Oleh: KH Ade Muzaini Lc, MA. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kota Tangerang
Salah satu fungsi zakat adalah mensucikan harta. Hakikat mensucikan harta dari syariat Allah SWT ini sebagaimana tertuang dalam surat At Taubah ayat 10. Allah SWT berfirman:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا…
“Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka…” (QS At Taubah ayat 103)
Namun demikian, ketika membaca penggalan ayat di atas, ada sebagian pihak yang salah paham. Terutama dalam memaknai kata تطهرهم (membersihkan) dan تزكيهم (mensucikan).
Ilustrasi kesalahpahaman tersebut antara lain misalnya, ada perkataan oknum korup saat menyandingkan hasil kejahatan yang telah dilakukan dengan adanya perintah zakat, yang menurut asumsi mereka, akan mensucikan harta haram yang didapatkan.
Saya akan merasa nyaman untuk melakukan korupsi, gratifikasi, mark up, manipulasi dan jenis-jenis modus operandi keji lainnya di dalam meraup harta. Toh harta haram yang saya peroleh tersebut dapat dibersihkan dan disucikan sehingga menjadi halal, dengan cara membayar zakat atau shadaqah dari sebagian harta tersebut.”
Ilustrasi di atas jelas sebuah miskonsepsi yang fatal. Asumsi yang keliru tersebut bisa jadi karena ketidaktahuan (kemungkinan ini sangat kecil karena tentu prinsip secara umum dalam agama bahwa yang halal itu jelas dan yang haram juga telah jelas), tetapi ada juga kemungkinan lain yaitu justru akibat semacam excuse untuk pembenaran diri terhadap maksiat yang dilakoni.
Jika kita telaah, yang dimaksud diksi “membersihkan” dan “mensucikan” adalah membersihkan diri dari noda-noda dosa dan kekikiran dan mensucikan serta mengangkat diri dari kehinaan derajat kemunafikan menuju ke derajat keikhlasan. Keterangan ini bisa didapatkan dalam sejumlah kitab tafsir klasik dan modern seperti tafsir Ath-Thabary dan kitab tafsir Al-Muntakhab. Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda:
لا تقبل صلاة بغير طهور ولا صدقة من غلول (رواه مسلم)
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci, juga tidak diterima sedekah (termasuk zakat) yang berasal dari hasil manipulasi.”
(HR Muslim) Bahkan, lebih detail lagi Rasulullah mewanti-wanti:
ولا يكسب عبد مالا من حرام فينفق فيه فيبارك له فيه، ولا يتصدق به فيقبل منه، ولا يترك خلف ظهره إلا كان زاده إلى النار، إن الله عز وجل لا يمحو السيىء، ولكن يمحو السيىء بالحسن، إن الخبيث لا يمحو الخبيث. (رواه أحمد)
“Jika seorang hamba memperoleh harta dari jalan yang haram, kemudian ia menafkahkannya, maka ia tidak akan diberkati. Jika dia sedekahkan (zakati) harta, maka tidak akan diterima. Jika dia simpan harta itu, maka hanya akan menjadi bekalnya menuju ke neraka. Sesungguhnya Allah menghapus yang buruk (dosa) dengan menggunakan yang buruk (harta yang haram).
Namun Allah menghapus yang buruk (dosa) dengan yang baik (harta yang halal). Sesungguhnya yang kotor tidak dapat menghapus yang kotor.” (HR Ahmad)
Dari sini dapat dipahami bahwa sedekah, infak, zakat, haji, dan ibadah-ibadah lainnya yang kita harapkan dapat membersihkan diri kita, harus berasal dari harta yang halal. Analagi lain juga berlaku untuk ibadah dalam Islam. Di antaranya, mungkinkah kita berwudhu dengan air comberan yang kotor, bau lagi menjijikkan? Tentu hal semacam ini tidak bisa dibenarkan.
Demikianlah pula dengan syariat puasa Ramadhan yang kita jalani saat ini. Saat berpuasa, kita mampu untuk tidak makan dan minum. Hubungan seksual suami-istri yang halal pun kita jauhi. Dengan puasa, kita terlatih menahan diri bahkan dari yang dihalalkan. Apalagi dari yang diharamkan, tentunya.
Semoga Ramadhan serta paket kurikulumnya dapat mengantarkan kita kembali peduli dan mawas diri dari segala yang haram. Sehingga momentum Idul Fitri dapat kita rayakan secara lebih esensial lagi, berupa komitmen untuk menjaga kebersihan lahir dan merawat kesucian batin ini. Amin
Leave a Reply