Ikhtiar Mewujudkan Program dan Konten Ramadhan Berkualitas

JAKARTA— Ramadhan merupakan bulan mulia. Kemuliaan ini seyogianya dibarengi dengan hadirnya tayangan-tayangan dan konten di lembaga penyiaran publik yang berkualitas pula.

Halaqah Tayangan Ramadhan yang digelar Komisi Informasi dan Komunikasi Majeli Ulama Indonesia (MUI), pada Selasa (1/3/2022) lalu merupakan ikhtiar bersama untuk mewujudkan kondusivitas Ramadhan. Halaqah pun ditutup dengan 5 poin deklarasi yang menekankan pentingnya menghadirkan tayangan yang bukan sekadar tontonan tetapi juga mengandung unsur tuntunan.

Ketua Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam Majelis Ulama Indonesia (LSBPI MUI), Habiburrahman El-Shirazy, berharap tayangan televisi khususnya saat Ramadhan tidak bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha-esa.
Dia mengatakan, hal ini tidak terlepas dari kebudayaan bangsa Indonesia yang semestinya kebudayaan yang berketuhanan yang maha-esa yang memiliki pakem dan prinsip sesuai dengan keyakinannya.

‘’Kalau yang Muslim, tentu dan semestinya gerak-gerak kebudayaan apakah itu produk kebudayaan ataupun artikulasi kebudayaan tidak terlepas dari ketuhanan yang maha-esa ada nilai tauhid disitu, atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai tauhid. Itu juga semestinya yang ditayangkan di televisi, tidak bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang maha-esa, nilai-nilai tauhid bagi seorang Muslim,’’ ujarnya.

Menurutnya, hal ini sangat penting untuk ditekankan, mengingat bahwa televisi bukan hanya menjadi tempat menyampaikan informasi, melainkan sebagai media untuk entertaint atau hiburan.

Selain itu, dia juga menyarankan agar televisi memiliki saringan agar tayangannya tidak bertentengan dengan nilai ketuhanan yang maha-esa.

‘’Kebudayaan yang seharusnya menjadi karakteristik, yang dipake bersama di tengah masyarakat kita adalah kebudayaan yang berprikemanusian yang adil dan beradab, artinya kebudayaan yang kita tampilkan secara tidak langsung menjadi penganjur kebudayaan sesungguhnya secara otomatis,’ sambungnya.

Kang Abik, sapaan akrabnya, menjelaskan, tayangan di televisi yang disaksikan oleh anak-anak khususnya, akan menjadi bahan untuk ditiru. Untuk itu, lanjutnya, tayangan di televisi harus menjaga sisi kemanusian secara utuh.

‘’Di sini kami sangat berharap, pihak televisi memperhatikan masalah misalnya, mohon maaf, kami melihat di televisi masih sering baik itu lawakan atau apapun bentuknya misalnya aktor atau pelawak yang ke bencong-bencongan, yang tidak jelas seperti itu menurut saya perlu ditertibkan supaya tidak ditiru oleh banyak orang,’’tuturnya.

Kang Abik menegaskan, bahwa hal tersebut bukan berarti tidak menghargai orang lain. Akan tetapi, mendorong agar budaya yang ada di tengah masyarakat menjadi budaya yang benar-benar sehat.

‘’Saya sangat berharap tampilan yang ada di televisi apapun itu bentuknya terutama yang berkaitan dengan seni, kebudayaan, kami sangat berharap yang mencerminkan tauhid, mempertahankan nilai kemanusian yang lurus, adil dan beradab, juga tentu yang menjaga persatuan Indonesia,’ harapnya.

Selain itu, kang Abik juga menyampaikan harapan agar televisi memiliki andil dalam menghidupkan Kembali kebudayaan seni yang nyaris punah, yang merupakan peninggalan terdahulu yang mempunyai nilai-nilai yang luar biasa.

‘’Supaya kebudayaan luhur bangsa kita ini bisa diangkat Kembali, karena dari Sabang sampai Merauke kita punya banyak sekali kesenian daerah yang sebenarnya Ketika ditampilkan Kembali akan menjadi tontonan yang sangat bagus dan di dalamnya terdapat filosofi-filosofi yang sangat dalam,’’ kata dia.

Pedoman dakwah

Sementara itu, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis, mengingatkan pedoman dalam berdakwah harus diperhatikan bagi para dai yang ikut meramaikan dunia dakwah di televisi.

“Hari ini orang yang masuk televisi dianggap sudah terseleksi dan orang unggulan bahkan mereka bisa menyedot perhatian serta memberikan pengaruh besar pada publik,” ujar Kiai Cholil.

Kiai Cholil menjelaskan terdapat dua pedoman yang perlu diperhatikan saat berdakwah, khususnya dakwak di layar kaca.

Pertama, menyamakan persepsi. Para dai yang berdakwah tidak boleh menyinggung kelompok lain apalagi sampai mengajarkan aliran sesat.

Kiai Cholil menegaskan masalah khilafiyah jangan diterangkan di televisi, sebab adanya keterbatasan waktu. Jika memang harus menyampaikan persoalan khilafiyah, maka dapat mengambil berbagai pendapat dengan singkat, kemudian mengambil jalan tengah dari persoalan tersebut demi menghindari perselisihan dan kesalahpahaman.

“Standardisasi dai yang diselenggarakan MUI sebagai pakta integritas, dimana para dai dibina secara khusus untuk menyamakan persepsi saat berdakwah,” kata Kiai Cholil.

“Karenanya jika Ustadz yang tampil di televisi telah mengikuti standardisasi MUI, jika terdapat pelanggaran dalam segi konten, kami yang akan turun langsung menegur ataupun sanksi moral,” tambahnya.

Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok Jabar ini mengatakan, berdasarkan kesepakatan NOTA antara MUI, KPI, dan Kemenag bahwa segala sesuatu yang berkenaan regulasi dan sosialisai merupakan ranah Kementerian Agama (Kemenag).

Begitu pula hal yang berkenaan dengan penyiaran menjadi jawab KPI. Sedangkan pada ranah syariah complain dan kepatuhan syariah diamanahkan kepada MUI. Setelah menyamakan persepsi, poin kedua dalam pedoman berdakwah yaitu mengenai persoalan aturan.

Menurut Kiai Cholil, persoalan aturan misalnya ormas yang sudah jelas dilarang seperti HTI dan FPI menjadi tanda tanya siapa yang berafiliasi dengan mereka.
Namun jika dai dari ormas tersebut atau dari mana pun backgroundnya jika telah mengikuti standardisasi MUI maka akan dibina secara khusus.

Oleh sebab itu, Kiai Cholil berharap kepada awak media untuk mengambil ustadz yang memiliki ikatan secara tertulis dengan MUI. Karena jika hanya memiliki ikatan moral saja, maka MUI tidak dapat bertanggung jawab sepenuhnya saat terjadi permasalahan pada konten yang dai sampaikan. “Yang bisa MUI lakukan yaitu meningkatkan kompetensi para dai, tidak untuk membatasinya,” imbuhnya.

Tokoh yang juga dosen Universitas Indonesia tersebut juga mengingatkan siaran televisi tidak boleh mengganggu kekhusyuan saat Ramadhan. Siaran televisi harus memberikan inspirasi sekaligus aspirasi baik dari sisi ceramah ataupun muatan dalam sinetron.

Di samping itu, para dai dan ustdaz harus tanggung jawab terhadap apa yang disampaikan jangan asal melempar tanpa ada data, dalil, dan fakta. Demi menghindari perpecahan dan kegaduhan serta untuk menjaga harmonisasi, sehingga esensi dakwah dapat diterima dengan baik oleh umat.

Perbaikan

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Minah Susanti, mengatakan program siaran relegi di televisi terus mengalami perbaikan, hingga telah memenuhi standar siaran KPI.

Minah Susanti menambahkan, program religi tidak hanya ada di bulan ramadhan, melainkan setiap hari. Meskipun, kata Minah, muatan program religi pada Ramadhan bertambah dibandingkan di hari-hari biasanya.

“Alhamdulillah angkanya sudah mencapai standar KPI dan itu cukup membuat kita merasa lembaga penyiaran sudah berusaha secara maksimal,” ujarnya.
Selain itu, KPI juga menyoroti tayangan reality show yang biasanya mendapatkan banyak kritik dan keluhan terkait dengan komedi. Namun, sudah mulai ada progres yang lebih baik.

Kegiatan yang dihadiri oleh sejumlah lembaga penyiaran televisi dan radio ini juga mendeklarasikan lima komitmen untuk melahirkan konten-konten Ramadhan yang mendidik dan menguatkan umat.

(Saddam Al-Ghifari/ Isyatami Aulia, ed: Nashih)



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia