Opini: Haji Ma’rifat

opini:-haji-ma’rifat

Haji Ma’rifat
Oleh: H.M. Soffa Ihsan
Pengurus MUI Pusat
Wakil LBM PWNU DKI
Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Seluruh seremoni haji sesungguhnya menapaktilas perjalanan Nabi Ibrahim. Ibrahim bukan saja “Bapak tauhid” yang ditugaskan membersihkan rumah Tuhan dari kemusyrikan, tetapi juga sebuah teladan (matsal al-a’la) dari seorang manusia yang memilih untuk berangkat menuju Tuhan.

Dengan meneladani Ibrahim, lihatlah saudara-saudara kita, tanpa peduli usia dan kesehatan, abai kesibukan dan pekerjaan, tanpa hiraukan keluarga dan kawan-kawan, meninggalkan Tanah Airnya, berangkat menuju Baitullah.

Inilah syarat yang harus dipenuhi oleh semua orang yang kembali kepada Tuhan. Perjalanan menuju Tuhan harus dimulai dengan menanggalkan segala dosa dan kemaksiatan. Lihatlah jamaah haji yang harus mandi sebelum mengenakan kain ihram, sungguh mereka yang hendak berangkat menuju Tuhan harus membersihkan diri dari segala kenistaan yang mereka lakukan, baik dalam sunyi senyap maupun dalam hiruk pikuk, baik dalam temaram maupun yang benderang.

Teladan Sufi

Haji merupakan ibadah yang kaya dengan simbol-simbol keagamaan, pengorbanan dan peringatan. Bagi kaum sufi, haji bukanlah  kewajiban semata tanpa berupaya memahami simbol dan ritual yang terdapat di dalamnya. Mereka menekankan pada spiritualitas haji sekaligus mengkritik pemahaman literal terhadap teks wahyu dan ritual haji. Para sufi tertentu di masa awal Islam memandang haji sebagai alat dan sarana meraih tahapan-tahapan tingkat kesufian. Seorang sufi yang melaksanakan haji memutuskan semua pertalian dengan apapun yang bersifat duniawi. Ia akan selalu rindu untuk mengulangi lagi perjalanan spiritual ini untuk meraih makna-makna spiritualnya. Lebih jauh, kaum sufi tidak memandang haji itu sendiri sebagai tujuan, sebab tujuan sebenarnya ibadah haji adalah kebersamaan dan kedekatan dengan Tuhan. Menyitir Annemarie Schimmel, seorang ahli sufisme asal Jerman–haji merupakan titik sentral dalam kehidupan sufi.

Junaid al-Bagdadi—seperti disitir al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjub–ketika ia bertanya kepada muridnya yang baru pulang menunaikan haji,”Ketika Anda memakai kain ihram di miqat, apakah Anda melepaskan semua atribut kemanusiaan seperti Anda melepaskan semua pakaian Anda? Ketika Anda berangkat untuk pergi haji, apakah Anda juga melepaskan diri dari dosa-dosa anda?”.

Al-Hujwiri membagi haji menjadi dua macam. Pertama, berziarah ke rumah fisik yang dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim. Bagi mereka yang berziarah ke rumah fisik Ibrahim, Mekkah dan Ka’bah merupakan tujuan mereka. Mereka memakai pakaian ihram, bermalam di Arafah, menyembelih hewan kurban dan melakukan ritual wajib lainnya dan akhirnya memperolah status seorang haji.

Kedua, berziarah ke rumah spiritual Nabi Ibrahim. Mereka yang bermaksud menuju rumah spiritual ini harus melepaskan semua daya tarik dan kesenangan duniawi dan memakai ihram, yakni melepaskan diri dari mengingat selain Allah dengan meninggalkan hawa nafsu dan kemaksiatan. Mereka bermalam di Arafah untuk memperoleh ma’rifat, berjalan menuju Muzdalifah untuk mencapai ulfat (cinta), dan membuka rahasia diri paling dalam (sirr) untuk diuji di hadapan Ka’bah, melemparkan semua keserakahan dan hawa nafsu (ramy al-jimar) untuk meraih ketenangan dan ketentraman (Mina), dan berkurban binatang di altar perjuangan batin (mujahadah) untuk memperoleh kedekatan dengan Tuhan (khillat; pertemanan) seperti Ibrahim yang menjadi teman Tuhan (khalilullah).

Pandangan senada dikemukakan oleh Abu al-Qasim al-Qushairi  dalam Lathaif al-Isharah. Haji, baginya, dapat dibedakan berdasarkan niat pelakunya. Pertama, mereka yang mengadakan perjalanan dengan diri untuk mengunjungi Ka’bah, mereka melepaskan ihram setelah menunaikan ritual-ritual haji. Kedua, mereka yang mengadakan perjalanan dengan hati untuk menemui pemilik Ka’bah, mereka tetap memakai ihram sehingga menyaksikan Tuhan dan ihram bagi mereka adalah sikap sejati untuk menghindarkan diri dari menyaksikan selain Allah.

Al-Qushairi membagi haji yang dilakukan oleh orang awam dan orang khusus. Orang awam pergi haji untuk menempuh jalan Tuhan yang dicintai, tetapi orang khusus untuk menyaksikan wajah Tuhan yang dicintai. Banyak orang pergi haji untuk mengunjungi Ka’bah, tetapi sedikit orang yang bertujuan mengunjungi Tuhan itu sendiri. Orang awam berangkat dengan jiwa untuk mengunjungi pintu dan dinding Ka’bah, tetapi orang khusus berangkat dengan ruh mereka dan menyaksikan Tuhan sebagai teman yang berbicara kepada mereka.

Ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, tetapi berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya, menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya.

Jalan Rohani

Begitulah, haji adalah rihlah rohani menuju Allah. Menurut al-Ghazali, orang tidak akan mencapai Tuhan tanpa meninggalkan kelezatan syahwat dan keterbelengguan kepada hawa nafsu. Sejarah mewartakan, dulu untuk mencapai Tuhan, para pendeta meninggalkan negerinya, mengembara dengan mengemban berbagai kesulitan. Mereka hidup bersahaja sembari merendahkan dirinya dihadapan kebesaran Allah. Mereka berpakaian awut-awutan dan berpenampilan kusut masai, berkelana menjejaki perjalanan panjang mencari Tuhan.

Manakala Nabi Muhammad ditanya tentang kependetaan dan pengembaraan, beliau berkata,”Allah sudah menggantikannya untuk kamu dengan jihad dan takbir pada setiap tempat yang mulia.” Maksud Nabi dengan jihad dan takbir ini adalah haji. Ya, dalam ibadah haji, setiap muslim menjalani kehidupan kependetaan.

Panggilan untuk kembali kepada Allah sesungguhnya tak semata diembankan (khithab) pada jamaah haji. Panggilan itu juga ditujukan pada kita semua. Suatu saat, mau atau tidak mau, Tuhan akan mengambil nyawa kita dan memaksa kita kembali kepada-Nya.

Kita tercenung betapa berulang-ulang kita mengejar apa yang kita sangka sebagai tujuan hidup kita, ternyata hanya fatamorgana yang menyilap mata. Kita jadi kelelahan. Lalu, kita berhenti sejenak di tengah padang pasir. Kita adukan segala kealpaan dan kesalahan kita kepada-Nya.

Bukankah kita juga pernah menyangka bahwa jabatan adalah kejaran kita. Untuk itu, kita hantam kawan seiring. Kita fitnah orang-orang yang pernah berjasa kepada kita. Kita korbankan persahabatan dan kekeluargaan. Kita enyahkan cinta dan kasih sayang. Kita curang, culas dan khianat.

Kita telah bekerja keras mengejar apa saja, tetapi tidak secuil kesuksesan kita dapatkan. Pengorbanan sudah terlampau kita kucurkan. Kita cari kekayaan, tapi kita masih juga miskin. Kita tuntut kedudukan dan popularitas, tapi kita seperti semula, tetap orang kecil.

Kini, kita persembahkan kekayaan kepada Tuhan dengan membagi-bagikannya kepada hamba-hamba-Nya yang memerlukan. Allah berfirman,”Dekatilah Aku ditengah-tengah orang-orang kecil diantara kamu. Temui Aku ditengah-tengah orang yang menderita.” Kita juga persembahkan kedudukan kepada Tuhan dengan tujuan melindungi orang-orang mustadh’afin. Kita syukuri anugerah Tuhan dengan berusaha membahagiakan sesama manusia.

Nah, ibadah haji selayaknya membuahkan makrifat yakni kearifan, bersikap moderat dan lalu menebar damai ditengah masyarakat. Ketika para jamaah haji kembali ke kampung halaman, mereka akan membawa dua gelar sekaligus, yakni gelar haji dan gelar ‘arif billah.



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia