Dua puluh tahun bukanlah waktu yang singkat. Peristiwa-peristiwa mulia yang ditempuh kaum Muslimin bersama Rasulullah begitu saja berlalu. Indahnya masa-masa turunnya wahyu, gegap gempita kemenangan di medan perang, derap kaki-kaki kuda di dalam perjalanan menuju jihad, isak tangis yang mengiringi para syuhada menuju kampung akhirat, lautan ilmu di majelis-majelis Rasulullah semuanya terlambat ia rasakan.
Ketika tengah hamil tua, ibunya masuk ke dalam Kabah untuk suatu keperluan. Lalu ia merasakan perutnya mulas-mulas. Orang-orang segera mengambil alas dari kulit binatang. Tak lama kemudian, bayi laki-laki tampan dan sehat pun lahir ke dunia. lalah Hakim bin Hizam bin Asad bin Abdul Ghazi.
Usianya yang hanya lima tahun lebih tua dari Muhammad menjadikannya tak sulit untuk bersahabat karib dan melewati masa remaja bersama. Apalagi ketika Muhammad menjadi suami dari bibinya, Khadijah binti Khuwailid.
Kecintaannya kepada Muhammad pun telah membenih semenjak kanak-kanak, bahkan ia mengatakan, “Muhammad adalah orang yang paling aku cintai semasa jahiliah.” la pula yang membeli Zaid bin Haritsah, lalu ia berikan pada Khadijah. Zaid lantas dihadiahkan oleh Khadijah kepada Rasulullah dan ia menjelma menjadi pejuang Islam yang tinggi derajatnya dengan syahid.
Namun sayang, semua itu tak juga membuat sinar hidayah menembus hatinya. Ketika ia mulai condong kepada Islam, ia selalu melihat keteguhan dan keuletan para pembesar Quraisy dalam mempertahankan agama nenek moyang. Akibatnya, hidayah kembali menjauh darinya. Apa yang diucapkan Rasulullah menjadi kenyataan. Usianya menginjak 70-an tahun. Hakim mengucapkan kalimat syahadat bersama orang-orang Quraisy yang tak berkutik melawan tentara Muslim dalam peristiwa Fathu Makkah. Hakim menangis dengan air mata mengalir deras hingga anaknya heran dan bertanya. “Mengapa engkau menangis, wahai ayahku?” tanyanya.
Penyesalan Hakim bin Hizam tak terbendung lagi. Padahal sejak kanak-kanak ia telah akrab dengan sang calon rasul mulia.
“Aku menangis terlambat masuk Islam, Anakku. Hingga begitu banyak peristiwa berharga terlewatkan, yang tak mungkin bisa aku dapatkan dengan kepingan emas dan perak.”
Hakim tak putus asa. Sekuat tenaga ia mengejar ketertinggalannya. Harta berlimpah yang ia miliki, ia sedekahkan untuk membela agama Allah dan Rasul-Nya. Pada haji pertamanya, Hakim menggiring 100 ekor unta untuk disembelih di Makkah.
Haji yang kedua, ia membawa 100 budak dengan tulisan yang tergantung di leher mereka, “Dibebaskan oleh Hakim untuk Allah”.
Lalu pada haji yang ketiga, ia menggiring 1000 ekor kambing untuk disembelih dan dibagikan kepada fakir miskin di Mina. Tak cukup di situ, Hakim tak puas dengan infak-infak sebelumnya. Maka ia menjual Darun Nadwah, sebuah bangunan megah miliknya yang biasanya digunakan untuk rapat-rapat penting kaum Quraisy. Uang hasil penjualan bangunan itu ia infakkan di jalan Allah Ketika seseorang bertanya tentang hal itu, Hakim menjawab, “Sesungguhnya aku menggantinya dengan membeli sebuah rumah di surga dan engkaulah yang menjadi saksinya,” jawab Hakim.
Pengorbanan Hakim ia berikan dengan talus dan ikhlas. la seorang dermawan sejati yang selalu merindukan kedua tangannya mengulurkan sedekah. Saking cintanya kepada sedekah, ia pernah berkata, “Tidaklah pagi datang padaku tanpa seseorang di depan pintuku untuk meminta sedekah, kecuali itu adalah musibah yang aku mintakan Allah pahala darinya.” []
Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah/ Penulis: Ummu Rumaisha/ Penerbit: al-Qudwah Publishing/ Februari, 2015
Leave a Reply