LSBPI MUI akan Gelar FGD Tentang Ensiklopedia Seni dan Budaya Islam Indonesia

JAKARTA – Lembaga Seni Budaya Islam (LSBPI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan mengadakan Forum Group Discussion mengenai Ensiklopedia Seni dan Budaya Islam.

Kegiatan tersebut rencanannya menghadirkan Prof Abdul Hadi dan Iskandar. Kegiatan ini akan digelar, Rabu, (22/12) di Jakarta.

Kordinator FGD, Dr. Aguk Irawan mengatakan, terkait masuknya Islam di Indonesia banyak sekali teori, baik kurun waktu maupun dari bangsa mana yang mula-mula berdakwah ke Nusantara.

Akan tetapi, Aguk Irawan mengungkapkan, para sejarawan menyepakati bahwa cara menyebarkan dakwah ke Nusantara melalui pendekatan kultural, bukan dengan cara ekspansi.

Ia juga mengutip buku Cendikiawan Muslim Indonesia, Nurcholis Madjid dalam bukunya “Islam Tradisi”. Dalam buku tersebut dijelaskan Aguk, wajah Islam Nusantara benar-benar unik dan memiliki ciri khas yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dulu memeluk Islam.

“Berkah keunikan tersebut, Nusantara (Indonesia) mendapatkan kekayaan khazanah yang luar biasa melimpah, terutama terkait dengan dunia seni dan kebudayaan,” ujarnya, dalam keterangan tertulis yang diterima MUIDigital, Selasa (21/12).

Dalam buku tersebut menerangkan, salah satu jejaknya dalam bidang seni arsitektur adalah berupa bangunan masjid, bangunan makam dan rumah adat. Seperti Masjid Menara Kudus yang diwarnai arsitektur lokal (kepala sapi), bangunan Masjid Ampel Denta, dan Demak yang menggunakan Joglo.

Aguk Irawan mengungkapkan, selain seni arsitektur yang bagian dari seni rupa, khazanah yang banyak ditemukan pada seni musik dan peran, seperti aneka jenis hadrah (shalawat), seperti shalat jawi emprak, teater stamboel. Aneka jenis tari-tarian pun ada seperti tari Saman, dan lain sebagainya, juga yang sangat menonjol adalah seni sastra.

Menurutnya, wajah “Seni Islam” yang biasa dikenal sekarang ini, jika dilacak, banyak yang berasal dari abad ke-14 M hingga abad ke-19 M dan tersebar di beberapa kerajaan Islam di Nusantara.

Dia menuturkan, khusus sastra Islam, jejaknya mula-mula ditemukan adalah “Hikayat Raja-Raja Pasai” yang naskah aslinya ditulis menggunakan huruf jawi sesuai dengan perkembangan bahasa Melayu Kuno saat masa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Kemudian, lanjutnya, naskahnya diubah ke dalam bahasa Melayu Klasik di Kerajaan Samudera Pasai.

“Bidang sastra ini berkembang pula di kerajaan Malaka, sebelum diambil alih oleh Portugis tahun 1511 M. Kemudian karena penduduk Portugis tersebut pusat sastra pindah ke Kerajaan Aceh Darussalam, yang mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Thani abad ke-17,”ungkapnya.

Aguk Irawan menjelaskan, awal penerimaan kesusateraan Islam oleh masyarakat ditandai dengan pemahaman mengenai pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Hadist, serta hukum-hukum Islam (Syariah).

Ia menambahkan, indikator keberhasilan dalam penerimaan sastra Islam dijelaskan dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu.

Ia mengungkapkan, para sastrawan Islam dalam penyebaran ajaran Islam pada masyarakat yang baru terlepas dari kekuasaan kerajaan Hindu sangatlah besar.

“Para sastrawan tersebut menulis dan menyebarkan kisah-kisah Nabi Muhammad SAW, para sahabat, wali, dan tokoh-tokoh Islam yang kisahnya dapat menbuat masyarakat semakin paham akan ajaran Islam,”paparnya.

Melalui karya-karya tersebut, kata Aguk Irawan, dapat dikatakan bahwa para sastrawanlah yang menjadi garda terdepan dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah yang masih kental dengan kebudayaan hasil ajaran Hindu.

Ia pun memberikan contoh syair yang menceritakan kisah kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW yang sangat terkenal untuk menyenatkan ajaran Islam di Indonesia antara lain Kasidah Burdah dan Kasidah Barjanji.

Ia menjelaskan, kedua syair tersebut akan dinyanyikan pada setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ia juga menyebut beberapa sastrawan Islam di Indonesia yang terkenal melalui karyanya, di antaranya Al-Jauhari, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Samatrani, Nuruddin Al-Raniri, Syeikh Kuala, Abdul Rauf Al-Singkili dan masih nanyak lagi.

Selain itu, kata dia, karya sastra yang dibuat menggunakan bahasa Arab dan bahasa Melayu yang menggunakan huruf Jawi.

“Untuk mengumpulkan khazanah (piranti) wajah seni Islam di Indonesia, salah satu pedoman primernya adalah kita merujuk pada buku Panduan Seni Islami yang ditulis dan diterbitkan oleh lembaga kita sendiri (LSBPI) MUI,” pungkasnya. (Sadam Al-Ghifari/Angga)



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia