Dalam aspek sertifikasi halal dan standar halal, Indonesia telah leading. Sistem dan standar halal Indonesia telah banyak menjadi rujukan dan diadopsi oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal mancanegara. Setidaknya, sebanyak 45 lembaga sertifikasi halal dari 26 negara (LSHLSN) telah mengadopsi dan mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang dikembangkan LPPOM MUI.
Selanjutnya, beberapa figur halal Indonesia, terutama dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), telah pula menjadi narasumber sekaligus tokoh halal internasional. Ini merupakan gambaran bahwa sistem maupun proses sertifikasi halal Indonesia telah diakui secara internasional. Demikian dikemukakan Direktur LPPOM MUI Pusat, Dr. Ir. Lukmanul Hakim, M.Si., dalam acara webinar pada 16 juni 2020 lalu, yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI Propinsi Bangka Belitung (Babel).
Maka sangat diharapkan, semua kemajuan yang telah dicapai itu, tidak dimundurkan lagi dengan regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun dengan birokrasi pemerintah daerah. Bahkan semestinya, halal menjadi competitive advantage atau keunggulan daya saing bagi produk-produk domestik.
“Lebih dari itu, halal seharusnya juga menjadi ‘paspor’ atau pintu masuk bagi produk-produk Indonesia untuk ekspor ke luar negeri. Terutama negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim,” ujar Lukmanul yang juga menjabat sebagai Ketua MUI Bidang Pemberdayaan Ekonomi Umat pada webinar dengan topik “Para Tokoh Bicara Prospek Halal Babel dalam Mendorong Percepatan Ekonomi Babel”.
Terjadi Anomali
Namun sangat disayangkan, dari sisi industri halal Indonesia justru masih sangat lemah sehingga terjadi anomali. Karena dalam aspek global market, Indonesia dengan jumlah populasi konsumen Muslim terbesar di dunia, malah menjadi salah satu negara dengan impor produk pangan (halal) yang terbesar di dunia. Dengan nilai mencapai 169,7 miliar dollar AS.
Beberapa negara importer produk pangan lainnya, menurut data dari Laporan Ekonomi Islam Globar tahun 2019/20 yang dipublikasikan oleh The ASEAN Post, adalah Turki dengan nilai impor sebesar 121,1 miliar, lalu Pakistan 111,8 miliar, dan Mesir 80,9 miliar.
Sementara negara eksporter produk pangan halal terbesar dunia adalah Brazil dengan nilai 5,2 miliar dollar. Diikuti berturut-turut oleh Australia 2,4 miliar, dan India 2,3 miliar. Semua negara itu jelas bukan negara dengan penduduk muslim yang signifikan.
Peluang Sangat Prospektif
Maka jelas, hal tersebut menjadi tantangan sekaligus sebagai peluang yang sangat prospektif khusus bagi Indonesia. Yakni agar paling tidak, Indonesia dapat memenuhi pasar domestik yang amat besar dengan produk halal yang dihasilkan secara mandiri. Dan tentu lebih baik lagi, bila Indonesia dapat menjadi eksportir, dengan keunggulan-keunggulan yang telah disebutkan itu.
Oleh karena itu, Indonesia harus berupaya mengembangkan, bagaimana kebutuhan produk halal domestik Indonesia dapat dipenuhi secara mandiri. Utamanya dengan mengembangkan industri halal bagi usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM). Bahkan juga menggenjot agar Indonesia dapat menjadi negeri dengan industri halal yang mumpuni. Mampu mengekpor produk halal ke negara-negara sahabat. Karena sistem sertifikasi halal Indonesia telah mengemuka, sebagai paspor yang diakui.
Pengembangan UMKM yang dapat tumbuh signifikan, pada gilirannya, niscaya dapat memperkuat ketahanan pangan, membuka dan menyerap lapangan kerja yang lebih luas. Dan lebih lanjut lagi, tentu akan dapat juga memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia semua.
Upaya pengembangan UMKM agar dapat menghasilkan produk halal untuk konsumsi domestik sekaligus juga dapat diekspor, tentu membutuhkan peran serta dan bantuan nyata dari pemerintah daerah di tingkat propinsi maupun kota dan kabupaten. Maka dengan webinar ini, diharapkan akan dapat memberikan pencerahan, serta menghasilkan langkah-langkah pengembangan dan dukungan nyata yang dibutuhkan secara sinergis. (USM)
Leave a Reply