanya sebagai penyembah berhala dan memintanya masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, namun hingga akhir hayatnya, Abu Thalib tetap tidak pernah bersyahadat.
Cari Waktu Yang Tepat
Kalau kita ingin menasehati saudara kita, maka cari waktu dan suasana yang tepat untuk memberi nasehat atau menegur, jangan menegur di depan orang banyak, karena bisa mempermalukan orang dan bisa juga membuat orang jadi marah. Sangat dianjurkan agar memberi nasehat secara rahasia, berdua saja, jangan ada orang lain yang mendengarkan.
Berbicara dengan Lemah Lembut
Fir’aun mengaku dirinya Tuhan. Tentu sudah sangat keterlaluan, tapi Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun menemui dan menegur Fir’aun, tetapi Allah SWT mengingatkan agar mereka berdua berbicara dengan lemah lembut.
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS 20, Surah Taha, ayat 43-44)
Jadi terhadap orang yang telah melampaui batas pun, Allah SWT memerintahkan kita mengingatkan, menegur dengan lemah lembut.
Teguran Hasan dan Husein
Hasan dan Husein mencontohkan etika menegur yang baik. Dua cucu Rasulullah SAW ini mendapati seseorang tidak berwudhu dengan baik. Keduanya lalu menghampiri orang itu.
“Pak, saudaraku ini mengaku wudhunya lebih baik daripada wudhuku, padahal aku merasa wudhuku sudah seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. Sekarang, tolong beri penilaian mana yang paling baik, wudhuku atau wudhunya?” kata Hasan.
Keduanya lalu sama-sama berwudhu seperti wudhu yang biasa dilakukan Nabi SAW. Selesai berwudhu, keduanya menanyakan ihwal wudhunya kepada lelaki itu. Merasa salah dalam berwudhu, lelaki itu pun berkata, “Demi Allah, saya sudah tidak berwudhu seperti yang dilakukan Anda berdua.”
Teguran Umar kepada Amr bin ‘Ash
Suatu ketika di Madinah, Khalifah Umar bin Khattab tengah duduk bersantai dan datanglah seorang kakek Yahudi. Ia berasal dari Mesir menghadap Umar guna mengadukan persoalan kehidupannya.
Ia lalu bercerita bahwa Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, telah menggusur paksa rumahnya dan di bekas tanah rumahnya itu dibangun sebuah masjid yang mewah. Masjid itu dibangun di samping istana Amr yang megah.
Kakek Yahudi itu tak mau rumahnya digusur, meski Amr memberikan penawaran harga yang besar. Si kakek menolak rencana Amr mentah-mentah, tapi Amr tetap menggusur rumahnya dan membangun masjid.
Kepada Umar, dia pun berkisah bahwa rumahnya dibangun dari hartanya sendiri dan begitu banyak kenangan hidupnya bersama gubuk tua itu.
Mendengar pengaduan tersebut, wajah Umar memerah menahan marah. Dia pun meminta kakek Yahudi itu untuk mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah. Umar kemudian menggores tulang tersebut dengan huruf alif yang lurus dari atas ke bawah.
Di tengah goresan lurus, dia membuat satu goresan melintang menggunakan ujung pedang. Tulang itu pun diserahkan kembali kepada si kakek untuk diberikan kepada Amr.
Si kakek kebingungan ketika diminta untuk membawa tulang itu untuk sang gubernur. Dia tak paham apa yang hendak ditunjukkan Umar lewat sepotong tulang.
Sesampainya di Mesir, kakek itu pun menghadap Amr bin Ash dengan tulang bergores pedang pemberian khalifah. Melihat tulang itu, wajah sang gubernur pucat pasi.
Tanpa menunggu lama, dia mengumpulkan rakyatnya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk yang reot milik orang Yahudi itu.
“Bongkar masjid itu!” teriak Amr bin Ash gemetar.
Kakek Yahudi keheranan, dan kemudian berteriak, “Tunggu!”
Si kakek meminta Amr untuk menjelaskan makna di balik tulang dari Umar. Gubernur lalu menjelaskan bahwa tulang ini merupakan peringatan keras dari Khalifah.
Lewat tulang itu, Umar seolah hendak mengingatkan, apa pun pangkat dan kekuasaan seseorang suatu saat akan bernasib sama seperti tulang ini yakni mati dan menjadi tulang belulang.
“Karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil di atas dan adil di bawah. Sebab kalau kamu tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya,” jelas Gubernur Amr bin ‘Ash.
Orang Yahudi itu tunduk. Ia terkesan dengan keadilan dalam Islam. Ia pun kemudian mengikhlaskan tanahnya untuk pembangunan masjid, dan mengucap syahadat. Kakek Yahudi keras kepala itu pun lalu masuk Islam.
Kesimpulannya, pertama, kalau kita melihat kemungkaran, kesalahan, maka berilah peringatan, kecuali kalau memang tidak bisa karena takut.
Kedua, kalau menegur lakukanlah secara tidak langsung seperti yang dilakukan Hasan dan Husein, cucu Rasulullah, dan juga seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Ketiga, kalau pun kita menegur dengan kata-kata, maka bicaralah dengan lemah lembut.■
The post Menegur dan Menasehati ala Cucu Rasulullah dan Umar bin Khattab appeared first on MUI SULSEL.
Leave a Reply