Peneliti: Moderasi Beragama dalam Konteks Bernegara Upaya Pembangunan Kebudayaan

JAKARTA – Moderasi agama dalam konteks konstitusi bernegara merupakan bagian dari revolusi mental dan pembangunan kebudayaan.

Sekretaris Lembaga Kerjasama dan Hubungan Luar Negeri Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr Wachid Ridwan, menyebutkan dalam webinar Kajian Dakwah Internasional yang bertajuk “Pengarusutamaan Moderasi dalam Konstitusi Bernegara” tersebut, menjelaskan umumnya terdapat prinsip-prinsip yang mengakar dalam diri seorang yang moderat.

“Sikap adaptif dan toleran biasanya terdapat pada seseorang yang memiliki jiwa moderat. Dia tidak mempertentangkan lagi antara realitas dan model yang diikutinya. Hal ini bisa karena kemapanan ilmu yang dimiliki,” ujar Wachid, pada Ahad (10/4/2022) lalu.

Menurut dia, sikap yang tidak mempertentangkan antara model realitas membuat seseorang berada pada zona nyaman. Namun di saat yang sama, kenyamanan itu tidak melemahkan individu atau kelompok terkait untuk meningkatkan kreativitas dalam beragama.

Jika melihat pada konteks keseharian, Wachid menegaskan persoalan yang kerap dihadapi adalah bagaimana menangani fundamentalisme dengan mengalihkannya kepada tindak moderat.

“Ini perkara teoritis, bagaimana terbentuk pola pemikiran tidak moderat. Karenanya pertanyaan mengapa seseorang atau kelompok menjadi fundamental harus diperhatikan. Tentu saja sikap tersebut lahir karena dia tidak menggunakan realitas yang dialami dan dijalaninya,” tutur Wachid.

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik UMJ tersebut juga menilai bahwa pada dasarnya kondisi yang berbeda memerlukan model realitas yang berbeda pula.

Tidak masuk akal jika berbicara tentang realitas yang bebas model. Misalnya dalam beragama umat Muslim meneladani apa yang telah Rasulullah SAW contohkan. Karenanya tidak ada realitas yang tidak ada modelnya.

Selajan dengan itu, realitas kehidupan nyata selalu berhadapan dengan hal-hal yang terkadang tidak selalu sesuai dengan keinginan. Baik saat seseorang berperan sebagai warga negara, umat beragama, hingga aggota keluarga.

“Karenanya, realitas tersebut perlu penyeimbang dengan adanya pengarusutamaan, sebagaimana kajian kita hari ini,” kata dia.

Wasathiyah Islamiyah, dalam konteks agama menurut Wachid yaitu mengapresiasi masalah ketuhanan dan kemanusiaan, kombinasi antara materialisme dan spiritualisme, wahyu dan akal, hingga antara maslahah amah (kepentingan umum) dan maslahat individu.

Dia juga menambahkan agar dapat memahami realitas hari ini kemampuan dalam untuk mengimplementasikannya muamalah sehari-hari menggunakan model yang kita ikuti.

Apabila ini selaras, maka terbentuklah moderasi. Sehingga perlu kiranya untuk mendudukan persoalan dalam memahami konteks dan realitas. (Isyatami Aulia, ed: Nashih)



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia