UEA, Arab, dan Budaya Barat

Pergi ke Abu Dhabi atau Dubai? Ah itu biasa. Setiap hari, jamaah umrah kita naik pesawat transit ke Abu Dhabi/Dubai sebelum terbang ke Jeddah.

Bisa dibilang, pesawat komersial seperti Garuda, Emirate, dan Etihad kalau tidak ada jamaah umrah akan sepi. Berkat mereka, tempat duduk pesawat komersial ke dua tempat itu penuh.

Banyak orang bilang, Abu Dhabi dan Dubai itu kota keren. Kotanya bersih, tertib, silent city, modern, dan maju. Sebagai kota transit dan tujuan level dunia, Abu Dhabi maupun Dubai bisa dikategorikan sebagai kota yg ramah wisatawan dan layak dikunjungi.

Tentu kita tidak cukup hanya kagum saja. Jangan sampai orang lain maju, kita hanya bisa terheran-heran.

Ada satu pertanyaan yang muncul dalam benak saya, bagaimana mereka bisa melakukan transformasi yang hebat, dari negeri onta othok-othok menjadi negeri modern dan maju? Ini pertanyaan kecil tapi berat untuk dijawab.

Memang ada kota/negara lain di Timur Tengah yang juga hebat, seperti Doha, Bahrain, Kuwait, dan lainnya. Namun, sepenglihatan saya, UEA mampu meramu kemajuan dengan tetap mempertahankan konsep budaya. Apa pasal?

Secara fisik, bangunan gedung-gedung komersial, pemerintahan, maupun milik publik kental dengan warna modern. Bisa dibilang, western oriented.

Jika di negeri-negeri seperti Saudi, Yordania, Mesir, dan lainnya masih mempertahankan desain klasik Arab, kotak, warna putih/palem/semacamnya, di Abu Dhabi dan Dubai berdiri banyak gedung dengan desain modern dan unik.

Bangunan gedung-gedung pencakar langit didesain secara menarik. Ada yang berbentuk kotak, lengkung, lancip, bahkan ada yang seperti potongan kayu. Ada juga berbentuk nenas.

Lho bukannya di Jakarta juga ada? Ya!

Tapi soal warna, keunikan, menurut saya, di Abu Dhabi dan Dubai lebih unggul dibanding Jakarta.

Apalagi di Dubai berdiri kokoh tower Burj Khalifa, yang konon sebagai gedung tertinggi di dunia. Sayang saya belum sempat mampir kesana, hanya lihat dari jauh.

Ini berkesesuaian dengan apa yang pernah dibilang oleh bos UEA, Mohammed bin Zayed (MBZ) bahwa pihaknya (UEA) akan terus berusaha membuat terobosan-terobosan unggul number one or two in the world. Jika terpaksa tidak bisa, minimal nomor tiga di level dunia.

Pernyataan MBZ ini menunjukkan ambisi UEA ingin menjadi yang terbaik di dunia. For everything. Ini bukan sekedar bualan.

Negeri kaya minyak ini, ibu kota dan pusat bisnis dan tourism-nya tertata dengan sangat baik.

Selain modern dan maju, kota Abu Dhabi/Dubai itu amazing dengan tata ruang yang sangat keren. Tidak ada sampah berantakan, tidak nampak kabel listrik dan telepon gelatungan seperti kawat jemuran, tidak ada bunyi-bunyi klakson mobil/motor bersautan, maupun pemandangan buruk lainnya.

Beberapa orang Indonesia, seperti staf KBRI, tamu, atau wisatawan saat ditanya tentang kesan UEA, jawabnya bagus banget. Mereka mengaku betah hidup di sana. Suasana di sana pun nyaman.

Meski termasuk negeri gurun, tapi di Abu Dhabi tidak banyak debu. Apalagi kalau hawanya sedang sejuk. Cuacanya sekitar 20 derajat. Matahari cerah, tapi angin semilir seperti AC.

Hal lain yang menarik dari UEA adalah meski berstatus sebagai negeri kaya minyak, tapi mereka telah memanfaatkan energi terbarukan sangat intens. Hampir semua, atau bahkan semua mobil di sana, khususnya taksi yang kami tumpangi berjenis Hybrid. Juga sebagian ada yang listrik.

Ini menunjukkan para pemimpin UEA memiliki kesadaran jangka panjang tentang pentingnya berhemat terhadap energi fosil, meskipun di sini gudangnya energi fosil.

Nah bagaimana dengan keaslian budaya di Abu Dhabi/Dubai? Nah ini penting saya utarakan (meminjam istilah Gus Baha). Tapi jangan kaget ya?

Di Abu Dhabi dan juga Dubai, kehidupannya sangat amat bebas. Sebagai kota internasional dengan pengantar bahasa Inggris dan Arab, dua kota ini bisa dibilang tidak ada bedanya seperti di Barat. Setiap orang boleh tampil dengan baju sesuai budayanya.

Hmmm… So ente jangan bilang, di Arab pasti ceweknya pake burqa, dan cowoknya pake gamis. Itu dulu bro!

Sekedar cerita kecil, di hotel Bab al-Qasr (tempat saya stay), seberang hotel Emirate Palace, hotel yang sering ditinggali para pemimpin dunia saat berkunjung itu sempat membuat saya heran.

Suatu pagi saya take breakfast di resto hotel. Ketika saya menikmati makanan khas lokal, tetiba ada cewek entah bangsa mana, pake bikini, dan hanya dibalut lembaran-lembaran kain terbelah-belah mau ambil tempat duduk depan saya. Sejenak saya tertegun dan hampir keselek.

Lalu dalam hati bilang, lah apa si cewek itu nggak Saltum (salah costum) ya?

Kok bisa-bisanya mau take breakfast pake baju terbuka kek gitu? Emang dia nggak mikirin orang lain yang sudah tiga hari nggak ketemu isteri? Gleg! Hmmm…

Kemudian saya buru-buru tersadar bahwa hotel yang saya tinggali itu di belakangnya ada kolam renang yang tersambung dengan pantai nan indah. Mungkin, dia habis sarapan langsung berjemur. Keknya sih gitu.
Selepas breakfast, saya coba tengok dan melihat pemandangan “di luar”. Apa yang terjadi?

Ternyata di sana banyak orang berjemur layaknya di pantai Kuta atau Sanur Bali. Laki dan perempuan wisatawan asing menikmati indahnya pantai dan matahari dengan berbikini ria. Tidak ada larangan buka aurat. Tidak ada aturan bagaimana harus berpakaian pantas. Pokoknya siapapun boleh berpenampilan sesuai budaya dan keyakinannya.

Karena saya sadar ke Abu Dhabi bukan untuk menikmati pantai, apalagi lihat-lihat orang yang sedang berjemur, lalu saya buru-buru masuk hotel. Ya, apa yang saya lihat tentu juga terjadi di hotel yang lain.

Apalagi di Abu Dhabi dan juga Dubai sedang giat-giatnya membangun reklamasi pantai yang sangat elok. Unik dan sangat mengagumkan. Tujuannya adalah untuk menarik wisatawan asing datang.

So, jangan heran kalau di UEA itu meski secara fisik tetap mempertahankan budaya dan identitas lokal (Arab), tapi kecenderungan hidup masyarakatnya (lifestyle) nya sangat bebas seperti di dunia Barat. Bebas berpakaian dan bergaul meski aturan yang dipake dengan UU yang diturunkan dari konsepsi Islam.

Di UEA keberagamaan begitu sangat toleran. Kemajemukan benar-benar dijaga. Penduduknya heterogen. Berbagai bangsa dan negara ada di sana. Juga penghargaan terhadap hak privat sangat tinggi, dan lain-lain.

Lalu, saat ada orang yang bilang: “orang Arab saat ini sedang ingin menjadi Barat, sebaliknya orang Indonesia justeru ingin menjadi Arab”, ada benarnya juga.

Jadi penting direnungkan, bahwa Arab tidak identik dengan Islam, dan Islam tidak selalu sama dengan Arab. Mari kita belajar yang baik dari UEA, dan jangan tiru jika tidak sesuai dengan karakter dan budaya kita. Wallahu a’lam

Thobib Al-Asyhar
Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Pusat, Kabag Kerja sama Luar Negeri Kementerian Agama



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia