Internalisasi Nilai Islam dalam Komunikasi Pandemi Kita

Oleh : Mahladi, pengurus Komisi Infokom MUI


Setiap orang suka berkomunikasi. Itu fitrah manusia. Tak ada manusia yang mau hidup sendiri. Bahkan, ketika Allah Ta’ala menciptakan Adam alaihissalam, maka manusia pertama di muka bumi tersebut menawar kepada Allah Ta’ala agar diciptakan teman untuknya.

Namun, tak semua orang bisa sabar mendengarkan orang lain bercerita. Apalagi bila cerita yang disajikan tak sesuai dengan seleranya, atau menganggu aktivitasnya. Sudah jelas tak akan diacuhkan!

Di sisi lain, banyaknya informasi di era teknologi internet saat ini membuat pilihan masyarakat akan informasi kian beragam. Persaingan untuk mengambil hati pembaca atau pemirsa kian ketat. Semua ingin berbicara, dan semua ingin didengarkan.

Lantas, dengan keadaan seperti ini, bagaimana informasi penting bisa dipahamkan kepada masyarakat? Apakah publik mau menyerap informasi tersebut atau tak mau mengacuhkannya? Kalau pun mau, apakah publik bisa memahaminya? Dan, kalau pun paham, maukah publik menaati atau melaksanakannya?

Inilah sederet persoalan komunikasi publik yang harus kita pecahkan. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, pemerintah tak mungkin membatasi akses komunikasi kepada publik. Yang harus dilakukan pemerintah justru memenangkan persaingan komunikasi untuk merebut perhatian publik.

Di masa pandemi Covid-19 yang telah berjalan lebih dari dua tahun, banyak sekali informasi yang harus disampaikan pemerintah kepada publik. Soal vaksin, misalnya, atau soal ajakan untuk mematuhi protokol kesehatan.

Namun, banyaknya informasi lain yang berseliweran membuat tak semua masyarakat langsung percaya kepada informasi yang disampaikan pemerintah. Akibatnya muncul pro dan kontra. Jika jumlah masyarakat yang pro jauh lebih banyak maka tak akan menjadi masalah. Lalu bagaimana bila yang terjadi sebaliknya?

Karena itu, langkah pemerintah menggandeng ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membantu berkomunikasi kepada publik adalah sangat tepat. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan.

Pertama, Islam adalah agama yang sempurna. Artinya, Islam tak sekadar mengurusi persoalan ibadah ritual atau hubungan antara makhluk dengan Sang Penciptanya saja, namun juga hubungan antara sesama mahluk. Termasuk di dalamnya cara menyikapi datangnya sebuah informasi dari orang-orang yang tidak kompeten agar tidak terjebak dalam perangkap hoaks sebagaimana tertera dalam surat al-Hujarat [49] ayat 6.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Islam juga menganjurkan umatnya berikhtiar maksimal menghindari wabah penyakit. Islam secara lengkap mengatur tata cara penyikapan terhadap wabah, termasuk menjaga jarak (menghindari potensi penyebar) dan meningkatkan kekebalan tubuh. Bahkan, konsep lockdown pun ada dalam Islam. Semua kajian tentang ini sudah lengkap, tinggal didakwahkan saja.

Namun, orang-orang yang mendakwahkan nilai-nilai Islam tersebut tak boleh sembarangan. Mereka harus orang yang tepat. Siapa lagi kalau bukan ulama. Mereka memiliki kharismatik karena kedalaman ilmunya dan kebaikan akhlaknya. Mereka memiliki massa, terutama ulama yang tergabung dalam organisasi-organisasi Islam.

Alasan kedua, jumlah kaum Muslim di negara ini sangat besar. Meskipun sebagian di antara mereka masih awam terhadap Islam, namun kultur bangsa ini sejak dahulu hingga sekarang sangat patuh kepada ulama. Suara ulama selalu didengar oleh masyarakat. Banyak sekali persoalan bangsa yang selesai setelah ulama bersuara.

Di samping itu, bangsa ini sejak lama telah diajarkan tentang rasa takut kepada kemurkaan Allah Ta’ala, dan rasa harap akan ganjaran surga. Patut kita syukuri bahwa kesalehan bangsa ini terus meningkat dari masa ke masa. Jumlah masjid semakin banyak, jamaah pun semakin ramai.

Hanya saja, metode penyampaian harus sesuai dengan keadaan pada zamannya. Zaman sekarang, komunikasi publik akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan menggunakan teknologi. Daya jangkaunya luas, praktiknya sederhana, biaya pun minim.

Sebagai panduan berkomunikasi, Majelis Ulama Indonesia, mengeluarkan fatwa bernomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.

Di antara isi fatwa tersebut berbunyi, “Setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk menyebarkan konten yang benar tapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.”

Fatwa tersebut juga menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan masyarakat dalam menyikapi konten yang berasal dari media sosial. Masyarakat harus menyadarai bahwa konten tersebut memiliki kemungkinan benar, juga kemungkinan salah.

“Konten yang baik belum tentu benar. Konten yang benar, belum tentu bermanfaat. Dan, konten yang bermanfaat, belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik,” tulis fatwa yang dikeluarkan pada 13 Mei 2017 tersebut.

Intinya, menurut fatwa tersebut, tidak semua konten atau informasi yang benar boleh dan pantas disebar ke ranah publik. Perkembangan teknologi internet adalah keniscayaan. Kita tak bisa mengelak darinya. Yang bisa kita harapkan adalah kedewasaan masyarakat menyikapi perkembangan teknologi tersebut.

Dengan demikian, komunikasi publik dengan pendekatan nilai-nilai Islam menjadi tepat. Alhamdulillah saat ini bangsa kita mulai berhasil mengatasi pandemi. Semoga Allah Ta’ala menjaga bangsa ini dari wabah dan menghindarkan bangsa ini dari perpecahan. Aamiin.



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia