Tanah Berdiri: Berjalan diantara Doa

Disepanjang lembah itu ada cerita panjang tentang sabilillah, entah darimana hendak dimulai, cerita yang sampai saat bisa aku urut adalah ssejak zaman jihad fi sabilillah para tuanku Imam, atau lebih dikenal dengan Perang Paderi dengan tokoh Tuanku Imam Bonjol.

Sekawan dengan itu, jatuhnya benteng Bonjol dan menyerahkan dirinya Tuanku Imam dibuat menjadi propaganda kekalahan para mujahid. Salah satu benteng nagari di selatan Bonjol adalah Benteng VII Koto Talago, atau lebih dikenal sebagai benteng Tuanku Nan Biru di Parik Gadang, mungkin kenapa namanya parik adalah karena asal usul dibuatkan parik besar untuk benteng ini, wallahualam.

Yang saya akan ceritakan adalah seorang cendekiawan yang berdiri disamping Tuanku Nan Biru, yakni Tuanku Nan Banyak Gelar Datuk Perpatih nan Sebatang, atau dikenal juga dengan Tuanku Qadhi, disinilah cerita dimulai.

 

Pada zaman ini dikenal Harimau nan Salapan, di sembadan dengan nagari ini yang terdekat adalah Tuan Haji Piobang di Payakumbuh, untuk nagari yang melakukan sejalan dengan gerakan pemurnian Islam Hariman Nan Salapan ini dicirikan dengan diangkatnya dua orang penting yakni, Tuanku Imam dan Tuanku Qadhi. Tuanku Qadhi untuk menjaga perjalanan hukum Syarak dan Tuan Imam untuk memimpin peribadatan sembayang dan bulan puasa.

Tuanku Nan Banyak Datuk Perpatih atau Tuanku Qadhi menjadi asal masayikh-masayikh dari negeri ini, yang generasi-generasi berikutnya menjadi pondasi kuat terhadap dakwah fii sabilillah. Dari Tuanku Nan Banyak ada dua orang anak yang akan saya angkat, yakni Syekh Abdullah Datuk Jabok dan Syekh Shaleh Datuk Munggu, disamping dua bersaudara ini ada juga yang perlu disingguh adalah Syekh Ibrahim mamak suku Bungo Satangkai yang juga satu periuk (asal) dengan suku Pitopang, Jambak, dan turunan-turunannya, yang membina surau di Pandam Gadang.

Zaman berikutnya ada tiga bersaudara asal Padang Japang anak Syekh Abdullah, yang bernama Syekh Muhammad Shalih, Syekh Mustafa dan Syekh Abbas Abdullah Datuk Karaing. Kemudian anak Syekh Shaleh yang bernama Syekh Abdul Wahid Shaleh.

Masing-masing Syekh Abdullah dan Syekh Shaleh memiliki surau, Syekh Abdullah membina surau di Padang Japang, dan Syekh Shaleh membina surau di Padang Kandi, surau-surau ini adalah surau untuk orang-orang dewasa. Sebagaimana anak kamanakan lainnya suku Pitopang pada saat itu bersurau ke Pandam Gadang dengan mamak Syekh Ibrahim, surau milik suku Bungo Satangkai, yang lahir dari negari tersebut orang besar republik bernama Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Dari penelusuran saya, jarak antara Syekh Abbas Abdullah Datuk Karaing dengan Ibrahim Datuk Tan Malaka sekitar 3-4 tahun, dan mamak yang sama menganjurkan untuk merantau. Pada usia 13 tahun merengeklah Syekh Abbas kecil ke bapaknya untuk ikut ke baitullah dengan mamaknya Syekh Ibrahim, yang singkat cerita setelah itu Syekh Abbas tidak mau pulang dan menetap disana dalam waktu yang cukup lama hingga 7-8 tahun, pada masa itu tersohorlah ulama Mazhab Syafii yang berasal dari Minangkabau bernama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Syekh Ibrahim mengembleng Ibrahim Datuk Tan Malaka untuk menjadi muallim, didoronglah untuk menimba ilmu dan pergi ke Mekkah, akan tetapi takdir berkata lain, melanjutkanlah beliau merantau menimba ilmu ke negeri Belanda hingga menjadi Tuan Republik yang mencoba menjadi jembatan antara perjuangan Kiri dan Pan Islami di Timur Tengah, walau dengan itu menjadikan beliau dikecam oleh para atheis dan menjadi musuh bersama setelahnya.

 

Di lembah ini kemudian revolusi Indonesia mendapatkan ceritanya  bergerilya untuk bertahan mempertahankan eksistensi republik dengan keluarnya fatwa jihad fii sabilillah dari para masayikh Sumatera Tengah dengan menunjuk Syekh Abbas Abdullah Datuk Karaing sebagai Imam Jihad Sumatera Tengah.

Dan dilembah ini cerita-cerita ini diturunkan dari mamak ke anak kamanakan, yang menjadi bekal bahwa dakwah ini belum selesai, dan kembalilah setelah merantau, karena perjuanganmu belum dimulai sama sekali.

Dan kita berjalan diantara doa-doa orang-orang tua kita, seperti doa nabi Ibrahim “Allahumma muqimma shalah wa dzuriyata muqimma shalah, allahumma taqabbal doa”.



Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia