Oleh : Abdul Muiz Ali
(Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat)
Membicarakan soal vaksin atau kemudian mendiskusikan soal vaksinasi, belakangan ini selalu menjadi topik diskusi yang banyak dibicarakan oleh semua kalangan. Para pakar dari kalangan dokter ataupun akademisi banyak membicarakan soal vaksin dilihat dari aspek material dan penggunaanya. Sedangkan kalangan santri dan Kiai (ulama) juga membicarakan soal vaksin dilihat dari perspektif fiqih. Sebelum sidang pleno Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa tentang suci dan halalnya vaksin Sinovac, pada 8 Januari 2021 yang lalu, pemberitaan soal vaksin banyak dimuat dibeberapa media maintream internasional, khususnya media Arab ataupun Timur Tengah. Dalam salah satu portal media Arab terdapat judul berita jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi; “Indonesia Menunggu Fatwa Soal Vaksin untuk Melawan Corona”.
Sejarah Vaksin
Bangsa Barat mempercai bahwa vaksin ditemukan pada sekitar abad ke-17 (tahun 1600-an). Pada saat itu masyarakat Eropa dan belahan dunia lainnya dihadapakan pada penyakit ganas, menular dan mematikan (wabah), yaitu cacar nanah yang disebabkan oleh virus Smallpox. Disebutkan, pada saat itu, ±400.000 orang di Eropa meninggal dunia setiap tahun karena Smallpox. Merujuk pada History of Vaccini, orang Eropa yang pertama kali menemukan teori vaksin adalah Edward Janer, dokter asal Inggris yang lahir di Britania Raya tahun 1749. Dia dikenal dengan sebutan “bapak imunologi “. Edward Jener disebut sebagai orang yang memelopori konsep vaksin termasuk menciptakan vaksin cacar, yang katanya vaksin pertama di dunia. Pertama kali menemukan penemuan vaksin sekitar tahun 1796.
Apakah Edward Jener adalah “orang pertama” yang membicarakan tentang penyakit cacar berikut cara pencegahannya?
Tentu jawabannya tidak. Pada zaman keemasan Islam, ada tokoh Muslim yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi. Orang Barat atau Eropa menyebutnya dengan panggilan Rhazes. Syaikh Abu Bakar ar-Razi hidup antara tahun 864 – 930. Ia lahir di Rayy, Teheran Iran pada tahun 251 H./865 dan wafat pada tahun 313 H/925. Ar-Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq di Baghdad.
Muhammad bin Zakariya ar-Razi dalam kitabnya Al-Judari wa Al-Hasbah, yang artinya ‘Penyakit Cacar dan Campak’, menulis secara rinci soal penyakit cacar (Smallpox) dan campak (Measles). Satu jenis penyakit atau wabah menular, ganas dan mematikan.
Imam ar-Razi menyebutkan bahwa, “Cacar (smallpox) muncul ketika darah terinfeksi dan mendidih, yang menyebabkan pelepasan uap. Pelepasan uap inilah yang menyebabkan timbulnya gelembung-gelembung kecil berisi cairan darah yang matang.
Penyakit ini bisa menimpa siapa saja, baik pada masa kanak-kanak maupun dewasa. Hal terbaik yang bisa dilakukan pada tahap awal penyakit ini adalah menjauhinya. Jika tidak, maka akan terjadi wabah.”
Yang menarik kitab Al-Judari wa Al-Hasbah ini ditulis sekitar abad ke-9, hampir seribu tahun sebelum vaksin cacar dan campak ditemukan. Dan Al-Razi secara jelas mendeskripsikan bahwa penyakit ini menimbulkan wabah, menular lewat darah, dapat menyerang anak-anak maupun dewasa.
Vaksin Sinovac Suci, Halal dan Aman
Merujuk hasil Fatwa MUI No 2 Tahun 2021, bahwa Vaksin Covid-19 produk Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dapat dihukumi halal dengan empat alasan sebagai berikut;
Pertama, dalam proses produksinya, tidak memanfaatkan (intifa’) babi atau bahan yang tercemar babi.
Kedua, dalam prosesnya tidak memanfaatkan bagian anggota tubuh manusia (juz’ minal insan).
Ketiga, meskipun dalam prosesnya bersentuhan dengan barang najis tingkat ringat (mutawassithah), sehingga dihukumi mutanajjis, akan tetapi sudah dilakukan pensucian yang telah memenuhi ketentuan pensucian secara syar’i (tathhir syar’i).
Keempat; Menggunakan fasilitas produksi yang suci dan hanya digunakan untuk produk vaksin Covid-19.
Selain hal diatas, peralatan dan pensucian dalam proses produksi vaksin di PT. Bio Farma (Persero) dipandang telah memenuhi ketentuan pencucian secara syar’i (tathhir syar’i).
Hal tersebut, juga dikuatkan dengan keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI yang telah mengeluarkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dan jaminan keamanan (safety), mutu (quality), serta kemanjuran (efficacy) bagi Vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co.Ltd. China yang menjadi salah satu indikator bahwa vaksin tersebut memenuhi kualifikasi thayyib.
Penting juga dipahami oleh kita adalah, bahwa yang dimaksud dalam Fatwa MUI No 2 tahun 2021 adalah vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dengan nama produk yang didaftarkan sebanyak tiga nama, yaitu (1) CoronaVac, (2) Vaksin Covid-19, (3) Vac2Bio. Bukan nama vaksin lain yang belum ditetapkan suci dan halal oleh MUI. Ada dua poin penting dalam ketentuan hukum pada Fatwa MUI No 2 tahun 2021; Pertama; vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China hukumnya suci dan halal. Kedua; vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China sebagaimana diatas hanya boleh digunakan untuk umat Islam sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Menjaga Kesehatan
Dalam ajaran Islam menjaga kesehatan (hifzu al-Nafs) atas diri sendiri dan orang lain termasuk salah satu dari lima prinsip pokok (al-Dhoruriyat al-Khomsi). Vaksinasi sebagai salah satu tindakan medis (min Babi ath-Thibbi al-Wiqoi) untuk mencegah terjangkitnya penyakit dan penularan Covid-19. Menjaga kesehatan, dalam prakteknya dapat dilakukan melalui upaya preventif (al-Wiqoyah), dimana salahsatu ikhitiarnya dapat dilakukam dengan cara vaksinasi termasuk perbuatan yang dibenarkan dalam Islam.
Dalam kaidah fikih disebutkan, “Bahaya (al-Dharar) harus dicegah sedapat mungkin”.
Tentang pentingnya menjaga kesehatan dari serangan wabah dapat kita lihat dari beberapa dalil sebagai berikut ;
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا خُذُوۡا حِذۡرَكُمۡ
Wahai orang-orang yang beriman! Bersiapsiagalah kamu (QS. al-Nisa :71)
وَلۡيَاۡخُذُوۡا حِذۡرَهُمۡ وَاَسۡلِحَتَهُمۡ
Dan hendaklah mereka bersiapsiaga dan menyandang senjata mereka’.. (QS. Al-Nisa : 102).
Allah Subhanahu Wata’ala melarang kepada kita agar tidak menjatuhkan diri dalam kebinasaan,
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan… (QS Al-Baqarah [2]: 195)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita agar senantiasa menjaga imunitas atau kekebalan tubuh kita dengan cara mengkonsumi kurma Ajwah.
مَنْ تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً، لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ
“Barangsiapa mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun maupun sihir” (HR. al-Bukhari & Muslim).
Dalam hadis juga disebutkan,
قَالَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah ‘azza wajalla.” (HR Muslim)
Pendapat Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labib, (1/223-224):
وخذوا حذركم أي احترزوا من العدو ما استطعتم لئلا يهجموا. عليكم. وهذه الآية تدل على وجوب الحذر عن جميع المضار المظنونة، وبهذا الطريق كان الإقدام على العلاج بالدواء والاحتراز عن الوباء وعن الجلوس تحت الجدار المائل واجبا.
Bersiapsiagalah kalian. Jagalah diri kalian dari musuh sesuai kemampuan supaya mereka tidak menyerangmu. Ayat ini menunjukkan kewajiban menjaga dari seluruh dugaan bahaya. Dengan demikian, terapi pengobatan, menjaga dari wabah serta tidak duduk dibawah tembok yang akan roboh adalah wajib
Imam al-Qasthalani dalam kitab Irsyadu al-Sari (7/96) menjelaskan mengenahi ayat al-Quran surat al-Nisa ayat 102;
إن كان بكم أذى من مطر أو كنتم مرضى أن تضعوا أسلحتكم [النساء: 102] فيه بيانُ الرخصةِ في وضْعِ الأَسْلِحةِ إنْ ثَقُل عليهمْ حَمْلُها بِسببِ مَا يَبُلُّهُم مِن مطرٍ أوْ يُضْعِفُهمْ مِن مرَضٍ وأمَرَهُمْ معَ ذلك بِأخذِ الحذْرِ لِئلا يَغْفَلوا فيَهجُمُ عليهمُ العدوُّ، ودلَّ ذلك على وُجوْبِ الحذرِ عن جميعِ المضارِّ المظنونةِ، ومِنْ ثَمَّ عُلِم أنَّ العلاجَ بالدواءِ والاحْترازَ عنِ الوباءِ والتحرُّزَ عن الجلوسِ تحتَ الجدارَ المائلَ واجبٌ.
“(Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit) (al-Nisaa:102). Di dalam ayat ini adanya keringanan untuk meletakkan senjata saat para pasukan terbebani dengan bawaan, seperti dalam keadaan basah kuyup kehujanan atau karena sakit. Meskipun demikian mereka tetap harus waspada terhadap musuh. Ayat tersebut juga menunjukkan wajibnya menjaga kewaspadaan dari segala bahaya yang akan datang. Dari sinilah difahami bahwa berobat dengan obat dan menjaga diri dari wabah penyakit serta menghindari dari duduk-duduk di bawah dinding yang miring adalah wajib”.
Perihal kebolehanya mengkonsumi obat yang bertujuan untuk menguatkan stamina dapat kita lihat penjelasanya dalam kitab I’anah Ath-Tholibin (3/316);
ويندب التقوي له بأدوية مباحة مع رعاية القوانين الطبية ومع قصد صالح، كعفة ونسل، لأنه وسيلة لمحبوب فليكن محبوبا
“Disunnahkan meningkatkan imunitas tubuh/daya tahan tubuh dengan menggunakan obat-obatan yang boleh dikonsumsi dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan medis dan disertahi dengan tujuan yang baik, seperti menjaga kehormatan dari perbuatan hina (iffah), dan memperbaiki keturunan. Karena meningkatkan imunitas tubuh/daya tahan tubuh (al-Taqawwi) menjadi sarana (wasilah) untuk tercapainya hal-hal yang terpuji, maka hukum meningkatkan daya tahan tubuh (taqawwi) termasuk perbuata yang terpuji”.
Dari penjelasan diatas dapat kita pahami, bahwa mengikuti program vaksinasi yang bertujuan untuk menjaga kekebalan tubuh dalam situasi pandemi Covid-19 termasuk perbuatan yang dibenarkan dalam Islam.
Penulis:
Abdul Muiz Ali
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat
Leave a Reply