Penulis: TM. Dhani Iqbal – Lenteratimur.com (Creative Common – Non Commercial)
Media massa yang memiliki tujuan dengan suatu cara pandang agaknya tidak pernah hilang. Jika pun satu hilang, tumbuh ia seribu. Esa hilang dua terbilang. Keyakinan yang dikandung membuatnya dapat berkembang biak tiada mengenal tempat. Dan agaknya itulah yang terjadi pada majalah Al-Imam.
Al-Imam adalah majalah Islam pertama di Asia Tenggara. Ia terbit perdana di Singapura pada Jumadil Akhir 1324 H/Juli 1906 M dan berakhir pada permulaan 1909. Majalah yang menggunakan aksara Arab-Melayu atau Jawi dan berbahasa Melayu ini dicetak di Mathba’ah (Drukkery) Melayu Tanjung Pagar, Singapura.
Michael Laffan, dalam bukunya Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma Below the Winds(2002), mencatat adanya sejumlah tokoh kunci di balik lahirnya majalah ini. Di antara nama-nama itu tersebutlah Sayyid Ahmad Al-Hadi, yang merupakan anak angkat dari Raja Ali Kelana bin Raja Ahmad Riau, dan Syekh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al-Azhari, seorang ulama muda Minangkabau yang merupakan sepupu dari ulama Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860 – 1916). Pada 1890, keduanya dikirimkan dari Riau-Lingga ke Kairo, Mesir, untuk tugas belajar.
Selain Al-Hadi dan Syekh Taher, nama lain yang juga menonjol dalam penerbitan majalah Al-Imam adalah Sayyid Muhammad bin Aqil bin Yahya dan Syekh Muhammad Salim Al-Kalali. Sayyid Muhammad dikenal sebagai ahli sunnah dan pendiri sekolah Islam Al-Iqbal di Singapura pada 1907. Sekolah ini berada di bawah perlindungan Raja Ali Haji. Sedangkan Syekh Muhammad Salim Al-Kalali adalah seorang saudagar keturunan Arab yang wafat di Lhokseumawe, Aceh. Al-Kalali disebut-sebut memainkan peran penting dalam masa-masa awal Perang Aceh.
Selain itu, ada juga nama Haji Abbas bin Muhammad Thaha (1885) dan Encik Abdallah bin Abdul Rahman. Haji Abbas adalah seorang keturunan Minangkabau yang lahir di Singapura dan menghabiskan sebagian besar usia mudanya di Makkah. Adapun Encik Abdallah adalah orang yang mendatangkan majalah Al-Manar dari Mesir sebagai referensi ke Singapura.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), dalam bukunya Ayahku (1950), menjelaskan bahwa keberadaan majalah Al-Imam ini seluruhnya dilakukan atas belanja Syekh Al-Kalali, yang juga bertindak sebagai mudir (direktur) majalah tersebut. Kemudian, melalui usaha ulama Sayyid Muhammad bin Aqil dan Sayyid Ahmad Al-Hadi, sempat didirikan suatu edisi “limited” yang khas untuk penerbitan majalah itu dengan modal dua puluh ringgit (Atjehpost.co, 26 Agustus 2014).
Dalam hal citarasa kebahasaan, Hamka menilai bahwa bahasa Melayu yang dipakai Al-Imam mulai halus, tidak lagi semata-mata terikat kepada bahasa Arab. Dan majalah ini disebutkan mendapatkan perhatian dari ulama-ulama yang sepaham.
Dalam penerbitannya, nama wakil-wakil Al-Imam pada tiap-tiap negeri dituliskan pada kulit dalam kedua (omslag II). Di antara nama-nama tersebut adalah Said Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab di Betawi, Haji Abdullah bin Haji Ahmad (kemudian dikenal sebagai Dr. H. Abdullah Ahmad) di Padang Panjang, Haji Abdul Karim bin Syekh Kisaa-iy (kemudian dikenal sebagai Dr. H. Abdul Karim Amrullah), di Danau Maninjau, dan seterusnya.
Pada edisi kedua (Agustus 1906), majalah Al-Imam sudah mulai membuat macam-macam rubrik, seperti “tanya jawab” dan “pembaca bertanya Al-Imam menjawab”. Dan dalam perjalanannya, majalah ini mulai mendapatkan banyak tantangan. Sejumlah ejekan dan serangan disebutkan dialamatkan kepada mereka, termasuk kepada Syekh Taher.
Namun hal-hal semacam ini langsung ditangkis oleh Syekh Al-Kalali. Dan pada edisi 12 jilid II yang terbit pada 1 Jumadil Awwal 1326 H/Juni 1908, Al-Imam menegaskan garis dirinya:
“Al-Imam adalah musuh yang amat bengis bagi sekalian bid’ah dan khurafat (karut-karut) dan ikut-ikutan dan adat yang dimasukkan orang pada agama”.
“Itulah dia Al-Imam,” tulis Hamka dalam Ayahku.
Mengenai karakternya yang demikian, William R. Roff, dalam bukunya The Origin of Malay Nationalism (1967), mengutip tulisan pembuka dari Syekh Al-Kalali yang menjadi maksud keberadaan majalah Al-Imam.
“Al-Imam bertujuan untuk mengingatkan mereka yang telah lupa, membangkitkan mereka yang sedang tertidur, membimbing mereka yang tersesat, dan memberikan suara kepada mereka yang berbicara dengan kebijaksanaan (hikmah)”.
Dalam laporannya, Atjehpost.co mengutip Hamka yang menulis artikel di majalah Panji Masyarakat No. 201, 15 Juni 1976, ihwal alasan penerbitan Al-Imam. Dalam pendahuluan majalah Al-Imam, Al-Kalali menulis bahwa dirinya merasa terpanggil untuk membangunkan bangsa dan kaumnya dari lena ketiduran dan kemalasan yang telah menyerang sejak bertahun-tahun.
“Rasa cintanya kepada wathan (tanah air) itulah yang mendorong beliau untuk menerbitkannya,” sebut Hamka dalam artikelnya itu.
Michael Laffan juga mencatat bahwa Al-Imam bertujuan untuk mencapai kemerdekaan atas tanah-tanah yang ditindas oleh Belanda dan Inggris. Dalam mendefinisikan komunitas-komunitas yang tertindas itu, Al-Imammenghimpunnya dalam satu ikatan: Islam. Adapun wathan yang dimaksud majalah ini ditempelkan pada bangsa atau umat Melayu. Dan identifikasi akan hal ini ditandai dengan penggunaan istilah-istilah seperti “umat Timur”, “umat Melayu”, “umat Islam kita di sini”, atau “umat kita sebelah sini”.
“What do we see around us? To the Southwest the land of Sumatra (tanah Sumatra) is in the grip of the Dutch. To the Southeast lies the land of Java (tanah Jawa), also in the grip of the Dutch. To the East is Borneo (tanah Borneo), similarly dissected by that people (kaum). Across the Eastern sea lies Manado (tanah Manado) and the Sulu Isles also under that race (bangsa). Across the Western sea is the land of the Malay Peninsula (tanah Melayu peninsula), served up as a dish for England’s enjoyment. Does all this not make one’s heart heavy or indeed wound it?” tulis Al-Imam dalam Vol. 1, No. 3, 19 September 1906, sebagaimana dikutip oleh Laffan.
Tulisan Al-Imam ini agaknya menandakan wathan yang ia maksud tak mengikuti jalan berpikir kolonial, baik Inggris maupun Belanda. Dan ini membuatnya berbeda dengan media macam Bintang Hindia (1902), yang menyatakan wathannya adalah tanah dimana Belanda ada di kepulauan ini, yang disebut India Belanda.
“Yet, unlike Bintang Hindia’s clear claims to loyalty for the tanah air of the Netherlands Indies, al-Imam was unable to be specific about where exactly the watan of the Malays lay…,” tulis Laffan.
Lebih lanjut Laffan merujukkan upaya identifikasi wilayah dan kaum ini pada Partai Ummah (Hizb al-Umma) yang didirikan oleh Ahmed Lutfi el-Sayed di Kairo, Mesir, pada 1907. Partai ini kemudian dipahami sebagai partai bangsa Mesir.
Akan tetapi, gegap gempita majalah Al-Imam tak berlangsung lama. Seiring waktu, majalah pun mulai mendapatkan kesulitan. Sayyid Muhammad bin Aqil dikatakan telah berusaha untuk mencari modal ke Mesir, tapi tidak membuahkan hasil.
“Sehingga permulaan tahun 1909 M berhentilah terbit majalah yang menjadi pelopor pembaharuan Islam itu,” tulis Hamka dalam Ayahku.
Al-Urwatul Wutsqa di Paris dan Al-Manar di Mesir
Dalam edisi perdananya, Atjehpost.co melaporkan bahwa Al-Imam menyalin dan menerbitkan ulang beberapa artikel dari majalah Al-Urwatul Wutsqa. Al-Urwatul Wutsqa adalah majalah Islam yang terbit pada 5 Jumadil Awwal 1301 H/13 Maret 1884 M di Paris, Perancis. Majalah Al-Urwatul Wutsqa berdiri atas prakarsa ulama bernama Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Jamaluddin.
“Jelas sekali pengaruh majalah itu di dalamnya,” terang Hamka dalam Ayahku.
Pemuatan kembali artikel dari majalah Al-Urwatul Wutsqa memang bukan tanpa sebab. Dalam susur galurnya,Al-Imam memang menautkan diri kepada Al-Urwatul Wutsqa.
“Majalah Islam itu diterbitkan dengan tujuan membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin akan harga dirinya serta memperingatkan bahaya yang mengancam Islam kalau kaum muslimin tetap lalai dan lengah,” tulis Hamka di bukunya itu.
Majalah Al-Urwatul Wutsqa ini disebutkan bertahan hingga delapan belas edisi. Edisi terakhirnya terbit pada Zulhijjah 1301 H. Tekanan dan larangan beredar di negeri-negeri yang dikuasai Inggris membuat usianya tak sampai setahun.
Akan tetapi, meski telah mendiang, tulisan-tulisan di majalah Al-Urwatul Wutsqa nyatanya meninggalkan pesona kepada seorang ulama muda bernama Sayyid Muhammad Ridha. Dia pun kemudian menjumpai gurunya, Syekh Muhammad Abduh, untuk membahas perihal penerbitan majalah.
Dari upayanya itu, maka lahirlah majalah yang kemudian amat terkenal: Al-Manar. Majalah yang lahir di Mesir pada pada 1315 H/1897 M ini dimaksudkan sebagai penyambung Al-Urwatul Wutsqa dalam cita kebangkitan Islam yang lebih lengkap. Selain membangkitkan semangat, Sayyid Muhammad Ridha juga mengisi majalah itu dengan pandangan-pandangan Islam yang baru, termasuk tafsir Al-Quran menurut Syekh Muhammad Abduh.
Dalam buku Ayahku, Hamka mencatat bahwa daya jangkau pengaruh Al-Urwatul Wutsqa di Paris dan Al-Manar di Mesir cukup kuat. Salah satunya adalah berdirinya majalah Al-Imam di Singapura, yang di antaranya diprakarsai oleh Al-Kalali, yang merupakan karib dari Syekh Taher, ulama asal Minangkabau lulusan Al-Azhar yang baru pulang dari Mesir. Tak ketinggalan peran dari Sayyid Muhammad bin Aqil sebagai orang yang bertanggungjawab pada sirkulasi majalah Al-Manar di Kepulauan Melayu.
“Yang terang ialah bahwa sejak majalah Al-Manar diterbitkan pada tahun 1315 Hijriah, sampai majalah itu berhenti terbit, Syekh Taher Jalaluddin bersama-sama dengan Tuan Syekh Muhammad Al-Kalali, seorang keturunan Arab, menerbitkan majalah Al-Imam di Singapura, yang isinya telah jelas mengambil haluan Al-Manar,” kata Hamka dalam pidato yang dibacakannya ketika menerima gelar doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir, 21 Januari 1958.
Majalah Al-Manar yang tersebar ke seluruh dunia Islam itu ditutup dengan wafatnya Sayyid Muhammad Ridha.
Al-Munir dan Suluh Melayu
Pada 1 April 1911, atau dua tahun setelah berhenti terbitnya majalah Al-Imam, terbitlah sebuah majalah Al-Munir di Padang. Al-Munir merupakan kelanjutan dari Al-Imam, yang sekaligus menjadi majalah Islam pertama yang terbit di Sumatera.
Kelahiran majalah Al-Munir ini tak lepas dari gagasan Haji Abdullah Ahmad, seorang ulama muda yang mahir tulis menulis di Padang. Sebelumnya dia juga merupakan wakil Al-Imam di Padang Panjang.
Sementara Haji Abdul Karim Amrullah Danau, yang merupakan ayah dari Hamka, juga berperan dalam mengisi majalah ini. Ia menjawab soal-soal yang menyangkut agama, yang menjadi rubrik yang menggoncangkan alam pikiran Islam di masa itu. Seperti Abdullah Ahmad, Abdul Karim pun sebelumnya menjadi wakil Al-Imam di Danau Maninjau.
Dengan susur galur yang demikian, maka pertautan majalah Al-Munir di Padang kepada majalah Al-Urwatul Wutsqa di Paris diperoleh secara berturut-turut melalui majalah Al-Imam di Singapura dan majalah Al-Munir di Mesir. Namun, pada 15 Rabiul Awwal 1333 H/31 Januari 1915, Al-Munir berhenti terbit. Tutupnya majalah ini disebut-sebut dikarenakan kekurangan dana.
Akan tetapi detik jarum jam belum berhenti berdetak. Kehadiran Al-Munir nyatanya telah memicu hadirnya sejumlah media massa Islam di Sumatera, khususnya Sumatera Barat, yang dipelopori kaum muda. Sebut saja di antaranya majalah Al-Akbar yang terbit di Padang (1913), majalah Al-Munir Al-Manar di Padang Panjang (1918 – 1924), majalah Al-Basyir di Sungayang (1920), majalah Al-Itiqan di Maninjau, atau majalah Al-Imam(nama yang diambil dari pendahulu Al-Munir) di Padang Japang.
Tak hanya majalah-majalah, kaum muda ini juga mendirikan sejumlah lembaga pendidikan terkemuka dengan semangat pembaharuan, seperti Sumatera Thawalib yang berdiri pada 1919. Kelompok pendidikan ini kemudian banyak mendorong atau menerbitkan majalah-majalah itu.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh kaum muda ini pada gilirannya membangkitkan suatu reaksi dari apa yang disebut kaum tua di Sumatera Barat. Untuk menandingi sebaran gagasan dan cara pandang kaum muda itu, kaum tua kemudian turut menerbitkan sejumlah majalah. Maka, terbitlah majalah Suluh Melayu di Padang pada 1913, majalah Al-Mizan di Maninjau pada 1918, majalah Al-Radd Wa Al-Mardud di Bukittinggi pada 1926, dan majalah Suarti (Suara Tarbiyah Islamiyah) di Bukittinggi pada 1937 sampai 1945. Sama seperti kaum muda, gerakan kaum tua ini juga tak hanya di bidang penerbitan majalah, tetapi juga membuat organisasi seperti Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bukittinggi pada 1928.
Hamka mengatakan, terbitnya majalah-majalah tersebut membuat kutub menjadi terbelah dua. Di satu sisi, ada majalah Al-Munir dengan tokoh-tokoh pemikir macam Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan Mohammad Djamil Djambek. Di sisi lain, ada majalah Suluh Melayu dengan pemikir-pemikir seperti Syekh Khatib Ali, Syekh Sa’at Mungka, dan Syekh Bayang.
Leave a Reply