JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyoroti ada maslahat dan mudharat Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Hal itu tertuang dalam Pandangan dan Sikap MUI terhadap RUU Cipta Kerja, tertanggal 03 Juli 2020.
Maslahat RUU Omnibus Law secara umum mengarah kepada efisiensi peraturan pemerintah yang lebih ringkas dan mudah serta dampaknya di sektor ekonomi. Sementara mudharatnya umumnya terkait sentralisasi kebijakan di Pemerintah Pusat yang tidak sesuai dengan konsep otonomi daerah.
Ketua Tim MUI untuk Pembahasan RUU Omnibus Law, Prof Zainal Arifin Hosen menyampaikan, maslahat pertama RUU ini adalah adanya fleksibilitas dan efisiensi birokrasi pemerintah pusat dalam menyelesaikan permasalahan, menyesuaikan keadaan, dan menghadapi tantangan.
“Masalahat RUU ini juga memangkas izin yang masif. RUU Cipta Kerja (diharapkan) membawa perubahan semakin mudah dan murahnya dalam berinvestasi di sektor yang terdampak sebelum hadirnya RUU ini,” katanya.
Peringkasan perizinan ini membuat banyak usaha berdiri yang tentu saja akan memperlancar dunia usaha yang menyerap tenaga kerja dan membuka lapangan kerja baru.
RUU Ini, lanjut dia, juga memiliki maslahat dari sisi penyederhanaan kewenangan menteri. Selama ini, peraturan menteri kerap dipersoalkan karena membuat regulasi menumpuk.
“Penyederhanaan kewenangan menteri yang atributif akan terdampak oleh RUU Cipta Kerja. RUU ini akan berakibat menurunnya sejumlah peraturan menteri yang saat ini dipersoalkan sebagai sumber kelebihan regulasi,” katanya.
“RUU ini juga memberikan kepastian hukum khususnya dalam proses pengurusan perizinan berusaha, dibandingkan dengan konsep yang dianut Undang-undang terdampak sebelumnya,” imbuhnya.
Secara khusus, RUU Omnibus Law ini juga memberikan perlindungan hak kepada masyarakat adat atas tana ulayat.
Maslahat terakhirnya, RUU imi membuat partisipasi masyarakat dalam sektor-sektor usaha yang ditentukan menjadi lebih meningkat.
Sementara dari sisi mudharat, Prof Zainal menyoroti, RUU Omnibus Law ini membuat penarikan kewenangan mengatur kebijakan menjadi harus berdasarkan delegasi Peraturan Pemerintiah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres).
“Ini justru berpotensi mendapatkan penolakan atau resistensi karena mengurangi fleksibilitas daerah dalam berinovasi,” katanya.
Sentralisasi kebijakan itu, kata dia, juga akan menurunkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikarenakan pemangkasan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kewenangan yang seharusnya diotonomikan.
Dia melanjutkan, akibat lain dari sentralisasi kebijakan itu membuat beban berlebihan kepada Peraturan Pemerintah dalam mengatur teknis operasional RUU Cipta Kerja.
“Terdapat beberapa norma yang berpotensi diuji di Mahkamah Konstitusi dikarenakan perubahan paradigma yang secara diametral bertentangan dengan konstitusi,” katanya.
Mudharat terakhir, ujar dia, tidak semua tindakan pemerintah yang tidak berkaitan dengan perinzinan harus menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Ada beberapa yang tetap berada di kewenangan menteri karena menteri adalah pejabat eksekutif tertinggi di bidangnya. (Azhar/Anam)
Leave a Reply