Miras dan Nalar dalam Beragama

Oleh

Thobib Al-Asyhar

Perpres No. 10 Tahum 2021 yang ditandatangani presiden baru-baru ini dan akhirnya dibatalkan menuai pro-kontra. Salah satu isi Perpres tersebut terkait dengan daftar investasi Minuman Keras (Miras) yang dibolehkan di beberapa wilayah tertentu. Isu ini lalu menggelinding dan menjadi bola liar netizen +62. Beberapa orang atau pihak malah mengembangkan teori-teori politik out of context. Akibatnya, di dunia maya semakin gaduh dan ramai.

Perdebatan soal industri Miras sebenarnya sudah cukup lama. Bagi yang menolaknya lebih mendasarkan pada alasan agama dalam berbagai bentuknya, baik memproduksi, mengedarkan, apalagi meminumnya. Dalam sebuah hadis Nabi yang sangat populer disebutkan: Setiap benda yang memabukkan itu “khamr” (arak), dan setiap “khamr” hukumnya haram. Kata kunci keharamannya lebih karena efek Miras terhadap keseimbangan kesadaran manusia.

Berkurangnya kesadaran akibat Miras membuat seseorang kehilangan kontrol diri. Sementara menjaga akal (hifdzul aql) adalah salah satu dari kewajiban agama. Rasulullah bersabda: “Jauhilah khamr karena ia adalah Ummul Khabaits”. Yang dimaksud “Ummul Khabaits” adalah sumber munculnya keburukan (dosa). Tidak sedikit orang yang “awalnya baik” akhirnya kehilangan kendali dengan melakukan dosa besar dalam keadaan mabuk, seperti membunuh, berzina, dan lain-lain.

Dalam kitab “Mashaibul Insan Min Makaid Syaithan karya Syaikh Al Maqdisi Al-Hanafi” diceritakan tentang seorang tokoh agama bernama Barshisha. Ia digambarkan seorang alim yang ahli ibadah. Namun karena tergoda rayuan setan, akhirnya ia meminum khamr, mabuk, lalu berzina dengan seorang gadis dan akhirnya membunuhnya. Meski cerita itu disebut fiktif, tetapi bisa menggambarkan bagaimana dampak dahsyat Miras terhadap perilaku manusia.

Lalu apa alasan bagi yang “membolehkan” industri Miras? Jika dicermati, alasannya lebih karena aspek ekonomi. Sebelum muncul Perpres tersebut, telah ada sebanyak 103 pabrik Miras legal. Belum lagi home induatri Miras oplosan yang illegal. Maklum, investasi sektor ini cukup menggiurkan. Konon konsumen Miras di tanah air terus melonjak. Apalagi di wilayah yang mengandalkan sektor wisata. Bahkan, hotel bintang 5 persyaratannya harus menyediakan minuman beralkohol, seperti wine dan semacamnya. Banyak wisatawan asing yang membutuhkan sebagai tuntutan life style mereka.

“Kebolehan” mengonsumsi minuman beralkohol dalam kadar tertentu ada pula karena alasan budaya. Apalagi kita hidup di negeri multi-ras, dimana dihuni ragam keyakinan dan cara pandang hidup. Indonesia bukan negeri agama, sehingga masih “menerima” secara malu-malu kepada mereka yang mengonsumsi minuman beralkohol dalam kadar tertentu. Apalagi beberapa agama lebih longgar dalam penerimaan terhadap Minol (minuman beralkohol) untuk kepentingan ritual dan budaya.

Jika merujuk pada sejarah tradisi masyarakat nusantara, minuman beralkohol telah ada sejak Indonesia belum lahir. Hampir setiap daerah memiliki minuman tradisional yang diramu dari bahan-bahan lokal. Ada sopi di Flores, tuak (Lombok), arak (Bali), ballo (Sulawesi Selatan), swansrai (Papua), cap tikus (Minahasa), lapen (Yogyakarta), dan ciu (Sukoharjo).

Kebiasaan orang mengonsumsi minuman beralkohol di masyarakat dapat ditemukan dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa keemasan Kerajaan Majapahit abad ke-14. Dalam naskah tersebut diketahui Minol pada zaman itu merupakan bagian dari jamuan agung kerajaan. Saat pesta tahunan seusai panen raya, raja akan membuka perjamuan besar dengan menyuguhkan tampo atau arak keras yang terbuat dari beras jenis terbaik. Biasanya disuguhkan pula bermacam minuman keras jenis lain.

Demikian juga dalam ritual-ritual keagamaan. Beberapa agama telah menggunakan minuman beralkohol untuk upacara-upacara ritual mereka. Pada masa Jawa Kuno, minuman beralkohol dikonsumsi saat melakukan ritual keagamaan dan pesta. Pada suatu jamuan pesta di Majapahit, santapan sedap dihidangkan bagi orang banyak. Makanan serba berlimpah. Minuman mengalir dengan deras. Segala minuman keras tersedia, tuak kelapa dan tuak siwalan, arak, kilang, brem, dan tampo (Historia.id)

Selain menggunakan minuman beralkohol, Stanivlav Grof adalah seorang tokoh psikologi transpersonal yang memanfaatkan LSD (semacam Narkoba) sebagai media pengubah kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan hingga mencapai puncak tertinggi (trance). Dalam bukunya, LSD Psychotherapy (The Healing Potential of Psychedelic Medicine), Grof mengembangkan media penggugah jiwa melalui LSD sebagai sarana untuk mencapai kondisi trans atau memperoleh perubahan kesadaran (altered state of consciousness).

Terlepas dari fakta bahwa Miras telah menyatu dalam ragam tradisi dan budaya nusantara sejak lama, ada juga sebagian kelompok agama yang menggunakannya untuk kepentingan ritual dan kebudayaan. Dalam konteks ini bahwa bangsa Indonesia yang dihuni oleh masyarakat yang plural faktanya sulit “menolak” Minol secara frontal. Belum lagi jika dihubungkan dengan life-style budaya modern dimana minuman beralkohol menjadi bagian dari kehidupan kekinian seperti layaknya minum air mineral.

Mencermati hal tersebut, ada perbedaan konteks antara Miras sebagai industri yang ditujukan untuk “kehidupan senang” yang memabukkan dengan minuman beralkohol (Minol) untuk kepentingan adat dan ritual keagamaan. Keberadaan Miras yang didefinisikan sebagai media “memabukkan” yang bisa membahayakan jiwa manusia hampir pasti ditolak oleh semua agama.

Agama, apapun namanya, tidak memberi ruang kepada umatnya untuk bersenang-senang dengan cara yang dapat membahayakan tubuh dan jiwanya. Pemaknaan ini berbeda dengan Minol (minuman beralkohol) yang dalam kadar tertentu dibolehkan untuk kepentingan budaya dan jamuan ritual keagamaan bagi agama-agama tertentu.

Dalam konteks ini diperlukan “kearifan” bahwa Miras yang dijadikan industri untuk mendongkrak investasi pantas untuk ditolak dan presiden sudah tepat mencabut karena muaranya dapat merusak generasi. Suara masyarakat yang lantang menolak Perpres tersebut bisa dipahami karena adanya kekhawatiran bahwa biaya dampak Miras jauh lebih besar dibandingkan apa yang diperoleh secara ekonomi sebagai industri. Sementara fakta penerimaan Minol untuk kepentingan budaya dan ritual keagamaan sulit untuk ditolak.

Selain itu, nalar lurus beragama kita juga perlu mewaspadai hal-hal lain yang menjadikan kita mabok dunia, kekuasaan, harta, wanita, dan pujian. Jika Miras membuat kita hilang kesadaran sehingga merusak otak dan tubuh, maka kesenangan duniawi juga bisa menjerumuskan jiwa kita ke jurang kehinaan yang tak bertepi. Intinya, jika Miras diharamkan karena efek buruknya, demikian juga mabok duniawi yang menjadikan kita terjerumus dalam kehinaan juga pasti “haram” karena dapat merusak kewarasan beragama. Wallahu a’lam

Thobib Al-Asyhar
(Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Wakil Ketua Komisi Infokom MUI)
.



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia