JAKARTA — Ketua MUI Bidang Fatwa Prof. Huzaemah Tahido Yanggo menegaskan bahwa tidak ada kata golput dalam Fatwa MUI tahun 2009.
“Bahasa golput itu sama sekali tidak ada dalam fatwa itu,” ungkap wanita Indonesia pertama yang mendapat doktor di Universitas Al-Azhar Mesir itu, Jumat (29/03).
Meskipun begitu, ia mengatakan bahwa fatwa tahun 2009 itu mewajibkan untuk memilih pemimpin yang dipandang memenuhi atau mendekati kriteria-kriteria tertentu.
“Pemimpin yang dipilih itu antara lain yang beriman, bertaqwa, sidiq , amanah, tabligh (aktif dan proaktif), dan fathonah (pandai membaca situasi),” ungkapnya.
Prof. Huzaemah mengungkapkan bahwa fatwa ini muncul pada saat Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa di Padang Panjang, Sumatera Barat pada tahun 2009.
Sekalipun usia fatwa ini sudah sepuluh tahun, namun belakangan menjadi ramai kembali pascamedia menukil pernyataan Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, KH. Muhyiddin Junaidi. Sehingga terkesan MUI baru mengeluarkan fatwa ini menjelang pilpres yang berlangsung kurang sebulan lagi.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH. Asrorun Niam Sholeh mengatakan, memilih itu pada prinsipnya adalah hak masing-masing individu. Namun, ia menekankan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kehadiran sosok pemimpin mutlak adanya.
“Karenanya memilih pemimpin bagi individu muslim itu hukumnya wajib. Kalau tidak memilih padahal ada pemimpin yang memenuhi kriteria tersebut, itu hukumnya haram,” ungkapnya, Kamis (28/03).
Kiai Niam menambahkan, kehadiran pemimpin diperlukan untuk mengelola persoalan dunia. Untuk itu, tambahnya, seorang pemimpin wajib memiliki kriteria-kriteria yang tertuang dalam fatwa tersebut.
“Kalau ada pemimpin seperti itu (memenuhi kriteria), maka memilih pemimpin seperti itu menjadi wajib,” tegasnya. (Azhar/Din)
Leave a Reply