Oleh: KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI
Halal bihalal adalah tradisi khas Indonesia yang asal katanya diserap dari bahasa Arab. Selain kata halal bihalal, banyak bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, seperti kata hakim, majelis, musyawarah, ilmu, wali, masjid, mushala, salam, akbar, takdir, tafsir, saleh, tamat, kalimat, lafaz, sarat, wakil, hasil, rezeki, halal, haram, menara(manaroh), kabar, (khobar), ibadah, kiblat, imam, makmum, dan lain-lain.
Banyaknya serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab semakin menguatkan teori tentang pengaruh penyebaran agama Islam di Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa atau keturunan Arab seperti dari Yaman dan jazirah Arabiyah.
Menariknya, bahasa Arab yang melebur dengan bahasa Ibu Pertiwi Indonesia dapat diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk dari kelompok luar Islam.
Fakta ini menunjukkan bagian dari keunikan, kehebatan sekaligus kesuksesan cara dakwah tokoh ulama Indonesia yang mampu diterima berinteraksi secara baik dengan kearifan lokal di Indonesia.
Kembali pada kata halal bihalal, secara tarkib (susunan kalimat) kata Halal pertama dalam kalimat Halal bihalal bisa menjadi khobar dari mubtada’ yang dibuang dengan tafsiran:
هذا حلال بحلال “hadza halalun bihalalin” yang artinya ini adalah Halal bihalal.
Dalam gramer bahasa Arab boleh membuat khobar dari mubtada’ yang dibuang sebagaimana disebutkan dalam bait kitab sastra, Alfiyah karya Ibnu Malik:
وَ حَذْفُ مَا يُعْلَمُ جَائِزٌ كَمَا # تَقُولُ زَيْدٌ بَعْدَ مَنْ عِنْدَ كُمَا
“Membuang mubtada’ atau khobar yang sudah ma’lum (diketahui) itu hukumnya jawaz (diperbolehkan) seperti kamu mengucapkan lafadz زَيْدٌ setelah pernyataan مَنْ عِنْدَ كُمَا (siapa disamping kalian berdua?).”
Kemudian huruf jar ba’ dalam kalimat bi-halal bisa berarti atau menunjukkan saling menukar atau saling mengganti (mu’awadhah). Artinya, kalimat halal bihalal dapat mengandung pengertian menukar yang halal (kebaikan) dengan yang halal juga (kebaikan) yang diwujudkan dengan kesungguhan saling bermaaf-maafan.
Selanjutnya dalam pendekatan yang lain, kata halal dalam susunan halal bihalal, kalimat halal bisa menjadi mubtada’ dengan sarat ditambahi al biar yang semula kata halal statusnya nakirah menjadi makrifat, mengingat mubtada’ itu harus berupa isim makrifat. Maka susunan yang benar menjadi :
الحلال بحلال
Alhalalu bihalalin. Tidak tepat jika disusun halal bihalal dengan bentuk nakirah.
Karena secara kaidah ilmu nahwu belum terpenuhi sarat mubtada’ berupa isim nakirah. Dalam kitab Alfiyah Ibnu Malik bab mubtada’ dan khobar disebutkan :
وَلاَ يَجُوْزُ الابْتِدَا بِالْنَّكِرَهْ # مَا لَمْ تُفِدْ كَعِنْدَ زَيْدٍ نَمِرَهْ
“Tidak boleh menggunakan mubtada’ dengan isim Nakirah selama itu tidak ada faidah”.
Esensi halal bihalal
Orang yang berpuasa Ramadhan, maka Allah SWT memaafkan kesalahan dan dosanya.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)
Kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan. Disini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan.
Saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya.
Namun, bila dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari)
Momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.
Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999) bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari)
Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.
Pada peristiwa Fathu Makkah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Ini adalah hari kasih sayang (yaumul marhamah), hari di mana Allah SWT memuliakan bangsa Quraisy”. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan keselamatan jiwa, harta, dan jaminan kehormatan kepada penduduk Makkah.
Di antara petikan ayat Al-Quran yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada saat peristiwa Fathu Makkah adalah surat Yusuf ayat 92:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata, “Pada hari ini, tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kalian.” (QS Yusuf ayat 92).
Peristiwa Fathu Makkah yang terjadi pada 8 Hijriyah disebut sebagai rekonsiliasi terbesar sepanjang sejarah dunia yang sulit dicarikan persamaannya.
Esensi halal bihalal dapat tercapai jika antara kita menempatkannya sebagai media rekonsiliasi lahir dan batin sekaligus perekat sosial, baik antarpersonal ataupun antarkelompok dan golongan.
Dengan demikian, pelaksanaan halal bihalal tidak saja bernilai ibadah karena didalamnya terdapat muatan silaturrahim, tetapi juga bisa menjadi media yang dapat menyatukan dan menguatkan.
Alhasil, dari penjelasan di atas, halal bihalal tidak saja benar dari susunan bahasa tetapi juga dibenarkan dari sisi hukum. Hukum halal bihalal yang semula boleh (mubah) bisa menjadi sunnah kalau diniatkan melaksanakan perintah silaturrahim dan bahkan bisa mejadi wajib jika dikaitkan dengan wajibnya minta maaf dan kehalalan atas kesalahan dirinya kepada orang lain.
Leave a Reply