-bagian dua-
“Dan hendaknya ada sebagian dari kalian yang menyeru kebaikan (al khair), memerintahkan yang baik (ma’ruf) dan mencegah yang munkar” (Al-Imron : 104)
Kata yang berarti kebaikan dalam alquran setidaknya dinyatakan dengan tiga kata -yang tersambung dengan kata kerja (fi-il). Al-birru(البر),al khair (ااخير),al ma’ruf(المعرف). Namun hanya kata “al-khair” yang kemudian disambungkan dengan kata da’a -yad’uu yang berarti menyeru.
Dalam Al Mufrodat fi Ghoribil Qur’an, penulisnya membagi khair menjadi dua.Khair atau kebaikan yang bersifat mutlak (مطلق) atau khair yang bersifat muqoyyad (مقيد). Kebaikan mutlak adalah segala sesuatu yang baik yang tidak tergantung dengan situasi kondisi maupun waktu. Berkebalikan dengan kebaikan muqoyyad yang tergantung waktu dan situasi. Dari sini saja kita dapat mengambil kesan bahwa seyogyanya seorang penyeru kebaikan memperhatikan situasi dan kondisi pendengarnya dalam menyampaikan kebaikan-kebaikan. Seyogyanya para penyeru mampu memilah dan memilih kebaikan-kebaikan mana saja yang hendak diseru disesuaikan dengan kondisi pendengarnya.
Banyak kita jumpai para penyeru kebaikan dalam menyampaikan pendapatnya berlaku “tidak adil”. Sengaja atau tidak menyembunyikan ikhtilaf atau perbedaan sebuah hukum terkait masalah tertentu misalnya. Hal ini yang kemudian secara tidak langsung sering menimbulkan kegaduhan. Padahal kalau kita telisik lebih lanjut, dalam kitab lisanul arab misalnya, dari kata “khoir” ini kemudian lahir kata “khiyar” yang bermakna pilihan. Celakanya, banyak dai yang kemudian sudah memiliki pandangan tertentu dan cenderung kuat memegangnya, sehingga tidak berlaku bijak terhadap perbedaan pendapat.
Hemat saya, banyak dai yang berperilaku layaknya seorang mujtahid. Minimal melakukan tarjih mana yang lebih kuat mana yang lebih lemah. Tak jarang memberi label sesat pada kelompok yang nggak sepaham. Kenapa dai tidak memberikan pilihan dari sekian banyak pendapat ulama dan mengajarkan jamaahnya untuk bersikap tasamuh atau toleran terhadap perbedaan? Saya jadi heran, apakah memang secara keilmuan mereka mampu? Hanya kejujuran diri dari para penyeru itu yang mampu menjawabnya.Untuk sekedar melakukan tarjih pun dibutuhkan kemampuan menilai derajat kualitas sebuah hadis yang mana kalau kita amati para penyeru kebaikan itu sebagaian besar mengekor pendapatnya ulama-ulama lain. Apatah lagi untuk sampai level mujtahid.
Dari akar kata yang sama timbul kata ikhtiyar yang bermakna berusaha. Hal ini semakin memberikan kesan bahwa ragam kebaikan -termasuk ragam pendapat ulama mengenai suatu masalah- harus diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk disampaikan dengan memperhatikan kondisi sosio-kultur jamaah. Dalam masyarakat yang mayoritas bermadzhab syafii, seyogyanya ketika para dai memegang pendapat madzhab maliki atau hambali misalnya, maka jangan lupa untuk disampaikan pendapat ulama-ulama syafiiyah. Hal itu setidaknya akan meredam potensi kegaduhan yang mungkin timbul.
Sebagai bagian masyarakat yang awam, yang termasuk objek seruan kebaikan dari para dai, saya sungguh berharap para dai bisa lebih bijaksana dengan mengedepankan hikmah. Aamiin. Wallahu a’lam. (j.rosyidi)
sumber: http://www.insancendekia.org/grak/280-para-penyeru-kebaikan-2
Leave a Reply