Prof. Wan : Menteri Agama Berupaya Menjaga Toleransi Beragama

prof.-wan-:-menteri-agama-berupaya-menjaga-toleransi-beragama

Menteri Agama Berupaya Menjaga Toleransi Beragama
Oleh: Prof. Wan Jamaluddin, M.Ag., Ph.D
(Rektor UIN Raden Intan Lampung)

Maraknya pemberitaan miring yang beredar dimasyarakat tentang pengaturan pemakaian pengeras suara di masjid oleh Menteri Agama perlu kiranya disikapi dengan bijak, pasalnya dasar dari semuanya adalah menjunjung tinggi sikap tenggang rasa, menjaga toleransi umat beragama terhadap seluruh anak bangsa. Pengaturan pengeras suara sesungguhnya tidak hanya di negara Indonesia, namun negara negara muslim lain seperti di Malaysia mapun di Arab Saudi sendiri pengaturan tentang pengeras suara di masjid termasuk ketika Azan itu diatur dengan tepat dan tertib. Maka dalam hal pemberitaan miring  yang menukil vidio Gus Menteri yang diwawancara para awak wartawan Menteri Agama sama sekali tiidak membandingkan suara azan dengan suara anjing, tetapi sedang mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara agar semangat toleransi beragama tetap terjaga. Ketika melihat vidio wawancara Gus Menteri secara utuh saya sama sekali tidak menangkap pesan dan kesan bahwa Menag “membandingkan” antara suara Adzan dengan suara anjing. Beliau santri dan dari keluarga pesantren. Inilah pentingnya mengedukasi masyarakat agar tidak terpengaruh berita-berita yang tidak jelas rimbanya. sebetulnya tidak susah membedakan antara mencontohkan dan membandingkan, kenapa anjing yang dicontohkan? itu yang paling mudah dan banyak ditemukan dan dikeluhkan di lingkungan perumahan. Tetapi ya kalau dasarnya sudah tidak suka, butiran nasi juga dibayangkanbelatung namun kalau dasarnya cinta nalar positiflah pasti yang bekerja. Dengan kata lain dari rentetan kalimat  yang digunakan Gusmen tidak terdapat  kecenderungan dan maksud merendahkan, bahkan terlihat secara kentara ingin menunjukkan  kemuliaan Islam, dan dengan demikian juga sebagai pengayoman terhadap  yang lain.

       Memang, upaya-upaya memunculkan kesadaran baru yang kerap  dikedepankan Gusmen sering menyentakkan kita akan sesuatu yang menjadi  kebiasaan, sehingga kita sering lupa mengevaluasinya. Sebagai pengayoman terhadap  umat beragama di negeri besar ini, akan sangat indah bila kita menghargai upaya-upaya Gusmen dalam memajukan negeri ini dari sudut kehidupan brragama. Hal tersebut menjadi sesuatu yang kita hargai dan apresiasi karena seringkali kita mengurus kemajuan agama ini tidak selalu total karena faktor-faktor kehidupan domestik kita. Tapi Gusmen, telah mendedikasikan segala kemampuan beliau untuk memajukan Indonesia dari sudut keberagamaan sesuai amanat yang diembannya. Semoga Allah terus menjaga Indonesia dan memurahkan rezeki penduduknya. Salah satu fokus perhatian Menteri Agama RI (Gusmen) adalah menjaga kemuliaan umat  dalam posisinya yang mayoritas di negeri ini.

       Disinilah pentingnya menjaga kemuliaan umat tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari dedikasi dan perjuangan keumatan yang beliau tekuni sejak aktif sebagai agamawan dan  cendekiaean Muslim. Salah satu cobaan bagi kemuliaan umat  yang mayoritas  ini adalah, apakah mereka dapat menegakkan sikap adil dan mengayomi bagi semua umat di negeri yang pluralis bernama Indonesia. Wilayah yang sering menjadi ujian adalah bagaimana umat bersifat elegan, mulia, dan mengayomi dalam pelaksanaan ibadah. Sebab sejatinya ibadah adalah memuliakan Tuhan, dan memuliakan Tuhan memiliki konsekuensi memuliakan ciptaan-Nya, terutma manusia, apa pun bentuk agama dan kepercayaannya.

Kita ambil nukilan Ayat Al-Quran sebagai penguat:

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْواتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان: ١٩

Artinya, “Dan biasalah dalam berjalanmu (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dan kurangilah volume suaramu (tidak memaksakan diri untuk terlalu keras, namun sesuai kebutuhannya). Sungguh suara yang paling diingkari (paling jelek) adalah suara keledai (yang terlalu keras),” (Surat Luqman: ayat 19).

Saat menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi menafsirkan bahwa:

 لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذِي.

Artinya, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.”

Masih dalam Tafsir al-Qurthubi, dikisahkan, Khalifah Umar bin al Khatthab RA, pernah menegur Muazin kala itu, yaitu Abu Mahdzurah Samurah bin Mi’yar RA, yang adzan dengan memaksakan suara sekeras-kerasnya.  (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Kairo, Darul Kutub Al-Mishriyyah: 1384 H/1964 M], juz XIV, halaman 71).

Maka dalam hal ini menurut hemat saya yang menjadi nilai penting semangat berbangsa sesungguhnya sesama anak bangsa agar lebih mengedepankan narasi-narasi positif dalam mengaikan pemberitaan aturan pengeras suara, menjaga hidup rukun damai, menjunjung tinggi kebhinekaan yang sudah sejak dulukala diamanahkan oleh para pendiri bangsa. Wa Allahu A’lamu bi al- Shawab.



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia