Di tahun ajaran yang baru ini, 19 tahun sejak dirintis kembali Madrasah Tsanawiyah kegiatan belajar mengajar (KBM) di Perguruan Darul Funun, dan 14 tahun sejak dibuka kembali kelas untuk Madrasah Aliyah.
Seiring perjalanannya, YDFA (yayasan formal) dan orang-orang didalamnya baik warga Masyarakat Padang Japang, guru-guru maupun murid-muridnya yang tersebar, dan juga keluarga besar Syaikh Abdullah terinspirasi nilai-nilai semangat dan dedikasi pendidikan yang dirintis sejak tahun 1854, yang kemudian juga ikut berpartisipasi dalam reformasi pendidikan agama (halaqah ke sistem kelas 1918), (Sumatera Thawalib – Burhanuddin Daya, Kaum Muda Movement – Taufik Abdullah) bersama-sama dengan surau-surau yang lain dan juga sebagai sekolah pertama yang memperkenalkan reformasi pendidikan umum & agama (1920), dengan dikenalkannya pelajaran geografi, sejarah dan matematika.
Ditahun yang sama setelah selesai masa pembuangan Soekarno di Bengkulu, khittah tentang Indonesia Bertauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) diamanahkan, seiring dengan menyerahkan marawa (simbol) berupa Kopiah Hitam yang menjadi khas di dataran Melayu hingga saat ini.
Semangat ini pula yang dilanjutkan dengan pencerahan pendidikan tinggi, Training College (Nasharuddin Thaha), Ma’had Islamy (Zainuddin Hamidy), dsb.
Pecah perang tak bisa dihindari, takdir yang Allah sudah gariskan, jepang melakukan pelarangan yang mereka tidak berkenan (Pelarangan Sekolah Liar), kemudian jatuhnya revolusi dengan tertangkapnya Soekarno Hatta di Yogyakarta, menjadikan rapat syura ulama (MTI) berijtihad dengan fatwa Jihad, mengarahkan umat dan lebih dari 30.000 pelajar untuk menyongsong peluru dengan pilihan bertahan atau syahid kembali nama.
Inilah tahun-tahun yang sulit, tidak sampai sejatuh Baghdad ketika tentara mongol membumi hanguskan kota pendidikan, ditambah lagi ketidaksamaan visi dengan pemerintah pusat (PRRI), inflasi karena embargo dari poros kanan, menjadikan semua mencoba bertahan hidup, begitu juga perguruan, masyarakat berinfaq dengan harta dan hasil panen, guru-guru beramal dengan waktu, telur dibagi sepuluh, lauk disimpan untuk tamu, nasi hanya berbalur cabai, semua berinsaf dengan kondisi dan toleransi.
Hingga kembalinya “Titik Nol”, pun juga YDFA ketika Depag memberikan asa untuk pembangunan sekolah, pimpinan Yayasan seorang lulusan Cairo menghubungi kawan-kawannya yang pada saat itu sudah menjadi tokoh-tokoh pendidikan agama, dirintislah tahun 1970an Madrasah Negeri (Tsanawiyah & Aliyah) di Padang Japang yang menjadi harapan pendidikan bagi satu Negeri, semua kegiatan mengajar dan belajar Darul Funun dialihkan atas nama Madrasah Negeri yang baru, walaupun sebagian besar kegiatan belajar mengajar masih di gedung puncak bakuang Darul Funun.
YDFA mati suri, tetapi manusia-manusia nya yang mewarisi semangat kolektifnya masih terus berjuang untuk pendidikan, mereka menyebar diseluruh negeri.
Hingga kemerosotan besar terjadi di negeri, pemuda-pemuda terjebak dengan fatamorgana, narkoba, minuman keras, budaya bebas, masjid ditinggalkan, individualistis, dsb.
1997, tahun-tahun sebelumnya murid, pensiunan guru, masyarakat, yang kesemuanya tidak lagi muda, atuk nenek berkumpul di gedung Nahdah memaksa yang muda untuk menggiatkan lagi Darul Funun, maju sebagai muadzin lantang dalam Dakwah kebangkitan negeri, membangkik batang tarandam, hingga akhirnya ditahun tersebut murid-murid dijemput dari tengah hutan dan pedalaman negeri, untuk mengukuhkan satu semangat dakwah ini tidak boleh padam.
Hingga hari ini 19 tahun yang lampau, semoga amal-amal mereka yang terus berjuang, yang sangat mungkin tidak tercatat karena segala khilaf yang ada, menjadi amalan terbaik yang Allah catat sebagai amalan jariyah, biidznillah.
Allahumma barakatan fii amaluhum…
* Mengingat mereka yang terus percaya: (alm) Tuk Mawi (Buya Bermawi Mukmin), Mak Tuo (Uo Labuah), (alm) Adilah Fauzi, (alm) Adli Fauzi, Ibu Rosliana Rusli, Arifah Thaha, dan semua yang ikhlas lillahi taala.
Leave a Reply