‘Al-Imam’ Majalah Islam Pertama di Asia Tenggara

credits: Atjeh Post

“AL-IMAM bertujuan untuk mengingatkan mereka yang telah lupa, membangkitkan mereka yang sedang tertidur, membimbing mereka yang tersesat, dan memberikan suara kepada mereka yang berbicara dengan kebijaksanaan (hikmah)”.

Itulah editorial pembuka yang ditulis Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy dalam majalah Al-Imam. Editorial itu kemudian dikutip William R. Roff, seorang profesor sejarah ketika membahas tujuan penerbitan majalah Al-Imam dalam bukunya, “The Origin of Malay Nationalism(1967)”.

Al-Imam merupakan majalah Islam pertama di Asia Tenggara. Majalah Islam berbahasa Jawiy tersebut terbit di Singapura pada tahun 1906 hingga permulaan 1909 “Al-Imam megumandankan suara pembaruan demi kebangkitan bangsa-bangsa Islam dari kelenaan,” kata Taqiyuddin Muhammad, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam, di Lhokseumawe, belum lama ini.

***

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) menyebutkan, Al-Imam mengambil haluan majalah Al-Manaryang terbit lebih dulu di Mesir. Al-Manar diterbitkan ulama muda bernama Sayyid Rasyid Ridha, sembilan tahun lebih awal dari Al-Imam.

“Yang terang ialah bahwa sejak majalah Al-Manar diterbitkan pada tahun 1315 Hijriah, sampai majalah itu berhenti terbit, Syaikh Thahir Jalaluddin bersama-sama dengan Tuan Syeikh Muhammad Al-Kalali, seorang keturunan Arab, menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura, yang isinya telah jelas mengambil haluan Al-Manar,” kata Hamka dalam pidato yang dibacakannya ketika menerima gelar doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir, 21 Januari 1958.

Keterangan lebih lengkap diulas dalam dalam buku Hamka, “Ayahku, (1950) ”. Mulanya terbit majalah Al-Urwatul Wutsqa di Paris atas prakarsa ulama bernama Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Jamaluddin. “Majalah Islam itu diterbitkan dengan tujuan membangkitkan kembali kesadaran kaum Muslimin akan harga dirinya serta memperingatkan bahaya yang mengancam Islam kalau kaum Muslimin tetap lalai dan lengah,” tulis Hamka.

Majalah Al-Urwatul Wutsqa terbit perdana 5 Jumadil Awwal 1301 Hijriah (13 Maret 1884 Masehi) hingga 18 nomor (edisi). Nomor terakhir terbit bulan Zulhijjah 1301 H. Usia majalah itu tidak sampai setahun lantaran dilarang beredar di negeri-negeri yang dikuasai Inggris.

Lima tahun kemudian atau 1315 H/1898 M, seorang ulama muda Sayyid Muhammad Ridha yang sangat terpesona dengan tulisan-tulisan dalam majalah Al-Urwatul Wutsqa lantas menemui gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Pada tahun tersebut Sayyid Muhammad Ridha menerbitka majalah Al-Manar sebagai penyambung Al-Urwatul Wutsqa dalam cita kebangkitan Islam yang lebih lengkap.

Selain membangkitkan semangat, Sayyid Muhammad Ridha mengisinya dengan pandangan-pandangan Islam yang baru. Dalam Al-Manar juga dimuat tafsir Al-Quran menurut sistim Syaikh Muhammad Abduh. Majalah yang tersebar ke seluruh dunia Islam itu ditutup dengan wafatnya Sayyid Muhammad Ridha.

Masih menurut Hamka dalam buku, “Ayahku”, pengaruh Al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar meresap ke Jawa, sehingga orang-orang Arab pada 1905 mendirikan perkumpulan “Jami’at Khair”. Dan di Singapura terpengaruh pula seorang hartawan keturunan Arab, Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy, sahabat karib ulama asal Minangkabau yang baru pulang dari Mesir dan lulusan Al-Azhar, Syaikh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al-Azhari.

Pada satu hari bulan Jumadil Akhir 1324 H (Juli 1906 M) terbitlah nomor (edisi) perdana majalah Al-Imam. Mudir(Direktur) majalah Islam itu adalah Syaikh Muhammad Al-Kalaliy. Pada edisi kedua (Agustus 1906) kemudian dijelaskan bahwa pengarang (penulis) majalah ini Syaikh Taher Jalaluddin tersebut.

Dalam edisi pertama Al-Imam turut disalin sebuah makalah dari majalah Al-Urwatul Wutsqa yang berkepala (berjudul) “Wazakkir fa innaz-zikra tanfa’ul mukminin. Pada edisi kedua disalin pula makalah Al-Urwatul Wutsqayang terkenal yaitu “Al-Qadha dan Al-Qadar”. “Jelas sekali pengaruh majalah itu di dalamnya,” tulis Hamka dalam buku, “Ayahku”.

Edisi kedua lantas diisi dengan rubrik taya jawab, pembaca/pelanggan majalah bertanya, Al-Imam menjawab. Akhirnya majalah itupun mulai mendapat tantangan akibat banyak lawan, termasuk yang mengejek Syaikh Taher, namun langsung ditangkis Syaikh Al-Kalaliy.

Pada edisi 12 jilid II terbit 1 Jumadil Awwal 1326 H (Juni 1908 M) dengan tegas Al-Imam menulis: “Al-Imamadalah musuh yang amat bengis bagi sekalian bid’ah dan khurafat (karut-karut) dan ikut-ikutan dan adat yang dimasukkan orang pada agama”.

“Itulah dia Al-Imam,” tulis Hamka lagi.

Dalam buku “Áyahku”, Hamka kemudian menjelaskan mulanya penerbitan majalah Al-Imam seluruhnya atas belanja Syaikh Al-Kalaliy. Kemudian melalui usaha ulama bernama Sayyid Muhammad bin Agil dan Sayyid Syaikh Al-Hadi didirikan sebuah “limited” yang khas untuk penerbitan itu dengan modal 20 ribu ringgit.

Sayanganya, menurut Hamka, penerbitan Al-Imam tidak dapat dilanjutkan karena sudah banyak saingan dengan terbit surat kabar lainnya. “Sehingga permulaan tahun 1909 M berhentilah terbit majalah yang menjadi pelopor pembaharuan Islam itu”.

Sayyid Muhammad bin Agil berusaha mencari modal ke Mesir, tapi tidak membuahkan hasil.

Dua tahun kemudian atau 1911 M, terbit majalah Al-Munir di Padang, lanjutan dari Al-Imam. Majalah Al-Munirterbit atas gagasan H. Abdullah Ahmad, ulama muda yang mahir tulis menulis di Padang. Majalah Islam pertama di Sumatera ini terbit perdana 1 April 1911.

Haji Abdul Karim Amrullah Danau, ayahnya Hamka kemudian berperan mengisi majalah ini terutama dalam menjawab soal-soal menyangkut agama, satu rubrik yang menggoncangkan alam pikiran Islam masa itu.

Dalam tulisannya tentang majalah Al-Imam yang dimuat majalah Panji Masyarakat Nomor 201 tanggal 15 Juni 1976, Hamka menyebutkan bahwa dalam kebangkitan Islam di Indonesia dari sudut kewartawanan dan majalah sebagai mass-media, tidak dapat dipungkiri majalah Islam yang mula-mula terbit ialah Al-Imam. Majalah ini terbit perdana 23 Juli 1906 dan dicetak di Mathba’ah (Drukkery) Melayu Tanjung Pagar Singapura.

“Dalam kata pendahuluannya, penerbitnya Syaikh Al-Kalaliy menyatakan bahwa dia merasa terpanggil buat menerbitkan majalah Islam ini untuk membangunkan bangsa dan kaummnya dari lena ketiduran dan kemalasan yang telah menyerang sejak bertahun-tahun. Rasa citanya kepada Wathan (Tanah Air) itulah yang mendorong beliau untuk menerbitkanya,” tulis Hamka dalam artikelnya itu.

Hamka menilai bahasa Melayu yang dipakai Al-Kalaliy mulai halus, tidak lagi seata-mata terikat kepada bahasa Arab.

Al-Kalaliy juga menulis, “Sungguhpun kami bukan daripada orang sini dari pihak keturunan, tetapi daripada mereka itu dari pihak peranakkan. Istimewa pula telah kami sukakan negeri mereka itu wathan bagi kami. Betapa tidak, padahal sudah meminum kami akan air-susunya, dan telah tumbuh daripadaya daging dan darah kami, dan telah terbit daripadanya nikmat perhiasan kami”.

Pada edisi empat yang terbit Ramadhan 1324 H/19 Oktober 1906 M, kata Hamka, disebutkan bahwa penertib majalah itu Syaikh Al-Kalaliy sedang berangkat ke Cirebon (Jawa Barat). Selama beliau dalam perjalanan ke tanah Jawa itu, pimpinan penerbitan dirangkap penulis majalah, Syaikh Muhammad Taher Jalaluddin.

Hamka menyebut Al-Imam mendapat perhatian besar dari ulama-ulama yang sepaham. Nama wakil-wakil Al-Imam pada tiap-tiap negeri dituliskan pada kulit dalam kedua (omslag II). Di antaranya, terdapat wakilnya di Betawi Said Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab. Di Padang Panjang, Haji Abdullah bin Haji Ahmad (kemudian dikenal Dr. H. Abdullah Ahmad). Di Danau Maninjau, Haji Abdul Karim bin Syaikh Kisaa-iy (kemudian dikenal Dr. H. Abdul Karim Amrullah), dan lainnya

***

Dalam bukunya, “The Origin of Malay Nationalism (1967)”, William R. Roff  turut mengutip isi salah satu artikel perdana yang diterbitkan majalah Al-Imam. Artikel yang membicarakan tentang “Tugas yang Tepat: Apa yang paling Dibutuhkan untuk Kebaikan Rakyat Kita.”

Penulis artikel tersebut menegaskan tugas para pemimpin rakyat untuk mendiagnosa dan memberikan resep mujarab untuk penyakit yang diderita  rakyatnya. Ia kemudian menyebutkan, “Barangkali dapat dikatakan bahwa suatu hal yang paling kita butuhkan adalah keterampilan kerja dan pertanian, atau pengetahuan tentang bagaimana mempertahankan negara kita dari musuh-musuhnya, atau bahwa kita perlu pendidikan untuk menyelamatkan kita dari rawa apatis dan kemalasan, atau bahwa kita harus belajar untuk bersatu demi kebaikan bersama”.

“Semua ini benar. Tapi satu hal yang akan memperkuat dan mewujudkan semua keinginan kita adalah pengetahuan tentang perintah agama kita. Agama merupakan penyembuh terbukti untuk semua penyakit yang diderita oleh masyarakat kita.”

Begitulah pesan penting lewat artikel majalah Islam Al-Imam yang dipimpin Syaikh Muhammad bin Salim Al-Kalaliy.(Atjehpost)



Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia