Zaman tempat kita hidup sekarang begitu dinamis. Begitu cepat berubah. Keadaan kemarin sangat berbeda dengan hari ini. Hari ini bisa jauh tertinggal dibanding esok. Tentu, perubahan-perubahan itu berpengaruh terhadap keadaan kita. Seseorang bisa tiba-tiba jadi kaya raya. Bisa juga dari mapan jatuh pailit dan bangkrut. Dampak lainnya juga terjadi pada kondisi hati. Pagi beriman, siapa sangka sore hari menjadi kafir. Pagi kafir, sore hari mendapat hidayah. Dulu, di zaman dimana perubahan dan efek yang ditimbulkannya tidak sedahsyat sekarang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berbicara tentang cepatnya perubahan kondisi hati.
لَقَلْبُ ابْنِ آدَمَ أَسْرَعُ تَقَلُّبًا مِنَ الْقِدْرِ إِذَا اسْتَجْمَعَتْ غَلَيَانًا
“Sungguh hati anak Adam itu lebih cepat berubah daripada (getaran) ketel di saat mendidih.” (as-Sunnah oleh Ibnu Abi Ashim, No: 182).
Perhatikanlah teko saat air di dalamnya mencapai titik didih. Tutupnya bergetar. Bergeser dari posisinya semula. Uap air yang bergemuruh membuatnya bergetar. Bergerak dan terus berubah. Kondisi hati manusia lebih cepat lagi berubahnya dari keadaan tersebut.
Ada sebuah kisah yang menunjukkan betapa hati itu sangat mungkin berubah. Dalam Tarikh Dimasyq No. 74431, Ibnu Asakir meriwayatkan sebuah kisah:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat kepada penguasa Kerajaan Ghassan, Jabalah bin al-Iham (al-Ayham) mendakwahkan Islam kepadanya. Jabalah menyambut seruan itu dan memeluk Islam. Ia membalas surat Rasulullah, berisikan pernyataan keislamannya. Tak lupa sebagai penghormatan, ia bawakan hadiah untuk beliau. Jabalah pun menjalankan keislamannya. Dan hidup sebagai seorang muslim.
Dalam riwayat al-Waqidi, Jabalah turut serta dalam Perang Yarmuk di barisan orang-orang Romawi. Setelah itu ia memeluk Islam di masa Umar bin al-Khattab.
Waktu terus berjalan. Jabalah masih setia dengan ikrar Islamnya. Hingga ada satu kejadian yang mengubah hidupnya. Saat ia berada di Pasar Damaskus, seorang laki-laki Badui dari Muzainah menginjak jubah mewahnya. Sontak Raja terakhir Kerajaan Ghassan ini menempelengnya. Kemudian si Badui mengadu kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Ditetapkanlah qishash untuknya. Dibalas tempeleng oleh si Badui. Jabalah berkomentar, “Tidakkah kau lihat, wajahku ini sebanding dengan wajah kakekku.” Maksudnya, aku ini keturunan ningrat. “Sungguh agama ini keterlaluan jeleknya,” kata Jabalah mencela Islam. Ia pun murtad dan memeluk Nasrani. Kemudian lari bersama sekelompok pengikutnya menuju wilayah Romawi.
Ketika menafsrikan ayat:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6).
Syaikh Sa’id al-Kamali membawakan kisah Jabalah bin al-Iham. Kata beliau:
Jabalah bin al-Iham raja terakhir Kerajaan Ghassan datang menemui Umar. Umar bergembira dengan keislamannya. Kemudian ia tawaf di Ka’bah dan pakaiannya terinjak oleh seorang Badui bani Fazarah. Jabalah menempelengnya. Laki-laki itu mengadu kepada Umar, “Jabalah bin al-Iham menempelngku,” katanya. Kemudian Umar memanggil Jabalah, “Kau memukulnya?” tanya Umar. “Bayarlah tebusan atas pukulanmu. Jika tidak, kuperintahkan dia untuk membalasmu,” lanjut Umar.
“Bagaimana bisa demikian. Aku ini seorang raja sementara dia hanya orang pasar?” tanya Jabalah keheranan. “Islam menjadikan kalian berdua setara (di mata hukum),” jawab Umar.
Jabalah mengatakan, “Aku menyangka, setelah memeluk Islam aku lebih mulia dibanding di masa jahiliyah.”
Umar menjawab, “Tinggalkan itu semua. Tidak bermanfaat sama sekali. Bayar tebusan atau engkau dihukum setimpal.”
“Kalau begitu aku pindah agama Nasrani saja,” jawab Jabalah kesal.
“Kalau kau murtad menjadi Nasrani, kupenggal lehermu,” kata Umar.
“Jika demikian, biarkan aku. Aku akan memikirkan urusan ini nanti malam,” kata Jabalah.
Di malam harinya, ia bersama orang-orang yang setia dengannya pergi menuju wilayah Romawi. Lalu memeluk agama Nasrani.
Dialah Jabalah bin al-Iham, pernah berjumpa orang shaleh seperti Umar. Bahkan tawaf bersamanya mengelilingi Ka’bah. Tapi ia wafat memeluk agama Nasrani. Jika demikian, bagaimana orang-orang yang hanya pernah duduk-duduk di majelis ustadz. Dekat dan ngobrol bersama mereka. Tentu kita lebih berhati-hati lagi.
Di akhir hayat ia menyesal dan menggubah bait syair penyesalannya.
تنصرت الأشراف من عار لطمة *** وما كان فيها لو صبرت لها ضرر تكنفني فيها لجاج ونخوة *** وبعت بها العين الصحيحة بالعور فيا ليت أمي لم تلدني وليتني *** رجعت إلى القول الذي قاله عمر ويا ليتني أرعى المخاض بقفرة*** وكنت أسيرا في ربيعة أو مضر ويا ليت لي بالشام أدنى معيشة *** أجالس قومي ذاهب السمع والبصر
Aku menjadi Narani karena malu dari tamparan Padahal balasan itu tidak bahaya kalau aku bersabar
….
Aduh celaka sekiranya ibuku tidak melahirkan Aduh celaka, seandainya aku tunduk dengan apa yang dikatakan Umar
Aduh celaka coba kutahan sakitnya rasa melahirkan Atau menjadi tawanan di Rabiah atau Mudhar
Aduh celaka sekiranya aku tetap di Syam walaupun rendah kehidupan Bersama kaumku, pergi, melihat, dan mendengar
Pelajaran:
Pertama: Hati itu cepat berubah.
Kedua: Kesombongan dapat menghilangkan hidayah.
Ketiga: Pernah bertemu, bersama, berteman dengan orang shaleh tidak menjamin hidayah. Sebagaimana Abu Thalib tidak memeluk Islam, padahal sering bersama Nabi. Kebersamaan dengan orang shaleh hendaknya dimanfaatkan untuk menambah ketakwaan dan ilmu bukan untuk menjadi bahan cerita. Karena hal itu tidak bermanfaat menambah iman dan takwa.
Keempat: Strata sosial yang tinggi dan harta bisa menjadi penghalang hidayah.
Kelima: Hidayah Islam itu lebih nikmat dibanding nikmat kedudukan, harta, dan kesenangan dunia lainnya. Karena Jabalah merasakan kenikmatan dunia di wilayah Romawi, tapi ia tetap menyesal. Dan berharap mengulang kehidupan, tinggal di Syam walaupun menjadi orang biasa.
Keenam: Memperbanyak doa memohon kepada Allah agar memberikan ketetap hati.
Read more http://kisahmuslim.com/5981-menyesal-aku-kehilangan-hidayah.html
Leave a Reply