Menanamkan Semangat Anti Penjajahan
Keberadaan Masjid Raya Padang Japang di kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat ini, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan perguruan Darul Funun Padang Japang, dengan adanya sosok seorang ulama pejuang, Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa Abdullah yang popular dengan nama Syekh Padang Japang, Beliau Gadang dan Beliau Ketek.
Surau Darul Funun, yang lebih dikenal dengan Masjid Raya Padang Japang pada awalnya adalah sebuah surau kecil yang dibangun tahun 1914, tidak lama setelah Syekh Abbas Abdullah pulang dari menuntut ilmu di Mesir.
Didanai oleh waqaf-waqaf kaum muslimin dan juga murid-murid darul funun, surau ini dibangun untuk menjadi pusat tempat belajar kajian konvensional halaqah selain pola pengajaran sistem kelas yang coba diperkenalkan.
Seiring waktu surau padang japang pun diperluas dan dirapikan hingga nampak seperti sekarang ini.
Sebagai orang yang pernah belajar di luar negeri, syekh Abbas ingin mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Di masa itu di Sumatera Barat lembaga pendidikan Islam masih dibilang sangat sederhana, yakni di surau-surau, dimana anak laki-laki biasa tidur dan belajar agama. Pelajaran yang diberikan pun masih sebatas masalah yang pokok saja, seperti Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, dan Akhlak.
Tergugah oleh keadaan untuk memajukan pendidikan Islam maka diperkenalkan pelajaran ilmu umum pada tahun 1910, dan untuk pelajar putri dibangun sekolah khusus yang diberi nama Nahdhatun Nisaiyah. Sistem belajarnya menggunakan sistem klasikal yang dibagi menjadi dua tingkat, yaitu tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah. Kurikulumnya diambil dari Mesir. Alumni Darul Funun juga bisa melanjutkan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ilmu umum yang diajarkan di kedua madrasah ini jseperti ilmu hitung, aljabar, ilmu bumi, biologi, sejarah.
Sedangkan bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Arab, Inggris, dan Belanda. Selain itu, di kedua madrasah ini juga diajarkan mata pelajaran keterampilan dan seni, seperti musik, drama, dan kursus kader (semacam latihan kepemimpinan). Tidak berlebihan jika pada masa itu Padang Japang menjadi tempat menimba ilmu di wilayah Sumatera Barat. Dan, untuk lembaga pendidikan Islam modern, Madrasah Darul Funun bisa disebut sebagai pelopor lembaga pendidikan Islam modern.
Dari Madrasah Darul Funun ini muncul nama-nama besar yang kelak menjadi tokoh pergerakan umat Islam. Mereka antara lain Zainudin Labay (pendiri Diniyah), Zainuddin Hamidi (pendiri Ma’had Islamy), Nashruddin Thaha (Islamic College Payakumbuh), Ilyas Ya’kub dan Mukhtar Luthfi. Dua orang yang terakhir ini kelak mendirikan organisasi PERMI (Persatuan Muslim Indonesia), sebuah organisasi politik yang radikal dan anti penjajah.
Karena keberpihakannya kepada perjuangan rakyat, pada tahun 1934, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menutup madrasah ini. Pemerintah colonial mengganggap sekolah ini berbahaya karena di sekolah ini ditanamkan kesadaran berjuang kepada umat Islam dan semangat antipenjajahan.
Dua tahun menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno pernah dating ke tempat ini dan sempat berkonsultasi kepada Syekh Abbas Abdullah tentang dasar Negara Indonesia Merdeka. Dengan tegas ia meminta agar prinsip ketuhanan menjadi acuan dasar Negara yang akan dirumuskan.
Serba Bisa
Syekh Abbas Abdullah adalah figure all-round ‘serba bisa’. Selain itu diakui keulamaannya karena kedalaman ilmu dan kesederhanaan hidupnya. Ia juga dikenal sebagai politikus yang berani menyuarakan kepentingan rakyat.
Tidak heran, saat pecah revolusi 1945, ia diangkat sebagai Imam Laskar Mujahidin untuk daerah Sumatera Tengah (Minangkabau). Waktu Agresi Militer Belanda II, banyak pemimpin perjuangan berkumpul di Padang Japang. Madrasah Darul Funun menjadi markas pemerintahan Gubernur Sumatera yang waktu itu dijabat oleh Mr. Tengku Mohammad Hassan. Pada masa Pemerintahan Darurat (PDRI), Madrasah Darul Funun dijadikan kantor PPK dan Kementerian Agama PDRI. Ketika Mr. Mohammad Natsir dan Dr. Leimena dating dari Jawa untuk menjemput Ketua (Presiden) PDRI Mr. Syafrudin Prawiranegara kembali ke Pusat (Jakarta), pertemuan diadakan di gedung Madrasah Darul Funun ini.
Gedung awal Madrasah Darul Funun memang telah hancur menjadi puing, tetapi jasanya untuk perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia tidak pernah terlupakan.
info: perlahan tahap demi setahap perguruan dibangun kembali dengan dana waqaf dan infaq dari kaum muslimin sekalian, semoga Allah memberikan keberkahan kepada amal usaha ini.
Referensi:
– Masjid-masjid bersejarah di Indonesia: Abdul Baqir Zein (link)
– Sejarah Darul Funun El-Abbasiyah
Leave a Reply