Prof KH Ibrahim Hosen, Sosok Alim ‘Legenda Hidup’ Komisi Fatwa MUI  

JAKARTA— Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Asrorun Niam Sholeh, mengenang sosok almarhum Prof KH Ibrahim Hosen sebagai legenda hidup di komisi fatwa MUI.

Kiai Asrorun menyebut pemikiran dan karya tokoh kelahiran 1 Januari 1917 itu menjadi bacaan dan pedoman di Komisi Fatwa MUI, para akademisi dan masyarakat Indonesia.

Hal ini disampaikannya dalam haul ke-21 dan launching buku kumpulan tulisan Prof Ibrahim Hosen di Majalah Mimbar MUI, Ahad (27/3/2022) lalu, yang digelar di Masjid Raudhatul Qur’an Pondok Pesantren Takhasus IIQ Jakarta.

‘’Beliau kurang lebih 20 tahun melakukan perkhidmatan di Komisi Fatwa MUI. Merespons berbagai masalah keagamaan dengan bahasa fikih yang sederhana dan mudah dipahami, bukan hanya untuk kepentingan panduan bagi masyarakat tetapi juga menjadi rujukan bagi ulil amri di dalam menetapkan publik porsinya,’’ujarnya.

Kiai Asrorun menyebut pengumpulan pemikiran tokoh pendiri PTIQ dan IIQ Jakarta itu menjadi buku, dimotori putra beliau Nadratuzzaman Hosen yang dilakukan oleh keluarga dan tim dalam berbagai catatan tertulis di Majalah Mimbar MUI merupakan ikhtiar untuk menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran beliau.

‘’Karena buku adalah jendala ilmu, dan buku adalah warisan yang tidak ternilai pada saat kiai Ibrahim Hosen wafat, beliau akan tetap hidup dengan legacy yang ditinggalkan. Saya sebagai junior merasa beruntung dengan hadirnya buku ini, karena dengan silsilah sanad di Komisi Fatwa saya tidak tersambung langsung,’’sambungnya.

Kiai Asrorun menceritakan awal dirinya perkhidmatan di MUI dengan bergabung di Majalah Mimbar MUI pada 1995, kemudian menjadi redaktur atau penyunting tulisan. Hingga pada 2005, dia secara resmi menjadi wakil sekretaris Komisi Fatwa MUI.
‘’Saya hadir berkhidmah di Komisi Fatwa secara efektif mulai 2005, sementara beliau wafat dan berhenti berkhidmah di Komisi  Fatwa MUI pada 2001. Jadi, ada jeda empat tahun secara formal perkhidmatan di Komisi Fatwa MUI,’’ungkapnya.

Meski begitu, Kiai Asrorun Niam menyebut pokok pemikirannya di Komisi Fatwa masih melekat hingga kini. Salah satu ide besarnya dituangkan kedalam pedoman penetapan fatwa MUI, yang sampai saat ini masih menjadi pedoman dalam pembahasan dan penetapan fatwa MUI.

‘’Dengan berbagai perbaikan-perbaikan sebagai tuntutan lingkungan strategisnya, tetapi secara prinsip pedoman penetapan fatwa serta prosedurnya itu tidak berubah dari apa yang sudah diletakkan almarhum KH Ibrahim Hosen,’’jelasnya.

Lebih lanjut, Kiai Asrorun menyebut bahwa di Komisi Fatwa ada sosok besar selain almarhum Prof KH Ibrahim Hosen, yaitu KH Maruf Amin yang melanjutkan estafet kepemimpinan yang sejak 1981 sampai 2021 aktif mengemban amanah di Komisi Fatwa.

‘’Wafatnya almarhum Prof KH Ibrahhim Hosen, Kiai Maruf menggantikan sampai 2007, hingga hari ini ketika menyebut Komisi Fatwa MUI di dalam kajian akademik maupun di benak publik itu yang terlintas ada dua sosok besar ini KH Ibrahim Hosen dan Kiai Maruf Amin,” kata dia.

Kemudian periode selanjutnya, kata Kiai Asrorun, dilanjutkan Kiai Anwar Ibrahim pada 2007-2010, yang digantikan Prof Hasanuddin AF mulai 2010-2022 awal kemarin. Namun, beliau wafat sebelum menuntaskan perkhidmatannya yang seharusnya sampai 2025.

Kiai Asrorun berharap, upaya pengumpulan karya almarhum Prof KH Ibrahim Hosen untuk terus berlanjut. Dia merasa yakin dengan karya beliau yang masih banyak tercecer di dalam korabn-koran-koran yang terserak, baik itu dalam tulisan maupun di dalam keputusan yang disaksikan yang masih hidup, maupun yang mewarisi ilmu beliau seperti kiai Munif.

Selain itu, dia menyebut sosok almarhum Prof.Hasanuddin yang merupakan legenda hidup di komisi fatwa yang mungkin bisa digali pemikiran kiai Ibrahim Hosen yang sanadnya melaluinya saat menjalankan tugas sebagai sekretaris pribadi, bukan hanya mencatat, tetapi juga memahami tata cara ijtihadnya.

‘’Ini harapan kami, Insya Allah di komisi fatwa MUI secara khusus, dan MUI secara umum sikap menghidupkan dan menghadirkan ruh pemikiran kiai Ibrahim Hosen dalam konteks kekinian,’’ kata dia. (Sadam Al-Ghifari, ed: nashih)



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia