Wakil Presiden RI KH. Ma’ruf Amin saat membuka kegiatan Rapat Koordinasi Dakwah Nasional Senin (02/12) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, mengungkapkan dua hal mengapa standardisasi diperlukan. Pertama, ungkap Kiai Ma’ruf, standardisasi perlu untuk menjamin kompetensi para da’i. Da’i-da’i yang sudah dikenal di masyarakat secara umum memiliki kapabilitas keilmuan keislaman yang mumpuni. Namun, beberapa da’i juga ada yang masih memiliki cela seperti salah membaca ayat Al-Quran atau hadist sehingga maknanya berubah total. Padahal, posisi da’i sangat penting di tengah masyarakat utamanya sebagai panutan dan rujukan.
“Kompetensi ini penting jangan sampai dai tidak menguasai yang didakwahkan, apalagi salah. Da’ adalah panutan bagi masyarakat,” katanya.
Amin mencontohkan, pernah ada suatu khatib yang membaca khutbah seharusnya mengucapkan “al-yauma akmaltu lakum diinukum” menjadi “al-yauma akmaltu lakum dainukum”. Makna yang seharusnya aku sempurnakan agamamu berubah menjadi hutang-hutangmu.
Pada contoh yang lain, Kiai Ma’ruf menceritakan bahwa ada pula da’i yang menyatakan “waquulu qaulan sadiida” dikatakan “waquulu qaulan syadiida”. Perbedaan satu huruf saja mengubah makna yang saling berjauhan. Makna berkatalah dengan perkataan yang lembut menjadi perkataan yang keras.
“Karena itu dai harus memiliki kompetensi, menguasai ilmu agama yang cukup. Memang ada ungkapan dari Nabi ballighu ‘anni walau aayah, sampaikan dariku walau satu ayat, tapi harus paham ayat itu, jangan sampai tidak paham,” katanya.
“Oleh karena itu menjadi dai itu benar-benar harus bisa dititipkan, distandardisasi, minimal menjadi dai itu seperti apa. Maksudnya mengajak orang, jangan justru menimbulkan salah, membuat orang menjadi ingkar karena dia tidak menguasai dan memiliki kompetensi,” imbuhnya.
Kedua, kata Kiai Ma’ruf, standardisasi dai menjadi penting karena untuk menguji integritas seorang dai. Integritas yang dimaksud di sini salah satunya adalah integritas kebangsaan. Sehingga dakwah tidak boleh bertentangan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Dakwah kita tidak boleh kemudian bertentangan dengan sesuatu yang sudah disepakati bersama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuatu yang sudah mujma’ alaih, kesepakatan bersama, NKRI dan Pancasila,” katanya.
Integritas yang lain adalah bagaimana para pendakwah tersebut menyikapi perbedaan (ikhtilaf) dengan sikap toleran. MUI mengusung konsep ini dengan sebutan “taswiyatul manhaj” atau penyamaan persepsi untuk merespon perbedaan yang ada.
“Kalau mukhtalaf harus ditoleransi, tidak boleh ada ego kelompok, itu tidak toleran, tidak boleh juga fanatik kelompok, akibatnya terjadilah antar umat Islam yang saling memaki, karena itu dalam suatu perbedaan harus ada tasamuh,” katanya.
Terakhir, katanya, integritas untuk berdakwah dengan narasi kerukunan dan cinta kasih. Narasi seperti ini penting karena sejak lama Allah memerintahkan untuk membangun umat yang kuat dan tidak meningglkan anak cucu yang lemah. Narasi kerukunan ini merupakan langkah untuk membangun anak cucu muslim yang kuat di segala bidang, baik akidah, ekonomi, maupun pendidikan.
“Jangan sampai meninggalkan di belakang mereka anak cucu yang lemah akidah, ekonomi, dan pendidikannya. Karena itu kita harus membangun generasi yang secara ekonomi kuat. Perbaikan ekonomi dan pendidikan itu yang harus kita dorong, makanya umat Islam harus juga menjadi maju,” tuturnya. (Azhar/Thobib)
Leave a Reply