Fikih Pangan
Oleh: H. M Soffa Ihsan
Pengurus MUI Pusat/Wakil LBM PWNU DKI/Marbot Rumah Daulat Buku
Krisis pangan telah menjadi momok dunia, tak terkecuali di negeri kita. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan luasnya lahan pertanian dan perkebunan. Kita pun jadi kaget saat terjadi krisis komoditas minyak goreng. Padahal Indonesia dikenal sebagai produsen sawit terbesar di dunia. Ada sebuah tulisan sarkastis dalam sebuah situs yang hendak menjawab mengapa sekarang Indonesia menjadi negara pengimpor beras. Jawabannya cenderung tendensius, yaitu hal tersebut terjadi karena populasi umat Islam di Indonesia makin meningkat, sementara ajaran Islam tidak mengajarkan cara-cara bertani. Tulisnya lagi, tidak ada dan belum pernah ada negara Islam bisa mengekspor beras. Benarkah demikian?
Selama ini yang mungkin lebih mengemuka bahwa pekerjaan berdagang dalam Islam lebih “diwajibkan” ketimbang bertani atau pekerjaan lainnya. Nabi Muhammad sendiri digambarkan sebagai sosok pedagang yang ulet dan profesional. Apakah ini berarti ada penganaktirian dalam soal pekerjaan? Tentu saja tidak. Ini perlu kajian yang lebih lengkap dan adil dalam memahami ajaran Islam.
Produk Peradaban
Ada pepatah Arab mengatakan, “Alfallaahu sayyidul bilaadi wa maalikuhu al-haqiiqi,” seorang petani adalah tuan dari sebuah negara dan pemilik wilayah yang sesungguhnya. Bidang pertanian menjadi salah satu dari sekian lahan pekerjaan halal yang amat diutamakan dalam Islam, seperti bunyi ayat al-Quran, ”Kami menjadikan (di atas muka bumi ini tempat yang sesuai untuk dibuat) ladang-ladang kurma dan anggur. Kami pancarkan banyak mata air (di situ). Tujuannya supaya mereka boleh mendapat rezeki daripada hasil tanaman tersebut dan tanam-tanaman lain yang mereka usahakan. Adakah mereka berasa tidak perlu bersyukur?” (QS: Yasin:34-35).
Dalam hadits ditegaskan, ”Tidaklah seorang muslim menanam tanaman apa pun atau bertani dengan tumbuhan apa pun, lalu tanaman tersebut dimakan oleh oleh manusia, atau binatang melata atau sesuatu yang lain, kecuali hal itu akan bernialai sedekah untuknya.” (HR Muslim).
Dalam berbagai kitab fikih, sedari dini sudah dirumuskan berbagai hal menyangkut pertanian. Ini bisa kita lihat dalam perumusan soal zakat pertanian, akad muzara’ah, dan juga keutamaan bertani. Di masa kekhalifahan Islam pun kegiatan pertanian merupakan salah satu pekerjaan yang mulia dan amat digalakkan. Kepentingannya tidak dapat dinafikan lagi apabila hasil industri ini turut menyumbang kepada hasil makanan negara selain merupakan sumber pendapatan petani.
Tercatat dalam sejarah Islam, salah satu hal yang menonjol dalam revolusi pertanian kala itu adalah dikenalnya banyak jenis tanaman baru dan peralatan pertanian. Pada buku Teknologi dalam Sejarah Islam (1976) karya Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill disebutkan beberapa jenis tanaman yang mulai dikenal masyarakat Arab, seperti padi, tebu, kapas, terong, bayam, semangka, dan berbagai sayuran serta buah-buahan lainnya.
Pertanian merupakan warisan peradaban yang sudah ada sejak dahulu kala. Seiring waktu, ilmu, dan teknologi, pertanian terus berkembang kian moderen, sehingga ada produk pertanian organik dan sebagainya. Dalam hal ini, al-Quran telah mengingatkan untuk selalu mengejar ilmu dan menyerahkan pada ahlinya, seperti bunyi ayat, ”Tanyakanlah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” Ini pertanda bahwa seorang muslim harus bersikap terbuka pada ilmu pengetahuan demi mengembangkan suatu produk peradaban yang salah satunya adalah pertanian.
Keadilan Pangan
Pada masa Nabi Muhammad membangun keberadaban Madinah, urusan keadilan pangan tidak lepas dari perhatiannya. Salah satunya kitab I’anatuth Tholibin, karya Sayyid al- Bakri (tt) menggambarkan bagaimana ketegasan Nabi terhadap potensi ketidakadilan pangan karena ulah penimbunan yang menyebabkan melangitnya harga dan mengakibatkan rumah tangga miskin tidak mampu membeli makanan. Nabi menyebut para penimbun (muhtakir) itu sebagai dosa besar dan dikutuk oleh Allah.
Perspektif mendasar fikih pangan adalah kepentingan utama penegakan keadilan pangan (food justice). Fikih pangan bukanlah sekadar terbatas pada fikih zat pangan berkenaan dengan kehalalan dan keharaman pangan semata, akan tetapi mencakup pula berbagai macam urusan sosial, ekonomi, dan politik terkait dengan pangan. Dalam hal ini, kita bisa mengacu pada pandangan Imam Suyuthi dalam al-Asybah wa al-Nadhair (tt), bahwa perlu mendasarkan pada kaidah al-dhararu yuzaal, yaitu segala bentuk bahaya haruslah dihilangkan.
Berkait pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, Islam mewajibkan Negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang sekarang disebut dengan politik ekonomi. Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi.
Politik ekonomi yang berkait dengan pemenuhan pangan adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka.
Dalam kaidah fikih dikatakan “Tasharruf al-imam ‘ala al-raiyah manutun bi al-maslahah,” tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah memberikan kemaslahatan. Fikih pangan melihat bahwa kebutuhan masing-masing individu dalam soal pangan menjadi sangat vital dan bukan sekadar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Dengan kata lain, bukan sekadar meningkatkan taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat. Aspek distribusi menjadi sangatlah penting agar terjamin secara pasti bahwa setiap individu telah terpenuhi kebutuhan hidupnya.
Walhasil, kita menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia adalah bagian bumi yang terhijau dengan kekayaan alamnya yang menghampar nan memesona dari Sabang hingga Merauke. Semoga lewat fikih pangan akan tercipta semakin banyak kebijakan yang propertanian dan petani demi mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Leave a Reply