Oleh: Azharun N.
Hoaks di politik hanya berhenti pada suka dan benci, tetapi hoaks pada Covid-19 berisiko menularkan penyakit sampai menghilangkan nyawa. Selama pandemi Covid-19, Kominfo menemukan 5.036 konten hoaks.
Sampai 29 November 2021, Kominfo sudah menghapus 5.036 konten hoaks Covid-19 dari 5.178 hoaks seputar Covid-19 yang tersebar di media sosial. Konten Hoaks terbesar berasal dari Facebook yang mencapai 4.479. Sementara di medsos lain seperti Twitter, ada 572 unggahan hoaks.
Hoaks terkait Covid-19 terbanyak berikutnya berasal dari Youtube sebanyak 55 konten, Instagram sebanyak 47 konten, dan TikTok sebanyak 11 unggahan.
Jika dicermati, banyaknya hoaks yang berasal dari Facebook ini juga menggambarkan rentang usia pengguna medsos yang termakan hoaks. Pengguna Facebook merupakan yang paling tua dibandingkan dengan pengguna medsos lain. Generasi Z dan Milenial biasanya menggunakan TikTok dan Instagram. Ini juga mengindikasikan bahwa hoaks rentan menyerang kelompok usia yang tua.
Hal ini juga dikonfirmasi Direktur Drone Emprit, Ismail Fahmi, saat mengisi Workshop Literasi Media Multiplatform Berwawasan Islam Wasathiyah di Hotel Aryaduta Makassar, 1 Desember 2021. Wakil Ketua Komisi Infokom MUI itu menyampaikan, sebenarnya bumbu hoaks Covid-19 selalu sama.
Hoaks diracik dengan data yang masuk akal namun kebenarannya meragukan. Hoaks juga kerap dibumbui dengan kata-kata yang berlebihan. Sering pula hoaks menyandingkan dua hal yang sejatinya tidak saling berhubungan menjadi seolah-olah sebab akibat. Ciri yang terakhir adalah hoaks kerap menyentuh sisi emosional pengguna medsos.
Meskipun Covid-19 di Indonesia beberapa bulan ini mereda, namun hoaks masih terus bermunculan khususnya terkait vaksinasi. Beberapa yang terekam Hoax Buster Covid19.go.id misalnya berjudul “CEO Biontech Menolak Vaksin karena Alasan Keamanan”, “Swab PCR Merupakan Cara Melakukan Vaksinasi”, “Dokter di Malaysia Meninggal Setelah Mendapatkan Vaksin Pfizer”, “Rumah Sakit Australia Penuh Karena Pasien Mengalami Efek Samping Vaksin”.
Hoaks Covid-19 juga menyasar topik terbaru dan hangat seperti corona varian omicron. Hoax Buster mencatat, beberapa judul terkait hoaks omicron adalah “Tabel Jadwal Peluncuran Corona Varian Omicron”, “Gejala Varian Omicron Disebabkan Komplikasi Vaksin Covid-19”, “Game Omicron Buatan Bill Gates Rilis Tahun 1999”, dan “Omicron Ditemukan Sejak Juli 2021”.
Contoh-contoh judul hoaks di atas menggambarkan dengan jelas apa yang disebut Ismail Fahmi. Kasus Game Omicron buatan Bill Gates misalnya, seolah-olah berhubungan karena sama-sama Omicron, namun ternyata game itu tidak ada hubungannya dengan kondisi saat ini.
Kasus-kasus hoaks dengan contoh luar negeri juga kerap muncul karena menyulitkan untuk klarifikasi. Belum lagi ditambah kendala bahasa asing yang kurang memadai. Ini membuat hoaks seperti dokter di Malaysia dan pasien di Australia ini mudah dipercayai dan disebarkan.
Ketua MUI Bidang Bidang Informasi dan Komunikasi, KH Masduki Baidlowi menyebut hoaks terkait Covid-19 sukar hilang karena adanya fenomena echo chamber/ruang gema. Kondisi ini tergambar dari pengguna medsos yang hanya mau mendengar apa yang ia suka dan menutup telinga dengan informasi lain.
Apabila seorang yang terbiasa menyukai teori konspirasi dan hoaks, maka lini masa (timeline) medsosnya akan terus terisi konten serupa. Ini pula yang membuat Facebook di Amerika mendapatkan gugatan karena dianggap menjadi pusat penyebaran kebencian selama pemilu di Amerika. Akibat algoritma itu, sampai sekarang, kondisi masyarakat Amerika masih terbelah secara politik seperti halnya di Indonesia. Fenomena echo chamber ini membuat kelompok yang sudah terbelah karena dukungan politik mudah termakan hoaks.
Menteri Kominfo Johnny G Plate menyampaikan bahwa tugas penanganan hoaks seperti tidak pernah tuntas. Setiap pekan, Kominfo RI selalu mengumumkan hoaks-hoaks terbaru baik itu di website Kominfo.go.id maupun di channel Youtube Kominfo. Hoax Buster di laman Covid19.go.id juga memberikan informasi hoaks yang cukup lengkap.
Sayangnya, laman-laman yang menyediakan informasi tentang hoaks seringkali reaktif dan terlambat. Ketika hoaks sudah menyebar, baru kemudian ada informasi konfirmasi. Hoaks juga tetap muncul karena keinginan untuk membagikan informasi lebih cepat daripada keinginan untuk klarifikasi.
Langkah paling tepat adalah mengembalikan kepada diri sendiri untuk mengendapkan sejenak setiap informasi yang diterima. Kita bisa mengendapkan informasi yang kebenarannya masih diragukan dan lekat dengan ciri-ciri hoaks yaitu berlebihan dan kerap menyentuh sisi emosional.
Leave a Reply