All posts by admin

Peci Tinggi Panglima Jihad untuk Soekarno

Perbedaan-peci-hitam-Soekarno

Tidak banyak dari kita yang menyadari bahwa proklamasi yang disuarakan pada 17 Agustus 1945 lekat dan terbungkus dengan seni. Justru sebaliknya banyak dari kita yang mengendapkan kesan bahwa prokalmasi sama dan sebangun dengan asap mesiu, bambu runcing, tentara pelajar, pekik merdeka, laskar-laskar perjuangan atau pertempuran bersenjata.

Ya jelas, kalau sedang lagi berjuang membela sebuah prinsip penting, tidak ada tempat lain selain berjuang dengan kekuatan seadanya. Kalau perlu dengan ayunan tangan pun tak menjadi soal atau kekuatan senjata. Yang penting berjuang secara fisik. Memikirkan yang lain, maaf saja, tidak ada tempat untuk dilakukan. Apakah benar proklamasi 17 Agustus 1945 seperti itu? Jawabannya cukup lima huruf: TIDAK.

Mungkin hanya Indonesia negara satu-satunya di dunia yang getol mengurusi hal-hal berkaitan dengan seni ketika sedang perang revolusi. Kalau kita membayangkan revolusi di Afrika, pasti terbayang akan pembantaian suku, pertumpahan darah dan kematian. Bagaimana dengan di Amerika Latin? Sama saja. Yang terdengar hanya perang gerilya melawan penguasa. Gerilya berasal dari bahasa Spanyol, /guerra/ yang artinya perang dan diadaptasi ke bahasa Inggri menjadi /guerilla/ atau gerilya daam bahasa Indonesia. Di belahan dunia manapun begitu, kalau lagi perang, ya perang! Mengurusi yang lain, seperti kesenian, menjadi urusan kesekian. Nanti saja kalau sudah selesai revolusinya.

Ketika baru masuk SMA di Jakarta, saya dan teman-teman pernah mengunjungi pameran seni Bung Karno di Taman Ismail Marzuki tahun 1983. Saat itu namanya sedang dipendam dalam-dalam oleh penguasa. Tapi sebaliknya pameran itu dipadati pengunjung yang sangat antusias dengan masalah seni, terutama pada masa revolusi. Terlihat bagaimana nuansa seni, terutama lukisan dan pahatan, sangat identik dengan gelora revolusi dan perang kemerdekaan.

Nah, Indonesia justru sebaliknya, beda negara-negara lain. Proklamasi 17 Agustus 1945 seperti sudah dipersiapkan tata seninya jauh sebelum negeri ini lahir. Apa yang dibicarakan Soekarno pertama kali mendarat di Jakarta di Pelabuhan Pasar Ikan pada 1942? Setelah dia dibuang bertahun-tahun di Ende, Flores, lalu ke Bengkulu, lalu melanglang keliling Sumatera dan akhirnya terdampar di Palembang, dan pulang berlayar dengan perahu kecil ke Jakarta? Dia hanya membicarakan masalah model jas dengan penjemputnya, yang juga bekas iparnya, Anwar Tjokroaminoto. Bukan strategi perjuangan.

Lalu apa yang dilakukan pemerintah negeri ini yang baru berusia 4 bulan, ketika keadaan Jakarta sedang genting melinting dengan kacau balau menghalau apapun? Pameran lukisan! Beberapa pelukis seperti Affandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, Mochtar Subianto, Raden Ali, Kartono Judoko dan seniman lainnya, mengadakan pameran di gedung Sekolah Tinggi Tabib Jakarta. Pameran itu dibuka oleh Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dan dihadiri pembukaannya oleh Presiden Soekarno yang gila seni beserta istri, Wakil Presiden Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir serta beberapa menteri, termasuk Sir Philip Christison, seorang juru runding dari Inggris.

Semua itu tak lepas dari intelijensi para pendiri negara ini yang punya wawasan luas, termasuk menyentuh dunia seni dan penampilan. Lihat saja, mana ada penampilan modis mereka yang kelihatan jelek dan kumuh, meski untuk memikirkan pangan saja sangat susah saat itu. Mereka semua terlihat ganteng, necis, parlente dan sedikti modis dengan pakaian dan penampilan a la kadarnya. Bandingkan dengan tokoh-tokoh asing… Hmmm… jauuuuh.

Paman Ho Chi Minh, terlihat seperti opa-opa tua ompong berpakaian lusuh. Churchill yang perlente mirip gentong besar yang bisa berjalan. Mao seperti tukang obat yang baru keluar hutan mencari ramuan dari tanaman. Castro mirip tentara dekil yang jarang mandi dan berdandan dengan brewok seperti hutan lindung. Nehru bagaikan mannequin. Beda dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir atau Amir Sjarifuddin yang terlihat bersih, intelek dan good-looking dengan penampilannya.

Penampilan tokoh dan pendiri bangsa-bangsa lain di manapun sangat jelas mewakili apa yang mereka perjuangkan. Melihat para pria berkumpul memakai kaffiyeh (penutup kapal untuk pria Arab), pasti mereka sedang membicakan Yasser Arafat, tokoh Palestina. Atau topi hijau dengan bintang merah yang dipakai oleh Tentara Merah (ABRI-nya Cina), pasti itu gaya Mao Tse-tung, serta Fidel Castro dengan topi militer warna hijau khasnya atau tokoh Prancis Charles de Gaulle dengan topi mirip kaleng. Juga seorang Nehru dari India dengan peci putihnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah sulit dipisahkan dengan visual peci hitam yang bertengger di atas kepala beberapa pentolan pendiri negeri ini, seperi Soekarno dan Hatta. Saat masa revolusi ketika orang melihat ada tokoh berpeci, pasti yang dibicarakan tentang proklamasi. Tentang kemerdekaan. Tentang tanggal 17 Agustus 1945. Terutama pada diri Soekarno dan juga Hatta. Sang dua sejoli.

Sejak kapan peci hitam menjadi ciri khas proklamasi? Ya sejak 17 Agustus 1945! Sampai tanggal 17 Agustus 1966, hari 17an terakhir Soekarno, dia selalu memakai peci hitam bergaya khas ketika bertindak sebagai pusat perhatian di podium perayaan 17 Agustus. Hanya menjelang akhir hayatnya, rakyat Indonesia baru bisa melihat Soekarno asli tanpa peci hitam. Saat dia tak punya kekuasaan lagi dan mulai sakit-sakitan.

Peci Hitam Soekarno

Ketika selesai menjalani pembuangan di Bengkulu bersama keluarga dan para pembantunya tahun 1942, Soekarno terpaksa berkeliling Sumatera dengan kondisi yang melelahkan dan menyebalkan. Pakaiannya lusuh dengan peci hitam yang pendek terlihat kurang tampan dan proporsional, ditambah lagi jarang mandi karena dia dan keluarganya melakukan perjalanan jauh itu (kadang mengendarai dokar) dengan penuh ketakutan atas gangguan dari tentara Jepang, yang sedang menderita kekalahan oleh pihak Sekutu.

Dari Bengkulu melalui jalan darat menuju kota Painan (kota pesisir kearah tenggara Padang), lalu ke Bukittingi dan berkeliling ke Payakumbuh dan akhirnya menemui sahabatnya, yang juga memimpin sebuah pesantren terkenal, Darul Funun al Abbasiyah, di desa Padang Japang, Guguk, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat. Kala itu Soekarno bukan siapa-siapa dan belum menjadi presiden.

“Kamu harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan menghancurkan bangsa ini”, kata pemimpin pesantren sambil menatap Soekarno yang sedang membetulkan sebuah peci hitam tinggi. Peci tersebut memang baru saja diberikan oleh Syech Abbas Abdullah, pemimpin pesantren itu ketika melihat penampilan Soekarno kurang oke dengan peci lamanya yang lebih pendek.

Peci itu memang pas dan serasi dengan visual wajah Soekarno. Pas margopas! Peci lamanya mana? Di tinggal di pesantren Syech Abbas Abdullah, yang juga menyarankan agar kelak Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi pemimpinnya, Indonesia harus berdasarkan ketuhanan. “Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam”, ujar sang syech kepada calon pemimpin bangsa terbesar umat Islamnya di jagat.

Lengkap dan pantas sudah penampilan baru Soekarno. Dia terlihat lebih ganteng dan siap memimpin negeri ini dengan penampilan khasnya tiada dua di dunia: peci hitam tinggi pemberian Syech Abbas Abdullah. Tapi nanti duluuu… Sang tuan rumah juga menyarankan agar penampilan baru Soekarno diimbangi dengan martabatnya yang handsome juga. Menurut penerawangannya, gigi taring Soekarno sebelah kanan itu dempet. Artinya? “Biasanya orang bergigi begitu bersifat rimbang mata atau mudah jatuh cintah kepada wanita”, ramal Syech Abbas Abdullah.

Akhirnya, peci hitam itu menjadi ciri khas visual proklamasi dan perjuangannnya di tahun-tahun kemudian. Peci itu menjadi benda seni yang memwakilkan sebuah sosok yang memiliki andil dengan proklamasi. Di kemudian hari bahkan menjadi ciri khas orang Indonesia. Hatta yang tak biasa berpeci selama sekolah di Eropa, akhirnya mengikuti Soekarno berpeci pada saat-saat tugas kenegaraan dan hingga sekarang diikuti menjadi bagian penting dari busana resmi presiden-presiden Indonesia.

Proklamasi 17 Agustus 1945 telah dikumandang, lalu dipertahankan dengan berdarah-darah dan akhirnya diisi dengan susah payah, selalu diwakili dengan visual pelakunya yang berpeci hitam. Ketika Soekarno membacakan naskah proklamasi, ikut upacara keagamaan di Gereja Mormon, berziarah ke makam Abdul Qadir Jailani serta makam George Washington, berpidato di Kongres Amerika Serikat, rapat umum di Stadion Lenin, Moskow, berdiskusi di Balai Rakyat Beijing dengan Mao, sowan berkali-kali ke Kaisar Hirohito, hampir pingsan di La Paz, Bolivia, ditangkap dan dibuang Belanda ke Prapat, bersembahyang di mesjid Leningrad (Petersburg), berpesta dengan Marilyn Monroe, naik sepeda di Kobenhavn, Denmark, merokok bareng Nehru di India, diskusi dengan Juan Peron di Buenos Aires, serta ngobrol dengan Elvis Presley di Hawaii, peci hitam itu selalu ada dan memvisualkan keindonesiaan yang makin melekat.

Tidak terbayang bila Soekarno melepas peci hitamnya setelah dibuang dari Bengkulu, karena pendek dan lusuh bentuknya. Untungnya hal ini tidak terjadi, karena jasa Syech Abbas Abdullah. Dia menjadi stylist proklamasi tanpa disadari. Hal-hal sepele sebelum dan sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, memang selalu diperhatikan terutama masalah seni dan penampilan untuk memancarkan kekuatan visual yang dominan. Indonesia tanpa Soekarno tidak terbayangkan seperti apa. Soekarno tanpa peci hitam tinggi, juga tak bisa dibayangkan.

Seperti yang dinubuatkan Syech Abbas Abdullah, negara Indonesia akan selalu memikirkan penampilan tanpa esensi. Bangsa Indonesia memang tak mengenal dan kurang suka dengan kekuatan riset. Senangnya bereksperiman sesaat dan improvisasi tanpa rencana. Mirip seperti seni, yang kaya improvisasi. Bukankah naskah proklamasi kemerdekaan ini ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta di atas sebuah piano? (*).

SUMBER:
1. Majalah Gatra, 9 Juni 2001, “Peci Tinggi Panglima Jihad”, Fachrul Rasyid.
2. Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, “Kronik Revolusi Indonesia” (Jilid I 1945), Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan dikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Jakarta, 1999.

(ISK)



Syekh Abbas Abdullah

“Kalah politik Jepang oleh Belanda. Kalau Belanda tidak boleh kita menjadi tentara baginya, tetapi Jepang dibolehkannya. Masukilah Gyu Gun itu nanti berguna bagi kita untuk memeranginya” (Syekh Abbas Abdullah, 1944)

“Kamu harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan menghancurkan bangsa ini.”
“Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam.”
(Syekh Abbas Abdullah, saat memberikan kopiah tinggi yang diberikan kepada Soekarno, dan menjadi identitas selanjutnya bagi Soekarno)

Syekh Abbas Abdullah (1883M- 1957M / 1376H) dilahirkan di nagari yang bernama Padang Japang, sebuah nagari di kenagarian kecamatan Guguk Kabupaten 50 Kota sekarang ini. Dalam bidang pendidikan, nagari ini adalah nagari yang termasuk paling dahulu mempunyai tradisi edukasi dibandingkan daerah lain pada masanya.

Hal ini dapat dibuktikan dengan terdapatnya di daerah ini dua buah institusi pendidikan Islam yang termasuk tertua di Sumatera Barat yaitu surau Syekh Abdullah, ayah dari Syekh Abbas. Kemudian yang satu lagi, surau Syekh Muhammad Shaleh, ayah dari Syekh Abdul Wahid.

Surau Syekh Abdullah didirikan di Padang Japang pada tahun 1854, tidak lama setelah berakhirnya Perang Paderi. Sedangkan surau Syekh Muhammad Shaleh pada mulanya didirikan di Padang Kandis, kemudian dipindahkan ke Tabek Gadang Padang Japang pada tahun 1906. Kedua institusi pendidikan (baca: tradisional) Islam ini telah banyak melahirkan cerdik pandai dan tersebar di berbagai daerah di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat.

Syekh Abbas Abdullah secara genealogis berasal dari kalangan ulama. Dalam dirinya terdapat “darah biru” ulama-ulama terkemuka di daerahnya pada zaman mereka masing-masing. Dari pihak ayahnya terdapat tiga orang Syekh yaitu Syekh Muhammad Shaleh (Syekh Munggu), Syekh Abdul Wahid dan ayah Syekh Abbas Abdullah sendiri yakni Syekh Abdullah. Syekh Muhammad Shaleh hidup dipertengahan abad ke-19 Masehi yang berasal dari suku Tanjung nagari Padang Kandis. Beliau adalah ulama tasawuf yang menganut aliran tarekat naqsyabandiah. Tarekat ini dipelajarinya langsung dari Mekkah. Ia merupakan kemenakan persukuan ayah Syekh Abbas Abdullah. Sedangkan Syekh Abdullah Wahid Shaleh adalah anak dari Syekh Muhammad Shaleh. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti, tetapi tahun wafatnya diperkirakan pada tahun 1369 H. Beliau mendapat pendidikan pada mulanya dari ayahnya Syekh Muhammad Shaleh, setelah itu dengan Syekh Muhammad Saad Mungka, kemudian melanjutkan kepada Syekh Muhammad Thaib Umar di Sungayang. Setelah menamatkan pelajarannya dengan Syekh Muhammad Thaib Umar, ia membuka pesantren di Tabek Gadang Padang Japang pada tahun 1906. Di waktu menunaikan ibadah haji di Mekkah, beliau berkesempatan tinggal di sana untuk belajar dengan Syekh Said Yamany dan Syekh Said al-Malikiy. Setelah kembali ke kampung halamannya, beliau langsung mengajar di tempat semula dan menggabungkannya dengan sekolah yang sealiran yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) pada tahun 1928.

Syekh Abdullah adalah ayah Syekh Abbas Abdullah. Dilahirkan di Padang Japang pada tahun 1830. Bapaknya merupakan mamak (paman) dari ayah Syekh Muhammad Shaleh. Waktu Syekh Abdullah lahir, situasi sosial politik Minangkabau pada waktu itu sedang hangat-hangatnya Perang Paderi. Ia merupakan murid tertua dari Syekh Taram (Beliau surau Durian) dan dari Syekh Kumai serta Tuanku Gadut yang semuanya merupakan ulama-ulama besar Minangkabau pada masanya. Setelah menamatkan pelajarannya, langsung membuka pesantren di Padang Japang pada tahun 1854. Tidak lama setelah itu, beliau pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Pada tahun 1857, beliau kembali ke kampung halamannya dan mengajar kembali di sekolah semula. Diantara murid-muridnya yang kemudian dikenal sebagai ulama terkemuka di daerah mereka masing-masing antara lain adalah Engku Mudo Karuang Sicincin, Engku Sutan Air Tabit, Engku Capuak Air Tiris dan Engku Lima Puluh di Malalo.

Ibu Syekh Abbas Abdullah bernama Seko yang berasal dari nagari Padang Japang. Ibunya bukan berasal dari kalangan ulama, akan tetapi berasal dari keluarga hartawan yang taat beragama. Syekh Abbas Abdullah bersaudara enam orang dari satu ayah dengan tiga orang ibu. Yang tertua bernama Syekh Muhammad Shalih, yang kedua Syekh Mustafa Abdullah dan merupakan saudara seayah seibu Syekh Abbas Abdullah. Sedangkan dari ibunya yang lain terdapat saudaranya yang lain yaitu Syekh Muhammad Said, Sa’adah dan Sa’adud. Dari enam orang tersebut, empat orang menjadi ulama. Dengan memiliki latar belakang keluarga seperti yang diterangkan diatas, telah membuka jalan yang sangat luas bagi Syekh Abbas Abdullah untuk menjadi ulama besar. Apalagi sejak kecil, beliau memang dikondisikan oleh ayahnya untuk kelak menjadi seorang ulama.

Sebagaimana halnya ulama pada masanya, Syekh Abbas Abdullah juga merupakan “orang jemputan”. Istri beliau berjumlah tujuh orang yaitu Kalimah, Lian, Tobik, Soviah, Saliah, Rohana dan seorang lagi di Batuhampar (tidak diketahui namanya). Dari ketujuh orang istrinya tersebut, Syekh Abbas Abdullah dikaruniai 15 orang anak yang diberinya nama Sofia, Zuraidah, Abdul Muis, Fauzi, Naimah, Azhariah, Damsakti, Azhari, Nuraini, Zahriah, Firman, Ismet, Faruq, Farid dan Adliah. Pada umumnya mereka dididik disekolah Syekh Abbas Abdullah kecuali tiga orang yaitu Azhari, Faruq dan Firman. Diantara anaknya yang cukup berhasil dan mengikuti jejak beliau menjadi ulama adalah H. Fauzi Abbas yang melanjutkan memimpin sekolah Darul Funun. Syekh Abbas wafat pada tanggal 17 Juni 1957.

Syekh Abbas Abdullah mulai masuk sekolah pada umur tujuh tahun. Waktu itu, pendidikan dan institusi pendidikan merupakan sesuatu yang langka dan elitis, baik untuk daerah Padang Japang maupun daerah-daerah lain di Sumatera Barat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah kolonial Belanda tidak begitu memperhatikan kebutuhan pendidikan rakyat. Sekolah yang ada hanyalah Kweekschool di Bukittinggi dan beberapa sekolah Gubernemen kelas II.

Maka kondisi yang minim ini, pendidikan surau merupakan alternatif yang terbaik ketika itu. Di daerah 50 Kota pada masa Syekh Abbas Abdullah ini tidak begitu banyak terdapat institusi pendidikan surau yang cukup baik, diantaranya surau yang terdapat di Batuhampar, Canduang, Sicincin, Mungka, Padang Panjang, Padang Japang dan Pandam Garang Suliki. Oleh ayahnya, Syekh Abbas Abdullah dimasukkan ayahnya ke surau Pandang Gadang. Walaupun ayahnya merupakan seorang ulama dan memiliki surau sendiri, namun Syekh Abbas Abdullah bukan belajar di surau yang dipimpin ayahnya tersebut. Hal ini disebabkan karena tuntutan adat istiadat Minangkabau yang berlaku pada waktu itu dimana anak-anak yang telah berumur tujuh tahun ke atas tidak baik tidur bersama dengan keluarganya lagi.

Waktu belajar di Pandan Gadang ini, Syekh Abbas Abdullah termasuk anak yang cerdas dan keras hati dalam mendapatkan pelajaran. Dari gurunya di Pandam Gadang inilah ia mendapat “mutiara kata” yang kelak menentukan jalan hidupnya. Isi mutiara kata tersebut adalah “kalau kamu ingin menjadi orang yang pintar dan berguna nanti, maka pergilah belajar ke negeri Mekkah”. Perkataan inilah yang mendorongnya untuk pergi ke Mekkah selagi umurnya belum pantas menunaikan ibadah haji. Setelah enam tahun belajar di Pandam Gadang, keinginannya untuk pergi ke Mekkah semakin menggebu-gebu.

Pada tahun 1896, satu kesempatan berharga terbuka baginya untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Pada waktu itu, mamaknya, Ibrahim akan pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini tidak disia-siakannya. Ia bermohon kepada mamak dan keluarganya untuk diizinkan ikut ke Mekkah. Tetapi mamaknya melarang, sebab umurnya masih kecil dan jalan yang akan dilalui sangat sulit. Tapi melihat keinginan yang demikian besar dan kegigihan Syekh Abbas Abdullah merayu dan memohon mamak serta keluarga, akhirnya Syekh Abbas Abdullah diizinkan berangkat. Tetapi setelah selesai menunaikan ibadah haji, Syekh Abbas Abdullah tidak mau pulang karena ia ingin belajar di Mekkah. Pada mulanya mamaknya melarang, akan tetapi berkat kegigihannya, mamaknya terpaksa memberi izin. Di Mekkah ini kemudian ia belajar kepada banyak guru, salah satunya adalah kepada mufti mazhab Syafii yang juga merupakan putra asli Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawiy.

Setelah beberapa tahun belajar dibawah bimbingan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Abbas Abdullah kemudian pulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa tahun mengabdikan diri dan mengajar di kampung halamannya, Syekh Abbas Abdullah kemudian melanjutkan pendidikannya ke centre ilmu pengetahuan Islam lainnya pada masa itu yaitu ke Mesir. Di Mesir, beliau belajar di Universitas Al-Azhar sebagai pendengar (mustami’). Salah seorang gurunya yang kemudian sering disebutnya adalah Syekh Badwiy, ulama pintar tapi memiliki cacat penglihatan (buta).

Sementara itu, disamping belajar di Mesir beliau menyempatkan diri pergi belajar ke daerah-daerah lain di Timur Tengah serta Eropa untuk mengadakan komparasi (studi perbandingan) seperti Palestina, Libanon, Syiria, Swiss dan lain-lain. Di Swiss beliau bertemu dengan Mahmud Yunus yang pada waktu itu sedang melakukan kunjungan ke sana. Sewaktu akan kembali ke kampung halamannya kembali, beliau kembali menunaikan ibadah haji ke Mekkah, kemudian beliau terus menuju Mesir untuk mengantarkan putera kakaknya Talut Musthafa dan Nazaruddin Thaha.

Melihat perjalanan pendidikan Syekh Abbas Abdullah ini, maka dari berbagai institusi pendidikan serta “warna” pendidikan yang dilaluinya, maka bisa diambil kesimpulan bahwa Mekkah dan Mesir merupakan dua “warna” yang sangat mempengaruhi pemikiran Syekh Abbas Abdullah. Figur Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mesir dan figur pemikiran serta ide-ide Muhammad Abduh di Mesir, menjadi konhtributor terbesar dalam mempengaruhi orientasi pemikiran Syekh Abbas Abdullah dalam pergulatan hidup dan pemikirannya kedepan.

Melihat masih banyaknya tradisi kultural di Minangkabau, khususnya didaerahnya yang masih banyak terjadi hal-hal yang bersifat bid’ah dan khurafat, maka Syekh Abbas Abdullah mencari format dan strategi yang efektif menanggulangi ini. Untuk itu ia pergi menemui teman-temannya yang dianggapnya bisa memahami keinginannya seperti Syekh Muhammad Thaib Umar di Sungayang Batusangkar, Syekh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang dan Syekh Ibrahim Musa di Parabek.

Bertepatan di waktu itu di Padang Panjang dan Parabek, Syekh Abdul Karim Amrullah dan Syekh Ibrahim Musa sedang mengkoordinir murid-muridnya di bawah suatu organisasi yang diberinya nama Sumatera Thawalib. Sebagai hasil dari kunjungan Syekh Abbas Abdullah menemui teman-temannya itu adalah bergabungnya pelajar-pelajar surau Padang Japang ke dalam Sumatera Thawalib dan sekaligus sekolahnya dinamakan dengan Madrasah Sumatera Thawalib. Dalam institusi pendidikan ini, Syekh Abbas Abdullah membina dan mengembangkan pola pendidikan yang nantinya berguna bagi murid-muridnya untuk menghadapi tantangan lingkungan yang penuh dengan tantangan.

Diantara pembinaan dan pengembangan yang beliau lakukan adalah mempersiapkan kader-kader muballigh. Kader-kader muballigh ini dilatihnya sekali seminggu yang disebut dengan muhadarah. Murid-murid dilatih bagaimana cara memberikan ilmu yang telah didapat kepada masyarakat. Pada mulanya kegiatan ini terkonsentrasi di sekolah saja, tetapi melihat animo masyarakat yang demikian tinggi, maka beliau mulai mengembangkannya dan membuka diri untuk masyarakat sekitarnya serta tidak hanya terfokus bagi para pelajar saja.

Diantara pelajar-pelajar yang telah dirasa cakap dan mampu dalam muhadarah ini, barulah diterjunkan ke dalam masyarakat. Mereka inilah yang dibawa oleh Syekh Abbas Abdullah berkeliling dari kampung ke kampung. Di saat para murid-muridnya berdakwah, Syekh Abbas Abdullah sering ikut tapi tidak ikut berdakwah. Beliau baru ikut menerangkan suatu materi ketika ada masalah yang tidak dapat dipecahkan dan pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh para muridnya. Menurut H. Sya’ban Naim, salah seorang muridnya, Syekh Abbas Abdullah tidak biasa berdakwah dan berpidato. Ia tidak memiliki kemampuan maksimal sebagai seorang orator.

Ide-ide baru yang dikembangkan melalui media dakwah ini ialah merobah cara berfikir masyarakat yang telah terkontaminasi. Pelaksanaannya adalah berpedoman kepada pemikiran Muhammad Abduh yang masuk ke Sumatera Barat melalui majalah-majalah dan buku-buku karangan Muhammad Abduh sendiri seperti Al-Islam Ruhul Madaniyah. Di antara ide-ide Muhammad Abduh yang begitu ditonjolkan pada waktu itu adalah masih terbukanya pintu ijtihad, tetapi ijtihad tersebut tidak boleh dilakukan oleh semua orang, melainkan bagi orang yang telah memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditetapkan.

Masalah yang masuk dalam “wilayah” ijtihad ini tidak mengenai masalah ibadah, akan tetapi mayoritas masalah kemasyarakatan. Kemasuarakatan inilah yang harus disesuaikan dengan kehendak zaman. Dengan sendirinya taqlid kepada ulama tak perlu lagi dipertahankan, tetapi perlu diperangi karena taqlid seperti inilah yang akan membawa ummat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.

Sebagai konsekuensi dari ide-ide yang dikemukakan oleh pelajar-pelajar Sumatera Thawalib Padang japang dibawah bimbingan Syekh Abbas Abdullah ini mendapat tantangan dari beberapa kalangan ulama. Kondisi ini menimbulkan perdebatan-perdebatan antara yang mempertahankan dan yang menentang. Di mana-mana diadakan Majelis Tarjih untuk memperbincangkan berbagai masalah-masalah yang muncul sehingga masing-masing kelompok berusaha untuk mempertahankan perspektif mereka. Dalam konteks ini, maka timbullah iklim intelektual yang hidup.

Syekh Abbas Abdullah dengan pelajar-pelajar asuhannya membentuk suatu majelis tarjih yang waktu itu lebih dikenal dengan nama Debating Club. Debating Club ini pada mulanya diadakan dalam perkumpulan pelajar-pelajar di bawah bimbingan Syekh Abdullah Abbas saja, satu kali dalam satu minggu. Kemudian, sebagaimana halnya yang juga terjadi pada pelatihan muhadarah, kegiatan Debating Club ini juga menarik perhatian masyarakat. Akhirnya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Debating Club ini sering di tempat terbuka dengan mengundang pelajar-pelajar lain seperti dari Tabek Gadang, Mungka dan lain-lain.

Materi yang diperbincangkan dalam Debating Club ini adalah masalah-masalah yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat seperti masalah riba, judi, ibadat, bank dan lain-lain. Pengikut-pengikutnya terdiri dari guru-guru dan murid-murid dari kelas tertinggi. Sedangkan Syekh Abdullah Abbas sebagai pembina hanya ikut menghadiri dan ikut aktif apabila ada masalah yang sulit dipecahkan atau dicari jalan tengahnya. Hasil dari Debating Club ini kemudian akan disiarkan atau diberitahu kepada masyarakat oleh para muballigh. Hasil yang diperoleh dari tradisi Debating Club ini sangat besar sekali. Terjadi perubahan pola pikir dalam masyarakat. Seorang yang akan berfatwa harus meneliti secara cermat darimana sumbernya. Karena itu, suatu hal tidak lagi diterima secara “membabi buta atau taqlid” dari seseorang begitu saja. Masyarakat tidak disuruh menerima tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Dengan demikian, dalam masyarakat, timbul tradisi kritis.

Sementara itu, cara berfikir ulama-ulama semakin hari semakin maju dan terbuka. Pengembangan ajaran Islam tidak hanya melalui media dakwah (lisan) saja lagi, akan tetapi ditambah dengan media jurnalistik (tulis) yaitu dengan menerbitkan majalah. Majalah Islam yang pertama sekali terbit di Sumatera Barat adalah Al-Munir di bawah pimpinan Syekh Abdullah Ahmad dan H. Marah Muhammad bin Abdul Hamid yang dibantu oleh HAKA, Dahlan Sutan Lembak Tuah, H. Muhammad Thaib Umar dan Sutan Mahmud Salim. Isinya mengupas tentang soal-soal agama yang sulit seperti masalah taqlid kepada satu iman, soal berhimpun di rumah orang kematian pada waktu hari pertama dan ketiga serta seterusnya, soal niat dan membaca usalli, soal berfoto, soal berdiri di waktu barzanji, soal tuah burung ketitiran dan masalah berpuasa dengan hisab dan rukyah. Majalah ini kemudian terhenti terbitnya karena percetakannya terbakar.

Kemudian pada tahun 1918, majalah Al-Munir diterbitkan kembali di Padang Panjang dengan nama Al-Munir el-Manar. Majalah ini diterbitkan oleh Jamiah Sumatera Thawalib Padang Panjang dua kali dalam satu bulan. Rais Tahrirnya adalah Zainuddin Labay el-Yunusiy, al-Mudirnya H. Syu’ib, Muharrirnya Abdul Hamid dan Annazirnya Basa Bandaro Padang. Pembantu-pembantunya terdiri dari H. Ahmad Khatib, H. Rasyid dan Abdul Madjid Sidi Sutan. Sedangkan pemimpinnya adalah HAKA, Syekh Muhammad Djamil Djambek, H. Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Abbas Abdullah Padang Japang. Penerbitan majalah ini kemudian diikuti oleh Jami’atul Muzakarah Ikhwan Parabek dengan nama Al-Bayan. Sedangkan Sumatera Thawalib Padang Japang menerbitkan pula dengan nama Al-Imam yang dipimpin sendiri oleh Syekh Abbas Abdullah. Nomor pertamanya diterbitkan pada bulan Nopember 1919 M./1338 H. Majalah ini diusahakan oleh pelajar-pelajar Padang Japang dengan biaya dari Syekh Abbas Abdullah. Isinya terutama mengupas tentang masalah agama yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran. Disamping itu juga terdapat ruangan terjemahan dari majalah-majalah Arab seperti Al-Manar dan Al-Ahram dari Mesir.

Majalah ini disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat, sehingga orang yang jauh dapat bertanya kepada ulama tentang soal agama atau soal lain yang dikeragui. Karena itu, pengembangan pembaharuan pemikiran melalui majalah ini sangat besar pengaruh nya. Dengan cara-cara seperti ini, Syekh Abbas Abdullah telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dalam membentuk dan membina kader-kader ulama yang dapat diterjunkan ke dalam masyarakat untuk memperbaiki pola dan perspektif pemikiran mereka. Perjuangan yang demikian bukanlah sesuatu yang mudah, akan tetapi membutuhkan kesungguhan, ketabahan, pengorbanan fisik mental finansial dan keuletan. Karena yang diubah bukanlah masalah bentuk luarnya, melainkan adalah adat tradisi yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat kala itu.

Langkah awal yang dilakukannya adalah terlibat secara langsung dalam pembinaan (ikut mengajar) di surau peninggalan ayahnya yang dipimpin oleh kakaknya, Syekh Mustafa Abdullah. Usaha yang dilakukannya pertama sekali adalah menukar cara belajar yang waktu itu hanya mementingkan beberapa mata pelajaran saja. Kemudian berusaha memperbaharui beberapa kitab yang dipelajari. Melalui Syekh Abbas Abdullah, sistem pelajaran di surau milik ayahnya ini yang kemudian dirubahnya menjadi Sumatera Thawalib Padang Japang, mulai diperkenalkan kitab-kitab yang dikeluarkan Mesir seperti Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, tafsir Muhammad Abduh dan tafsir Al-Jawahir. Kitab-kitab ini diajarkan pada murid-mirid yang telah berada pada kelas tertinggi yaitu kelas VI dan kelas VII. Di samping itu, beliau juga mengajarkan kitab Al-Islam wal Ulumul Ashriyah kepada murid-murid tertentu.

Kitab-kitab yang beliau ajarkan ini sangat disukai oleh pelajar-pelajar yang berfikiran maju. Kitab Bidayatul Mujtahid tidak memihak pada salah satu mazhab, sangat sesuai dengan pemikiran yang suka berijtihad. Tafsir Muhammad Abduh dan tafsir Al-Jawahir yang uraiannya sesuai dengan rasio, cocok pula dengan perkem-bangan zaman. Sedangkan kitab Al-Islam wal Ulumul Ashriyah disukai pula karena dapat menimbulkan kesadaran dan semangat juang ummat Islam dalam menghadapi penjajahan Belanda. Disamping itu, ilmu matiq mulai diajarkan pada murid-murid kelas lima ke atas. Ilmu ini sangat berguna dalam melatih menegakkan pendapat dalam berdiskusi. Sejalan dengan diajarkannya ilmu matiq, maka cara belajar pun mulai berobah. Kalau sebelumnya murid belajar secara pasif, maka sekarang para murid diminta untuk aktif. Seorang murid ditunjuk untuk membaca, kemudian yang lainnya diminta untuk membandingkan bila ada yang salah.

Di samping perubahan materi dan cara belajar ini, cara menuntut pelajaran juga berubah. Pada masa sebelumnya seseorang yang pergi menuntut ilmu terlebih dahulu harus pergi mencari “induk semang”. Bila tidak dapat induk semang, maka pergi meminta-minta tiap hari kamis ke kampung-kampung. Tradisi ini mulai dilarang oleh Syekh Abbas Abdullah karena menurut beliau meminta-minta bertentangan dengan ajaran Islam dan merendahkan derajat serta ilmu seseorang. Dengan demikian, seorang murid membawa perbekalan yang cukup dari kampung halaman mereka masing-masing. Bagi yang kurang mampu, dicarikan pekerjaan pada sore harinya. Untuk meninggikan pandangan masyarakat terhadap pelajar-pelajar, maka Syekh Abbas Abdullah mulai mengatur cara berpakaian. Kalau pada masa dulu seorang pelajar mirip dengan “labai”, maka oleh Syekh Abbas Abdullah, para murid disuruh berpakaian bersih dan rapi, memakai alas kaki dan rambut dipotong tetapi tidak dicukur habis. Melihat perkembangan Sumatera Thawalib Padang Japang yang demikian, membuat masyarakat banyak yang tertarik untuk belajar. Sehingga berdatanganlah murid-muridnya dari berbagai pelosok daerah seperti dari Tapanuli, Bangkinang, Bengkulu, Jambi dan lain-lain. Murid-murid periode inilah yang menentukan perkembangan pendidikan agama pada masa selanjutnya seperti Nasharuddin Thaha, Zainuddin Hamidy dan lain-lain. Sekembalinya dari menuntut ilmu ke Mesir, Syekh Abbas Abdullah langsung mencurahkan tenaga dan fikiran sepenuhnya pada perguruan Sumatera Thawalib Padang Japang. Diadakannya perbaikan dalam sistem pengajaran dan peralatan dengan menerapkan apa yang dilihatnya di Universitas Al-Azhar. Sekolah dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Ibtidaiyah dengan lama belajar selama empat tahun dan Tsanawiyah dengan lama belajar selama empat tahun. Sementara itu, pada tahun 1928, pengetahuan umum seperti ilmu bumi, sejarah, tata negara, biologi dan bahasa asing mulai di perkenalkan.

Dalam pada itu, organisasi Sumatera Thawalib yang telah berusaha menyatukan pelajar-pelajar Madrasah Sumatera Thawalib yang ada, mengadakan rapat di Bukittinggi. Di antara isi rapat tersebut adalah meninjau kembali kemungkinan dimasukkannya mata pelajaran praktis seperti mata pelajaran pertanian, pertukangan dan perdagangan. Rapat ini tidak berjalan mulus karena sebagian peserta menarik diri. Tambahan lagi, suasana politik sudah mulai masuk kedalam Sumatera Thawalib yang mengakibatkan organisasi ini berubah menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Syekh Abbas Abdullah selaku orang yang telah banyak merasakan asam garam kehidupan ini, telah mengetahui hal ini. Beliau kemudian berkata : “kalau sekolah sudah memasuki dunia politik, maka sekolah itu akan hancur, boleh berpolitik tapi jangan di sekolah”. Karena itu, ia menarik sekolahnya dari keanggotaan Sumatera Thawalib dan kemudian menukar nama madrasahnya menjadi Darul Funun el-Abasiyah.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Syekh Abbas Abdullah adalah memperbaharui bangunan gedung tempat belajar. Hal ini dilakukan karena pada masa sebelumnya pelajar-pelajar Padang Japang hanya belajar di surau. Untuk itu, Syekh Abbas Abdullah mewakafkan sebagian tanahnya dan mengumpulkan sumbangan dari masyarakat. Tahun 1928, keinginan kemudian terealisasi. Pada tahun 1927, Muhammadiyah mulai masuk ke Padang Japang. Salah satu kegiatannya adalah mendidik pemuda berorganisasi melalui organisasi kepanduan Hizbul Wathan. Terinspirasi dengan organisasi Hizbul Wathan ini, maka banyak institusi pendidikan Islam pada masa itu mendirikan organisasi seperti Hizbul Wathan tersebut. Sumatera Thawalib Parabek dengan Ansharullah-nya, Thawalib Padang Panjang dengan Al-Hilal-nya dan Darul Funun el-Abasiyah Padang Japang dengan kepanduan Al-Kasyaf-nya. Dengan berdirinya Al-Kasyaf ini, maka bidang pelajaran keterampilan mendapat perhatian yang besar pula di madrasah tersebut. Sehingga madrasah Padang Japang ini betul-betul termasuk institusi pendidikan Islam yang maju waktu itu.

Sekitar tahun 1934, kemajuan madrasah ini mulai goncang karena pemerintah kolonial Belanda mulai mencurigai madrasah-madrasah di Indonesia, terutama di Sumatera Barat, yang mempelajari materi yang memiliki potensi untuk menumbuhkan perasaan nasionalisme kebangsaan. Penggeledahan mulai dilakukan, tidak terkecuali Darul Funun. Hal ini membuat kegiatan pendidikan berhenti untuk sementara waktu, walaupun akhirnya kemudian dilanjutkan lagi. Pada tahun 1942, konstelasi sosial politik Indonesia berubah. Menyikapi perubahan sosial politik yang terjadi, berbagai madrasah di Sumatera Barat membentuk berbagai lasykar pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Madrasah Darul Funun Padang Jabang oleh Syekh Abbas Abdullah dibentuk lasykar Sabilillah dibawah pimpinan Saaduddin Syarbaini. Setelah Indonesia merdeka, sebahagian dari anggota lasykar ini ada yang aktif dan menjadi anggota militer, seperti anaknya sendiri, Kapten Azhari, dan lain-lain.

Secara ideologis, Syekh Abbas Abdullah telah membentuk rasa kebangsaan para anak didiknyua. Dengan dirubahnya kurikulum Sumatera Thawalib Padang Japang yang memberikan porsi pembelajaran mengenai tata negara dan sejarah yang secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa kebangsaan, membuat pemerintah kolonial Belanda menaruh curiga terhadap institusi pendidikan Islam seperti Sumatera Thawalib Padang Japang ini. Ketika Syekh Abbas Abdullah mulai berkiprah dalam dunia kemasyarakatan dan pendidikan di kampung halamannya, pengaruh komunis mulai merambah Sumatera Barat, tidak terkecuali di institusi pendidikan yang dipimpinnya. Pelajar-pelajar Sumatera Thawalib banyak yang apresiatif terhadap komunis dan berkeinginan untuk memasukinya. Oleh Syekh Abbas Abdullah hal ini ditentangnya habis-habisan dengan mengatakan bahwa komunis merupakan ideologi yang berseberangan secara total dengan ajaran agama Islam, terutama yang menyangkut ajaran mereka mengenai anti Tuhan. Dengan demikian, Syekh Abbas Abdullah memiliki kontribusi yang besar dalam mengantisipasi pernyebaran ajaran komunis, terutama dalam masyarakatnya dan para pelajarnya.

Kedatangan Jepang ke Sumatera Barat, kolonial Jepang berusaha mendekati para ulama. Sementara itu, para ulama memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengorganisir diri dalam suatu badan yang bernama Majelis Islam Tinggi (MIT) dibawah pimpinan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syekh Muhammad Djamil Djambek. MIT secara umum bertujuan untuk memperkokoh keimanan dan menolak secara tegas tradisi Seikere (menyembah atau membungkukkan badan menghadap Tokyo). Ketika Jepang terdesak, Jepang berusaha untuk menarik pemuda-pemuda ikut perang membela Jepang. Akan tetapi, umumnya para pemuda tersebut tidak begitu tertarik. Yeno Kenzo, Residen Jepang di Sumatera Barat berusaha mengumpulkan sejumlah pemuka agama, adat dan cerdik pandai dalam rangka membentuk badan lain yang bernama Gyu Gun Ko En Kai yang merupakan bagian dari Hoko Kai. Rasionalisasinya adalah bahwa badan yang dibentuk ini merupakan tentara rakyat dan akan berdampingan membela tanah air dengan Jepang. Keinginan inipun disosialisasikan kepada masyarakat. Ketika kabar ini sampai ke Padang Japang, banyak para pemuda yang ragu-ragu, kemudian mereka pergi menemui Syekh Abbas Abdullah yang waktu itu merupakan salah seorang anggota MIT untuk minta pendapat. Syekh Abbas Abdullah kemudian mengatakan : “Kalah politik Jepang oleh Belanda. Kalau Belanda tidak boleh kita menjadi tentara baginya, tetapi Jepang dibolehkannya. Masukilah Gyu Gun itu nanti berguna bagi kita untuk memeranginya”. Perkataan Syekh Abbas Abdullah ini sangat berpengaruh terhadap masyarakat dan murid-muridnya. Sehingga banyak dari masyarakat yang memasuki Gyu Gun, diantara Azhari, anak beliau sendiri. Ketika Indonesia merdeka, dan untuk mensikapi hal ini, maka pada bulan Desember 1945, MIT sebagai badan yang memiliki pengaruh besar di Sumatera Barat mengadakan kongres di Bukittinggi pada bulan Desember 1945. Hadir dalam kongres tersebut para ulama dari berbagai penjuru Sumatera Barat. Hasil kongres tersebut menghasilkan semboyan revolusioner yang berbunyi : “Siapa-siapa yang tewas dalam memperjuangkan kemerdekaan dewasa ini adalah mati syahid dunia dan akhirat”. Di samping itu kongres tersebut juga membentuk tiga panitia yakni panitia fatwa, panitia barisan Sabilillah dan panitia politik.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang (Muhammad Ilham)
Redaksi



Zainuddin Labay el-Yunusi

Zainuddin Labay el-Yunusi, lahir di sebuah “rumah gadang” (rumah adat lima ruang) yang terletak di jalan menuju Lubuk Mata Kucing Kenagarian Bukit Surungan, Padang Panjang tahun 1890 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1308 H. Ia lahir dari pasangan Syeikh Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafi’ah. Ayahnya Syekh Muhammad Yunus al-Khalidiyah adalah seorang ulama terkenal dan memegang jabatan sebagai qadhi di daerah Pandai Sikek.

Kakeknya bernama Imaduddin, juga seorang ulama terkenal, pemimpin aliran tarikat Naqsyabandiyah dan ahli ilmu falak (hisab) di daerahnya. Bila ditelusuri lebih jauh silsilah keturunannya dari pihak ayah, maka akan diperoleh suatu gambaran bahwa ia mempunyai hubungan pertalian darah dengan Haji Miskin salah seorang tokoh “harimau nan salapan” dalam gerakan Paderi. Ibunya bernama Rafi’ah, juga seorang wanita yang taat beragama. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal pada sekolah tertentu, karena waktu itu jenjang pendidikan formal masih tertutup bagi anak perempuan, khusunya di Minangkabau. Akan tetapi ia bisa membaca al-Quran, membaca dan menulis huruf Arab. Ada kemungkinan ini berkat bimbingan kakaknya Kudi Urai, yang sangat menyangi dan memanjakannya. Silsilah keturunan Zainuddin Labay dari pihak ibu berasal dari nagari IV Angkat Candung Agam.

Tidak diketahui secara pasti siapa kakek dan buyutnya di pihak ibu. Namun dari data yang diperoleh ternyata bahwa ibunya berasal dari keluarga yang taat beragama juga. Sebab, daerah IV Angkat Candung merupakan daerah tempat lahirnya ulama-ulama besar Minangkabau seperti, Ahmad Khatib, Syeik Sulaiman Arrasuli, dan lain-lain. Perjalanan hidup Ibu Zainuddin Labay, Rafi’ah, selanjutnya diurusi oleh saudara kandungnya, Kudi Urai. Kudi Urai inilah yang mengasuhnya hingga dewasa dan mencarikan pasangan hidup, menginginkan agar adiknya Rafi’ah tersebut kawin dengan ulama, atau setidak-tidaknya dengan orang yang taat menjalankan agamanya.

Keinginan Kudi Urai (setelah menunaikan ibadah haji namanya diganti dengan Hajjah Khadijah), akhirnya terpenuhi ketika pilihannya jatuh kepada seorang ulama dari Pandai Sikat yakni Muhammad Yunus al-Khalidi, sekalipun hati kecil Rafi’ah enggan menerimanya disebabkan Muhammad Yunus telah mempunyai isteri enam orang. Perkawinan Rafi’ah dengan Syeikh Muhammad Yunus adalah perkawinan yang agak unik.

Dikatakan demikian karena ada beberapa alasan. Pertama, jarak umur antara Rafi’ah dengan Muhammad Yunus sangat jauh berbeda. Rafi’ah baru berumur 16 tahun, sedangkan Muhammad Yunus berusia 42 tahun. Kedua, salah satu fenomena yang berkembang pada awal abad kedua puluh adalah adanya tradisi ulama atau tokoh agama beristeri lebih dari satu orang. Seorang ulama yang beristeri lebih dari satu orang mampunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Ketokohan dan keahlian seseorang dalam ilmu agama menjadi salah satu faktor bagi masyarakat lain untuk mengawinkan anaknya dengan seorang ulama, sekalipun ulama itu telah mempunyai isteri sebelumnya. Ada semacam berkah yang akan diperoleh bila seseorang kawin dengan tokoh agama.

Syeikh Muhammad Yunus sebagai seorang ulama juga mengalami hal serupa. Sebelum kawin dengan Rafi’ah, Syeikh Muhammad Yunus telah enam kali kawin dan mempunyai beberapa orang anak, Rafi’ah akan dijadikan sebagai isteri ketujuh. Sebagai seorang perempuan, ia tidak mau hidup di madu. Dalam konteks yang lebih jauh, ia takut nanti dianggap mengambil isteri orang.

Berdasarkan kepada hal-hal tersebut sebetulnya Rafi’ah, merasa enggan dikawinkan dengan orang yang sudah kawin berkali-kali, namun berkat bimbingan kakaknya, Hajjah Khadijah, yang telah berjasa memelihara dan membesarkannya, Rafi’ah tidak berani menolak keinginan kakanya tersebut agar ia kawin dengan Muhammad Yunus. Ada setitik harapan keluarga yang tertumpang dari perkawinan Rafi’ah dengan Muhammad Yunus ini, yaitu agar nanti dapat melahirkan keturunan yang baik-baik, alim, cerdas dan taqwa kepada Allah SWT.

Buah perkawinan Rafi’ah dengan Syeikh Muhammad Yunus, lahir lima orang putera dan puteri. Dua di antaranya muncul sebagai tokoh paling berpengaruh dalam gerakan pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau, masing-masing Zainuddin Labay el-Yunusi dan rahmah el-Yunusiyah.

Zainuddin Labay adalah anak tertua, sedangkan Rahmah adalah anak paling bungsu dari lima bersaudara tersebut. Keduanya telah mengukir riwayat hidupnya sendiri-sendiri dalam lembaran sejarah tanah air tercinta ini dengan perjuangan dalam bidang pendidikan Islam. Lima orang putra dan putri yang lahir dari hasil perkawinan antara Syeikh Muhammad Yunus dan Rafi’ah adalah:
1. Zainuddin Labay (1890-10 Juli 1924 M/1308-1342 H)
2. Mariah (1893-7 Januari 1972 M/1311-1391 H)
3. Muhammad Rasyad (1895-Februari 1956 M/1313-1375 H)
4. Riahanah (1898-8 Desember 1968 M/1316-1388 H)
5. Rahmah (1900-26 Februari 1969 M/1318-1388 H)

Hanya ibu tercinta inilah (kemudian lebih akrab dipanggil Ummi Rafi’ah) yang mendidik putera dan puterinya hingga dewasa dan dapat menyaksikan perjuangan anak-anaknya, sebab pada tahun 1906, suaminya Syeikh Muhammad Yunus (Tuangku Pandai Sikek), berpulang ke rahmatullah dalam usia 60 tahun, di saat anak-anaknya masih kecil. Ummi Rafi’ah sendiri wafat pada tanggal 1 Juli 1948 bertepatan dengan 23 Sya’ban 1369 H (seminggu menjelang bulan Ramadhan) dalam usia 76 tahun.

Dilihat dari garis keturunannya sebagaimana diterangkan di atas, maka nampaklah bahwa Zainuddin Labay, berasal dari keturunan ulama, cendekiawan muslim, taat beragama serta pelopor gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Ayahnya, Syeikh Muhammad Yunus, di samping sebagai seorang qadhi di Pandai Sikat, juga tercatat sebagai penganut dan tokoh aliran tarikat Naqsyabandiyah di Minangkabau, mengikuti jejak kakeknya Syeikh Imaduddin yang juga penganut aliran tarikat Naqsyabandiyah.

Ketokohan ayahnya dalam tarikat ini, dapat dilihat dari gelar “khalidiyah” yang dipanggilkan di belakang nama Muhammad Yunus, menunjukkan bahwa dia adalah penganut tarikat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Martin van Bruinssen, mencatat bahwa Syeikh Muhammad Yunus, merupakan salah seorang khalifah tarikat Naqsyabandiyah yang terpenting dan paling berpengaruh di daerah Koto Lawas kenagarian Batipuh. Bila dikaitkan ketokohannya dalam bidang tarikat Naqsyabandiyah dengan pendapat Bruinessen di atas, menurut analisa penulis, hal tersebut ada benarnya, karena isteri keempat Syeikh Muhammad Yunus, berasal dari Koto Lawas kenagarian Batipuh. Ia tinggal bersama isterinya di daerah tersebut, sekaligus berfungsi sebagai tokoh tarikat Naqsyabandi di sana. Sedangkan dari pihak ibu, walaupun tidak diperoleh data rinci tentang latar belakang dan silsilah keturunannya, namun dapat diduga bahwa ibu Zainuddin Labay, berasal dari keluarga yang taat beragama juga. Ini terbukti dari cara dia mendidik anak-anaknya hingga menjadi dewasa, dua di antaranya menjadi orang besar dalam sejarah Islam di Minangkabau khususnya dan di Indonesia pada umumnya.

Di antara pendidikan rumah tangga, sebagai pembinaan pribadi yang diterima Zainuddin Labay bersaudara dari orang tuanya adalah berkaitan dengan penanaman sistem nilai, yakni mendidik dengan memberikan contoh pengalaman hidup. Sistem nilai itu adalah jangan membalas kejahatan dengan kejahatan pula serta jangan suka pendendam. Jangan suka menyampaikan omongan orang lain kepada seteru (musuh)-nya. Anak gadis tidak baik berdiri di depan pintu/jendela seraya melihat orang lalu lintas di jalan raya. Bila saudara laki-laki atau paman datang ke rumah segeralah letakan air minum (kopi atau teh). Anak perempuan tidak sopan berbicara keras dan tertawa terbahak-bahak. Jangan sombong dan membanggakan diri karena itu bukan sifat manusia, apalagi sifat seorang muslim.

Zainuddin Labay el-Yunusi pertama kali menikah pada tahun 1912 dengan Sawiyah, seorang gadis berasal dari Bukit Surungan Padang Panjang. Dari perkawinan ini, ia dikarunia dua orang anak, seorang perempuan bernama Zuraida Zainuddin (lahir 1914) dan seorang laki-laki bernama Tanius Mathran Hibatullah Zainuddin (lahir 1917). Zuraida, anak perempuan Zainuddin satu-satunya yang sempat menjadi staf pengajar pada Diniyah Putri yang didirikan adiknya Rahmah el-Yunusiyah, setelah menyelesaikan pendidikan di sana selama tujuh tahun. Bahkan sempat pula memimpin Kulliyatul Mu’allimat el-Islamiyah (KMI) cabang Riau di Pekanbaru. Adiknya Tanius Mathran Hibatullah, tidak begitu terlihat kiprahnya, karena ia telah wafat lebih dahulu dari Zuraidah.

Perkawinan Zainuddin dengan Sawiyah, ternyata tidak berlangsung lama dan berakhir dengan perceraian. Di satu sisi, sebagai seorang yang masih berusia muda, Zainuddin Labay tidak ingin kehidupan rumah tangganya berakhir hanya karena perceraian dengan isteri pertamanya. Untuk dapat meringankan beban pikiran dan memotivasi dirinya dalam mewujudkan cita-citanya yang luhur, ia tetap memerlukan seorang pendamping hidup yang setia. Di sisi lain terlihat kesan bahwa tradisi ulama dan tokoh agama beristeri lebih dari satu orang masih tetap berkembang di dalam masyarakat. Untuk itu Zainuddin menikah lagi dengan seorang gadis dari desa Jambu, Gunung – Padang Panjang, bernama Djaliah. Namun sampai akhir hayatnya, Zainuddin tidak memperoleh anak dengan isterinya yang kedua ini. Cita-cita Zainuddin dilanjutkan oleh adiknya Rahmah el-Yunusiyah.

Latar belakang keluarga, dalam perjalanan karir seorang Zainuddin Labay, sebagaimana di atas, menurut hemat penulis, sangat mempengaruhi keberhasilannya menggapai cita-cita pembaharuan. Suatu fakta yang sulit dibantah adalah pada umumnya mereka yang tampil sebagai ulama dan tokoh agama adalah mereka berasal dari keturunan ulama dan keluarga taat beragama. Beberapa orang di antaranya dapat disebut seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Abdul Karim Amrullah, Syeikh Abdullah Ahmad, Zainuddin Labay, Rahmah el-Yunusi, dan lain-lain. Mereka berasal dari keturunan ulama dan keluarga yang taat menjalankan ajaran agama.

Berangkat dari kenyataan ini dapat dikatakan, mereka yang berasal dari keturunan ulama lebih sering mendapat pengajaran berupa penanaman nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman di dalam hidup baik ketika ia belajar agama di surau ayahnya maupun ketika mereka berada di lingkungan keluarga, ketimbang mereka yang berasal dari keluarga biasa. Oleh karenanya tradisi ulama beristeri lebih dari satu berkembang pesat. Kharisma ulama semakin tinggi. Setiap orang tua selalu berkeinginan mengawinkan anak gadis mereka dengan seorang ulama, walaupun ulama itu telah beristeri sebelumnya. Karena diharapkan dari perkawinan itu akan lahir generasi-generasi alim, cerdas dan bertaqwa kepada Allah SWT.

B. Latar Belakang Pendidikan

Pada masa Zainudin Labay el-Yunusi, ada dua bentuk sistem pendidikan bagi penduduk pribumi di Minangkabau khususnya dan di Indonesia umumnya. Pertama, adalah sistem pendidikan surau bagi para penduduk muslim (di Jawa sistem pendidikan Pesantren), yang mengajarkan ilmu-ilmu agama semata. Kedua, adalah sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan mempersiapkan para siswa untuk menempati posisi-posisi administrasi pemerintahan, baik pada tingkat rendah maupun menengah. Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah Belanda untuk penduduk pribumi (Holland Inlandsche Scholen atau HIS) yang mulai didirikan awal tahun 1914, sangat terbatas. Selain sekolah pemerintah, juga ada sekolah swasta pribumi yang berorientasi pendidikan Barat Keterbatasan ini dapat dilihat dari prosentase murid yang masuk kesekolah tersebut dari kalangan penduduk pribumi. Hanya anak-anak keluarga tertentu yang dapat mendaftarkan diri. Masa belajarnya hanya tujuh tahun dan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus ke negeri Belanda. Karenanya tidak semua orang mendapat kesempatan belajar pada sekolah Belanda ini. Apalagi bila dikaitkan dengan suatu “image” yang berkembang waktu itu bahwa mengikuti pendidikan Barat (Belanda) hukumnya adalah haram karena karakter dari sekolah tersebut sekuler dan tidak sesuai dengan tradisi Islam.

Jadi, karena adanya kebijaksanaan pemerintah yang membatasi kesempatan pendidikan bagi masyarakat pribumi dan keyakinan sebagian besar kaum Muslim akan status kaum kolonial yang kafir, maka institusi pendidikan yang tersedia bagi mayoritas penduduk pribumi adalah surau dan pesantren. Belajar di surau atau di pesantren tidak hanya terjangkau dari segi ekonomis, bahkan juga bernilai ibadah. Dalam konteks yang lebih jauh, produk pendidikan surau atau pesantren dapat melanjutkan pendidikan ke Makkah dan Kairo. Suatu keinginan yang selalu dicita-citakan oleh setiap masyarakat muslim pada waktu itu.

Pendidikan Zainuddin Labay el-Yunusi, sama dengan yang dialami oleh kebanyakan orang Islam seusianya. Pendidikan awal yang dilaluinya tentu saja pendidikan infomal (di dalam keluarga) dan pendidikan agama yang diberikan ayahnya. Pada usia 8 (delapan) tahun, Zainuddin Labay, dimasukkan ayahnya ke sekolah pemerintah (HIS), namun ia hanya belajar sampai kelas IV. Kemudian ia keluar dari sekolah tersebut karena dalam banyak hal ia tidak setuju dengan pola pendidikan kolonial yang tidak akomodatif terhadap pendidikan agama Islam.

Setidak-tidaknya, ada dua hal yang menyebabkan Zainuddin Labay keluar dari sekolah pemerintah (HIS). Pertama, di sekolah pemerintah tidak dimasukan mata pelajaran agama karena pihak pemerintah (Belanda), sehingga sekolah terkesan sekuler dan hanya untuk kepentingan duniawi semata. Kedua, bahwa tujuan dari pemerintah Belanda mendirikan sekolah bukan untuk kepentingan rakyat, akan tetapi hanya untuk kepentingan kolonial Belanda itu sendiri, yakni untuk mempersiapkan calon-calon tenaga pegawai terdidik yang akan ditempatkan dalam birokrasi lokal termasuk penyediaan personil dalam urusan tanam paksa kopi. Pengetahuan yang diberikan di sekolah-sekolah pemerintah itu nantinya juga merupakan bagian dari upaya membentuk warga negara yang “baik” dan secar berangsur-angsur mereka juga akan diperbelandakan, dalam arti mencontoh gaya hidup Eropa. Sehingga hasilnya terkesan lebih menguntungkan pihak penjajah. Untuk itu, Zainuddin Labay, memutuskan untuk tidak lagi belajar di sekolah pemerintah tersebut. Setelah keluar dari sekolah pemerintah, Zainuddin kembali belajar dengan ayahnya memperdalam ilmu-ilmu agama. Waktu-waktu senggang dipergunakan untuk belajar mandiri dan membaca. Masa 2 (dua) tahun belajar dengan ayah tercinta dirasakannya tidak begitu lama, sebab ayahnya dipanggil Yang Mahakuasa. Akibatnya pendidikan Zainuddin terbengkalai di saat ia sedang sangat memerlukan pendidikan untuk masa depannya.

Keterangan lain mengatakan bahwa setelah ayahnya meninggal dunia, Zainuddin Labay sempat menjadi “preman” (istilah yang diberikan kepada anak-anak yang tidak menentu pekerjaannya). Kerjanya sehari-hari adalah bermain layang-layang, meniup serunai yang terbuat dari batang padi, bersalung, bermain rabab, dan lain-lain sebagainya. Suatu pekerjaan yang sering dilakukan anak-anak yang tidak sekolah. Bila perut terasa lapar, segera pulang untuk makan dan kemudian pergi lagi. Kondisi seperti ini berlangsung selama dua tahun. Berkaitan dengan aktivitas Zainuddin Labay belajar silat sejauh ini penulis belum mendapatkan data lengkap. Namun jika dilihat dari tradisi yang berkembang di masyarakat pada masa awal abad ke XX, dapat dikatakan bahwa Zainuddin Labay pernah belajar silat selama hidup preman.

Aktivitas keseharian yang dilakukan Zainuddin sebagaimana diterangkan di atas dapat dimaklumi, karena ia telah kehilangan seseorang yang selama ini sangat dicintainya dan sangat berperan membina kepribadian dan memasukkan nilai-nilai pendidikan agama kepadanya. Dalam tataran yang lebih ekstrim, sebagai anak tertua dari lima bersaudara, ia mengalami trauma dengan perginya orang yang sangat dicintainya itu. Keinginannya untuk belajar agama muncul kembali setelah ia mendengar ada seorang ulama yang sangat dalam ilmunya di Sungai Batang, suatu daerah yang terletak di pinggiran Danau Maninjau. Ulama itu adalah H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), yang baru saja kembali dari Makkah. Tetapi karena daerah “danau” (istilah yang masyhur waktu itu) terlalu jauh dan alat transportasi ke sana sangat sulit, ibu Zainuddin Labay, Ummi Rafi’ah, keberatan melepas anaknya “merantau” (belajar) ke daerah danau tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa alat transportasi yang digunakan pada masa itu hanya bendi. Untuk sampai ke Sungai Batang itu, orang harus ke Bukittinggi terlebih dahulu. Dari sana barulah orang naik bendi ke Sungai Batang setelah melewati “kelok 44” Maninjau. Umumnya orang berangkat ke sana pagi dan sore harinya baru sampai di Sungai Batang. Dapat dibayangkan betapa sulitnya hubungan transportasi ke daerah tersebut ditambah lagi dengan kondisi jalan yang sangat rawan dan terjal, pada hal jarak antara Bukittinggi dan Maninjau tidak begitu jauh. Setelah gagal meneruskan pelajaran agama ke “danau”, tahun 1910, Zainuddin Labay, menyampaikan keinginannya untuk pergi belajar kepada salah seorang ulama moderen di Padang, yang bernama Dr. H. Abdullah Ahmad (1878-1933). Keinginan Zainuddin ini diperkenankan oleh ibunya dan ia diberi biaya sebanyak 20 gulden serta bekal hidup lainnya untuk belajar ke Padang. Tapi hanya delapan hari ia belajar dengan Abdullah Ahmad di Padang, kemudian Zainuddin kembali ke Padang Panjang. Biaya 20 gulden yang diberi oleh ibunya untuk biaya dan bekal hidupnya selama menuntut ilmu dibelikannya kepada buku-buku, majalah dan koran-koran berbahasa asing. Dari prilakunya yang seperti ini, jelas menunjukkan bahwa Zainuddin adalah seorang yang anak yang memiliki kepribadian fenomenal yang sangat jarang dilakukan oleh anak-anak segenerasi dengannya. unik dan sulit ditebak kemauannya.

Agar pendidikan Zainuddin tidak terbengkalai, ibunya menyarankan agar ia pergi belajar kepada Syeikh Abbas Abdullah (1883-1957, di Padang Japang Payakumbuh, seorang ulama yang sealiran dengan Syeikh Abdul Karim Amrullah dan Dr. H. Abdullah Ahmad. Anjuran ibunya diterima dan kemudian, ia pergi ke Padang Japang Payakumbuh dan belajar di surau Syeikh Abbas Abdullah, dari tahun 1911-1913.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang tua Zainuddin Labay lebih cenderung menyuruh anaknya belajar ke Padang Japang, Payakumbuh. Pertama, Syeikh Abbas Abdullah adalah seorang ulama moderen yang sealiran dengan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Abdullah Ahmad. Kedua, transportasi ke sana lebih lancar ketimbang ke Sungai Batang, Maninjau. Transportasi yang digunakan orang ke Payakumbuh masa itu adalah kereta api, sama dengan alat transportasi yang digunakan ke Padang. Sedangkan ke Sungai batang hanya kendaraan bendi semata.

Selama dua tahun belajar dengan Syeikh Abbas Abdullah, Zainuddin Labay termasuk murid yang “nakal” dan “keras hati”. Suatu ketika di mana semua murid harus mengaji, Zainuddin dengan beberapa orang temannya yang lain pergi bermain sepak bola. Sang guru bertanya mengapa Zainuddin tidak hadir ? salah seorang temannya mengatakan bahwa ia pergi bermain bola. Sang guru sangat marah, sehingga perlengkapan Zainuddin, seperti kasur, pakaian dan barang-barang lainnya dilempar ke dalam kolam. Mendapat kabar bahwa gurunya marah, ia segera kembali ke surau dan mengumpulkan barang-barangnya tersebut untuk kemudian terus pulang ke Padang Panjang. Seminggu setelah itu, Zainuddin kembali lagi ke Padang Japang dan sang guru pun telah memaafkan kesalahannya.

Selama dua tahun Zainuddin belajar di Padang Japang, Syeikh Abbas Abdullah melihat bakat dan kecerdasan yang dimiliki Zainuddin melebihi kemampuan yang dimiliki oleh kawan-kawanya yang lain. Untuk itu ia diangkat menjadi guru bantu.

Bahkan tidak jarang terjadi perdebatan sengit antara ia dengan gurunya tersebut dalam hal keilmuan. Karena hal-hal yang belum ia pelajari telah diajarkannya kepada murid-murid yang lain. Sekalipun demikian, Zainuddin tidak lama melanjutkan pelajarannya, karena tahun 1914, ia harus pulang ke Padang Panjang dan tidak kembali lagi ke Padang Japang.

Di Padang Panjang, Zainuddin belajar dengan Syeikh Abdulkarim Amrullah, yang pada saat itu telah menetap di Padang Panjang dan mengajar di Surau Jembatan Besi. Di surau Jembatan Besi, menurut Hamka, Zainuddin Labay tidak selalu duduk berhalaqah menghadap mengaji dengan gurunya “Inyiak Rasul”, karena otaknya cerdas dan mampu belajar sendiri. Jika terdapat kesulitan dalam memahami pelajaran, barulah ia bertanya kepada gurunya. Kemampuan intelektual yang dimiliki Zainuddin Labay, menyebabkan “Inyiak Rasul” berani memberikan kepercayaan kepadanya menjadi guru bantu di Surau Jembatan Besi.

Latar belakang pendidikan yang dilalui Zainuddin Labay sebagaimana dipaparkan di atas, memang relatif pendek dan tidak sistematis. Pola pendidikannya yang tidak sistematis dan tidak teratur tersebut menurut hemat penulis, setidak-tidaknya dipengaruhi oleh sikap dan kepribadiannya yang unik namun berpotensi untuk maju.

Dikatakan unik, karena dalam proses pendidikan yang dilaluinya, tidak dijalaninya menurut semestinya. Itu terlihat ketika ia belajar di sekolah gubernemen (pemerintah Belanda) hanya sampai kelas IV. Bahkan ketika ia belajar dengan Syeikh Abbas Abdullah (Padang Japang), sempat terjadi kericuhan kecil antara ia dengan gurunya karena tidak mengindahkan peraturan dan disiplin belajar. Belajar dengan Syeikh Abdullah Ahmad di Padang, hanya menghabiskan waktu seminggu kemudian kembali lagi ke Padang Panjang.

Dilihat dari faktor umur, pola pendidikan seperti itu memang tidak wajar dilakukan oleh seseorang yang masih membutuhkan pendidikan formal yang teratur dan sistematis. Apalagi pada usia muda di mana seseorang harus menimba ilmu dari bangku sekolah secara teratur.

Ia juga memiliki potensi untuk maju, sebab lompatan-lompatan dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan Zainuddin terkesan agak aneh dan tidak biasa dilakukan orang pada waktu itu. Ketika tidak lagi belajar di sekolah gubernemen, ia lebih memilih belajar sendiri, di samping belajar agama dengan ayahnya. Ketika belajar di Padang Japang, walaupun terjadi kericuhan kecil dengan gurunya, namun karena kecerdasan intelektual yang dimilikinya, Zainuddin diberi kepercayaan sebagai guru bantu. Biaya sekolah yang diberikan ibunya ketika belajar dengan Abdullah Ahmad, akhirnya dibelikannya kepada buku-buku, majalah-majalah dan surat kabar berbahasa asing. Dengan modal itu ia bisa belajar sendiri tanpa bantuan orang lain. Melihat kemampuan intelektualnya yang tinggi, akhirnya Syeikh Abdulkarim Amrullah, yang saat itu mengajar di surau Jembatan Besi mengangkat Zainuddin sebagai guru bantu.

Dengan latar belakang pendidikan seperti itu, didukung oleh ketajaman intelektual, keuletan serta wawasanya yang jauh ke depan, Zainuddin dapat merombak kekolotan sistem pendidikan yang sedang berkembang. Di atas reruntuhan dan puing-puing kekolotan itu dibangunnya gagasan-gagasan pembaharuan yang kelak membawa perubahan besar khususnya di bidang pendidikan Islam. Eksistensi tiga orang guru yang berhaluan moderen, yakni Haji Rasul, Abbas Abdullah dan Abdullah Ahmad, serta peranan mereka dalam riwayat pendidikan Zainuddin Labay, tampaknya, sangat berpengaruh besar. Sebab merekalah yang paling bertanggung jawab mengajarkan dan menyebarkan pemikiran-pemikiran moderen di lembaga pendidikan di mana mereka mengajar. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang pernah mereka timba di Timur Tengah, disebarluaskan kembali di tanah air

Zainuddin Labay, termasuk orang yang menerima pemikiran-pemikiran moderen dari ketiga tokoh ulama pembaharu tersebut. Karena Zainuddin pernah belajar di surau mereka bahkan sempat menjadi guru bantu. Zainuddin Labay tidak pernah belajar kepada ulama-ulama tradisional kecuali kepada ayahnya. Itupun hanya sebatas pengetahuan tentang dasar-dasar agama dan waktunya pun tidak terlalu lama. Dengan demikian pengaruh pemikiran moderen lebih banyak ia terima ketimbang pemikiran-pemikiran keagamaan yang bercorak tradisional.

(Muhapril Musri)



Syekh Zainuddin Hamidy

(1905-1985)

Haji Zainuddin Hamidy lahir di Koto Nan IV Payakumbuh pada tanggal 8 Februari 1907. Anak dari Abdul Hamid dan Halimah. Putra kedua dari dua orang bersaudara, Kakaknya bemama Nahrawi, istri dad Imam Mukhtasar, seorang ulama terpandang didaerahnya. Masa kecil dihabiskan Zainuddin Hamidy di kampung halamannya. la tumbuh dari keluarga yang tidak begitu religius. Bahkan ayahnya dianggap seorang Pareman. Tapi faktor lingkungan clan keuletannya dalam menuntut ilmu, membuat Zainuddin Hamidy kelak dikenal sebagai seorang ulama yang cukup berpengaruh. Disamping melewati pendidikan non-formal tradisional yakni surau, Zainuddin Hamidy juga menempuh pendidikan formal. Selama lima tahun, ia sekolah di sekolah Governement di Payakumbuh.

Setelah tamat dari sekolah ini, Zainuddin Hamidy memasuki sekolah Darul Funun el-Abbasiy di Padang Japang. Madrasah Darul Funun ini menapakan sebuah lembaga pendidikan yang telah mengalami perubahan baik dalam sistem pendidikan maupun dalam fasilitas yang digunakan. Sekolah ini telah memakai sistem klasikal dan para muridnya telah beiajar dengan mempergunakan fasilitas bangku, meja dan berpakaian rapi seperti memakai kemeja, dasi dan jas. Di Madrasah darul Funun ini, Zainuddin Hamidy belajar ilmu tafsir, hadits, Bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya. Zainuddin Hamidy dikenal sebagai murid yang cerdas. Hal ini terbukti, ketika ia duduk di bangku terakhir (kelas akhir. ed.), ia dipercaya untuk mengajar di kelas lima. Karena kepintarannya ini, pimpinan Madrasah Darul Funun Padang Japang, Syekh Abdullah Abbas menyuruh dan merekomendasikan Zainuddin Hamidy untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Sebelum berangkat ke Mekkah, Zainuddin Hamidy terlebih dahulu menikah dengan Rahmah. Kelak, dari Rahmah Zainuddin Hamidy memiliki 7 orang anak. Anak Syekh Haji Zainuddin Hamidy dengan Rahmah ini diantaranya adalah Prof. DR. Abdurrahman, MA (Dosen Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia) dan Ramzi Zainuddin (pimpinan Yayasan Ma’had Islamy Koto Nan IV Payakumbuh sekarang).

Dengan meninggalkan istrinya tercinta, Rahmah, Zainuddin Hamidy berangkat ke Mekkah. Di kota ini ia melaksanakan rukun Islam ke-lima. Setelah itu, ia menuntut ilmu agama di salah satu perguruan terkenal masa itu, Ma’had Islamy. Zainuddin Hamidy merupakan orang Indonesia pertama yang sekolah di perguruan ini. Di perguruan ini ia belajar beberapa tahun. Setelah merasa cukup waktu dalam menuntut ilmu agama, Zainuddin Hamidy pulang ke kampung hafamannya dalam usia yang relatif muda. Setelah sampai di Payakumbuh, beliau kemudian menikahi Desima Jasin. Dengan Desima Jasin ini, Zainuddin Hamidy memiliki 7 orang anak yang sekarang pada umumnya berdomisiii di pulau Jawa. Di kampung halamannya, Minangkabau, Zainuddin Hamidy kemudian mencurahkan pemikirannya dalam dunia pendidikan clan keagamaan.

Pembaharuan di Indonesia, khususnya di Minangkabau banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Syekh Ahmad Khatib al¬Minangkabawi, Pembaharuan pemikiran ini tidak dibawa secara iangsung oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang berdomisili secara permanen di Mekkah, tapi pemikirannya tersebut ditransformasikan lewat murid-muridnya yang belajar di Mekkah. Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dalam sejarah intelektual clan pembaharuan Islam Indonesia, khususnya Minangkabau, dianggap sebagal ulama yang mempunyai kontribusi signifikan dafam menghembuskan “angin” pembaharuan ke Minangkabau. Diantara murid-muridnya yang pulang dari Mekkah dan kemudian dikenal sebagai ulama-ulama avant garde Minangkabau diantaranya Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Abdullah Ahmad dan Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) yang kemudian nama-nama diatas tersebut dikenal dengan julukan Empat Serangkai. Selain empat serangkai ini, juga dikenal Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Daud Rasyidi, Syekh Abdul Latief, Syekh Abbas dan Syekh Mustofa, Syekh Ibrahim Musa, Syekh Sutan Darab dari Pariaman, Syekh Khatib AIi dan lain-lain. Di Minangkabau, mereka ini mempelopori pergerakan pembaharuan Islam. Mereka mendirikan perkumpulan-perkumpulan, baik yang bergerak dalam lapangan pendidikan maupun yang bergerak dalam bentuk organisasi-organisasi sosial. Diantara lembaga-lembaga pendidikan yang berdiri pada masa ini diantaranya Sekolah Adabiyah, Surau Jembatan Besi yang kemudian berubah menjadi Sumatera Thawalib, dan Madrasah Thawalib di Padang Japang.

Dinamika pemikiran pembaharuan di Minangkabau juga “berputar” daiam arena politik. Sumatera Thawalib yang pada awalnya bergerak dalam dunia pendidikan, kemudian melebarkan pengaruhnya dalam dunia politik dengan turut serta sebagai kontributor berdirinya Permi. Syekh Abbas Abdullah sebagai pimpinan Madrasah Thawalib Padang Japang tidak berniat masuk dafam kancah politik tersebut. Untuk itu beliau menukar nama lembaga pendidikan yang dipimpinnya ini menjadi Madrasah Darul Funun el-Abbasiy. Setelah kembalinya Syekh Haji Zainuddin Hamidy dad Mekkah, ia kemudian mendedikasikan ilmunya pada Madrasah tempat pertama ia menuntut ilmu yang Madrasah tersebut telah berganti nama dengan Darul Funun yang kemudian mendirikan lembaga pendidikan Islam Ma’had Islamy di Koto Nan IV Payakumbuh. Ma’had islamy merupakan lembaga pendidikan Islam yang awainya bernama Diniyyah School. Pengambilan nama Ma’had Islamy ini dilatarbelakangi oleh romantisisme Syekh Haji Zainuddin Hamidy ketika ia menuntut ilmu di perguruan Ma’had Islamy Mekkah.

Di Ma’had Islamy ini, sejak tahun 1933, Syekh Haji Zainuddin Hamidy banyak melakukan inovasi-inovasi. Inovasi tersebut dilakukannya secara bertahap. Inovasi yang dilakukan selain merubah sistem pendidikan dan pengajaran dad halaqah menjadi klassikal, juga dilakukan pembangunan gedung Ma’had Islamy. Syekh Haji Zainuddin Hamidy juga giat dalam mengembangkan jumlah sekolah. Pada tahun 1933 ini juga, ia mendirikan sekolah tingkat Tsanawiyah sebagai lanjutan dari tingkat ibtidaiyah. Dengan bermunculannya sekolah-sekolah pemerintah yang didirikan oieh pemerintah kolonial Belanda, Syekh Haji Zainuddin Hamidy memasukkan pelajaran-pelajaran umum ke sekolah Ma’had Islamy. Pelajaran yang diberikan disamping pefajaran agama juga dipelajari pelajaran umum dengan bahasa pengantamya Bahasa Arab. Pelajaran tersebut diantaranya adalah geografi, ilmu pendidikan dan sejarah Islam.

Berkat kepemimpinan Syekh Haji Zainuddin Hamidy, Ma’had Islamy berkembang pesat. Secara kuantitatif hal ini terlihat ketika tahun 1936, pelajar-pefajar yang menuntut ilmu di Ma’had Islamy semakin bertambah. Banyaknya pelajar-pelajar tersebut hingga perlu dilakukan penambahan gedung yang memadai, Penambahan gedung yang memakan biaya yang cukup banyak ini bisa diatasi karena banyaknya sumbangan dar’t masyarakat Minangkabau, khususnya masyarakat Payakumbuh. Hal ini merefleksikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Minangkabau, khususnya Payakumbuh terhadap Syekh Haji Zainuddin Hamidy sangat tinggi.

Pada tahun 1940, gedung baru yang didanai secara sukarela dan patungan oleh masyarakat ini, selesai dibangun. Gedung baru ini berjumlah 10 lokal. Mayoritas permanen, Setelah gedung baru ini tuntas dibangun dan diresmikan pemakaiannya, pada tanggal 13 Februad 1941 terjadi angin puting beliung yang merobohkan gedung yang baru dibangun tersebut. Kesedihan kemudian menghinggapi hati masyarakat dan para pengurus Ma’had Islamy, dan tak terkecuali Syekh Haji Zainuddin Hamidy. Untuk menenangkan hati masyarakat clan pengurus, Syekh Haji Zainuddin Hamidy berusaha untuk tampil tabah clan selalu mengatakan : “Asa Rabbuna an Yubdillana Khairan Minha : semoga Allah memberikan ganti yang lebih baik dari yang ini. Dibawah komando Syekh Haji Zainuddin Hamidy, mereka mulai kembali membangung gedung yang roboh tersebut. Untuk merealisasikan keinginan ini, maka dibentuk panitia pembangunan gedung baru. Panitia ini diketuai oleh Fakhruddin HS. Gt. Madjo Indo, Ahmad Hamid Ibrahim, Arbi, Kari Lazim clan lain-lain, 8erkat kerja keras panitia dan dukungan dari masyarakat, pada tahun 1942, gedung baru ini selesai dibangun. Dengan adanya gedung baru ini clan dukungan finansial yang lumayan memadai, Syekh Haji Zainuddin Hamidy bisa mengerahkan segala kemampuannya untuk mencurahkan ilmu agama tanpa memikirkan kendala-kendala teknis. Syekh Haji Zainuddin Hamidy pun bisa tenang mentransformasikan iimunya tersebut kepada pelajar-pelajar Ma’had Islamy. Dad tahun ke tahun, Ma’had Islamy berkembang dan pelajar-pelajar yang menuntut ilmu disana makin bertambah.

Pada masa penjajahan Jepang, tantangan yang dihadapi oleh Syekh Haji Zainuddin Hamidy dan Ma’had Islamy sangat berat sekali. Sekolah hanya tiga kali sehari. Hari lain diisi dengan gotong royong dan kerja paksa untuk kepentingan Jepang. Selain itu, yang sangat menyakitkan adalah kewajiban untuk melakukan Seikere’ (hormat ke Kaisar Jepang “Tenno Naika” dengan menghadap kearah matahari terbit) clan berkumpul dilapangan untuk menyanyikan lagu Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang. Disamping itu, Jepang juga melakukan intervensi kedalam dunia pendidikan dengan mewajibkan Bahasa Jepang menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Realitas seperti inilah yang dilalui oleh Syekh Haji Zainuddin Hamidy dalam membina Ma’had Islamy. Intervensi Jepang tersebut mengarah kepada penggerogotan akidah. Ini sebenamya sangat disadari oleh Syekh Haji Zainuddin Hamidy. Namun Syekh Haji Zainuddin Hamidy tidak ingin mengambil jafan konfrontatif yang bersifat frontal. Untuk itu, dalam berbagai kesempatan beliau selalu mengatakan dan mengingatkan kepada masyarakat terutama pelajar¬peiajar Ma’had Islamy bahwa pelaksanaan seikere’ dan menyanyikan lagu kimigayo agar kita lakukan ini bukanlah dari hati clan keyakinan kita tetapi kita lakukan karena terpaksa.

Kewibawaannya dan perhatiannya serta daya improvisasi nya dalam mengembangkan lembaga pendidikan Ma’had Islamy terus terlihat hingga Indonesia merdeka. Hal ini terlihat ketika tahun 1950 Syekh Haji Zainuddin Hamidy membuka Sekolah Menengah Pertama Islam yang disingkat dengan SMPI. Kurikulum SMPI disesuaikan dengan kurikulum sekolah-sekolah umum yang kemudian ditambah dengan pendidikan agama. Dengan didirikannya SMPI ini mempertihatkan bahwa Syekh Haji Zainuddin Hamidy mampu membaca clan merespon zaman”. Ma’had Islamy – bagaimanapun bentuk, corak, pola maupun dinamikanya — telah menjadi “pemain sejarah” inteiektual Minangkabau. Lembaga ini telah mampu menjadi kontributor potensial dalam melahirkan intelektual-intelektual terkemuka Minangkabau. Sekarang ini banyak dikenai tokoh-tokoh 5umatera Barat yang merupakan “buah tangan” dan anak didik dari Syekh Haji Zainuddin Hamidy. Tokoh-tokoh Sumatera Barat tersebut diantaranya C. Israr (intelektual Minang kabau), Arius Syaikhi (pakar ilmu falak Indonesia), Prof.DR.H. Mansur Malik (mantan Ketua MUI Sumatera Barat mantan Rektor IAIN Imam Bonjol Padang) dan lain-lain. Walaupun tidak semaju dan selegendaris Ma’had Islamy ketika dibawah pimpinan Syekh Haji Zainuddin Hamidy, tapi Ma’had Islamy masih eksis hingga sekarang. Ma’had Islamy sekarang dipimpin oleh salah seorang putra Syekh Haji Zainuddin Hamidy, Ramzi Zainuddin.

Syekh Haji Zainuddin Hamidy pada masa sebelum kemerdekaan, termasuk kedalam “kelompok lima”. Sebuah kelompok pergerakan yang cukup legendaris di Payakumbuh. Kelompok ini merupakan sebuah kelompok intelektual yang selalu mendiskusikan perkembangan-perkembangan dan mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk kemerdekaan Indonesia. Selain Syekh Haji Zainuddin Hamidy, kelompok lima ini terdiri tokoh-tokoh terkemuka Payakumbuh pada waktu itu, yaitu : Fakhruddin HS. Datuk Majo Indo, Arisun St. Alamsyah, Haji Nasharuddin Thaha dan Haji Darwis Taram Dt. Tumanggung. Setelah kemerdekaan, Syekh Haji Zainuddin Hamidy dipercaya menjadi Ketua Komite Nasional (KNI) Kabupaten 50 Kota. Bersama-sama dengan tokoh-tokoh masyarakat Payakumbuh dan sekitarnya, mereka terjun ketengah-tengah masyarakat untuk melakukan penyadaran terhadap esensi kemerdekaan serta mempertahankan kemerdekaan itu sendiri. Dengan semangat yang menggelora, Syekh Haji Zainuddin Hamidy menyediakan gedung Ma’had Islamy sebagai pusat pertemuan para tokoh Payakumbuh clan juga sebagai tempat iatihan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) serta laskar-laskar perjuangan. Disamping itu, Syekh Haji Zainuddin Hamidy juga giat turun ke berbagai daerah untuk mengumpulkan dana dalam rangka membeli pesawat terbang yang kemudian dikenal dengan “Dana Emas Perjuangan”. Pada saat terjadinya ketegangan antara daerah dengan pemerintah pusat, Syekh Haji Zainuddin Hamidy menjadi tokoh kunci dalam proses penyelesaian konflik tersebut. Beliau diutus ke Jakarta untuk berunding dengan Presiden Soekamo sebagai utusan dari Sumatera Tengah bersama dengan beberapa orang teman-temannya. Dalam partai politik, Syekh Haji Zainuddin Hamidy juga aktif. Beliau pemah menjabat Ketua Masyumi Kabupaten 50 Kota. Di partai politik yang dibidani oleh Muhammad Natsir inilah, Syekh Haji Zainuddin Hamidy mencurahkan secara maksimal kontribusi politiknya sampai beliau wafat pada tahun 1957.

Meninggalnya Syekh Haji Zainuddin Hamidy membuat Sumatera Barat berkabung. Masyarakat, khususnya masyarakat Payakumbuh merasa kehilangan tokoh yang seluruh hidupnya didedikasikannya untuk kemajuan pendidikan dan kemashlahatan ummat Islam Sumatera Barat. Kehilangan masyarakat Sumatera Barat, khususnya Payakumbuh terlihat pada prosesi penguburan jenazah beliau. Menurut Arius Syaikhi, belum pernah terjadi di-Payakumbuh begitu banyak orang mengantarkan jenazah ke pekuburan selain ketika Syekh Haji Zainuddin Hamidy diantarkan ke tempat peristirahatannya terakhir. Ribuan masyarakat Payakumbuh mengiringi jenazah salah seorang putra terbaik Minangkabau ini. Beberapa karya tulisnya, antara lain : Terjemahan a!-Quranul Karim, merupakan tafsir al-Quran pertama di Indonesia yang dikarangnya bersama-sama dengan Fakhruddin HS. Kemudian, Terjemahan Shahih Bukhari, Beliau karang bersama dengan Darwis Z. dan Fakhruddin HS., Terjemahan Hadits Arba’in dan Musthala’ah Hadits.

(c) Tim Peneliti FIBA IAIN Padang



Revolusioner dari Alam Permai Minangkabau

Judul Asli: Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau, kami sesuaikan dengan maksud asli dari tulisan, dikarenakan kesan negatif terhadap pemilihan judul oleh sumber aslinya.

Sumber:http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127965.id.html

Zulhasril Nasir
# Guru Besar Komunikasi UI dan penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau (Ombak, 2007)

BERDIRI di tempat tinggi, menadahkan kedua tangannya, Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, berseru, ”Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Harry Poeze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu.

Adegan itu terjadi di Pandan Gadang, tempat lahir Ibrahim Datuk Tan Malaka, 32 kilometer dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Kedua peneliti itu baru usai meresmikan ”Rumah Tan Malaka: Museum dan Pustaka”, pada 22 Februari 2008. Nagari Pandan Gadang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit bukit dan sawah hijau membentang, kicau burung berlompatan di buah-buah ranum.

Nagari memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk menjadi siapa saja. Tiada lapisan sosial. Yang ada hanya fungsi sosial. Pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Lelaki dan perempuan bicara dalam adat yang sama. Tan Malaka beruntung menjadi anak seorang pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah lebih maju dari warga lain.

Kesempatan yang diperoleh di Sekolah Rajo, Bukittinggi, tidak lepas dari kecerdasan sebagaimana yang dikatakan guru Belandanya, Horensma, di sekolah guru (Kweekschool) itu, ”Rambutnya hitam-biru yang bagus sekali, bermata hitam kelam seolah-olah memancarkan sesuatu.” Berkat gurunya ini juga Tan Malaka kemudian sekolah ke Negeri Belanda, di usia 17 tahun. Di negeri penjajah itu, Tan Malaka menyerap ideologi yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayat.

Nagari tidak tunduk kepada pemerintah pusat. Nagari diatur oleh tiga tungku sejarangan: kepala adat, ulama, dan cerdik pandai. Segala aspek pemerintahan Nagari, persoalan dan kemajuan masyarakat, diselesaikan melalui musyawarah oleh ketiga unsur tadi di balairung. Kedaulatan rakyat terwujud pada pemerintahan Nagari.

Pemerintahan pusat (Raja) tidak memiliki kewenangan ikut campur. Masing-masing Nagari mempunyai kedaulatan yang sama, tanpa hubungan struktural. Ketika Tan Malaka kesulitan uang di Negeri Belanda, sanak-kaumnyalah yang berpatungan mengirimkan dana (Angkoefonds). Tan Malaka menganggapnya sebagai utang, bukan sumbangan.

Tan Malaka mendahului sekolah ke Negeri Belanda daripada Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zaharin Zain, Abdul Muis, dan Abdul Rivai. Negeri Belandalah, sebenarnya, yang membentuk wataknya: membaca, belajar, dan menderita. Dia menutupi kekurangan uang dengan mengajar bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan sekolah, dan berjuang melawan sakit bronkitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat pada musim dingin.

Alam Minangkabau yang subur permai dan bebas tidaklah lengkap membekali anak negerinya tanpa mengaji dan pencak silat. Mengaji dan silat adalah pembentuk kepribadian dan kepercayaan diri: tak kayu jenjang dikeping; musuh indak dicari bersua pantang dielakkan; induk cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu.

Suatu ketika Tan Malaka mencalonkan diri untuk Tweede Kamer (parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan. Orang sekarang mungkin tidak dapat membayangkan, dalam keadaan serba terbatas Tan Malaka melanglang buana membentuk dan membangun ideologi dalam perjalanan panjang dari Negeri Belanda, Jerman, Rusia, kemudian naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga Wladiwostok di Timur, terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Kanton, Bangkok, Singapura, Semenanjung Malaya, dan Burma.

Di kota-kota itu, sembari membangun kekuatan antipenjajahan, ia melahirkan percikan pemikiran melalui buku, brosur, di antara bayang-bayang intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda. Sepuluh tahun pada akhir kehidupannya benar-benar dia sumbangkan untuk tanah air, membangun kekuatan perlawanan rakyat melawan Jepang dan Belanda, meskipun berakhir di ujung peluru bangsa yang diperjuangkannya. Bukankah itu suatu kedigdayaan yang tidak dimiliki oleh semua orang?

Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam (Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja, Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim.

Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Karena itulah Pan-Islamisme harus membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan sekolah sekuler Kweekschool di Ford de Kock (Bukittingggi).

Penyebab utama tumbuhnya cikal-bakal pergerakan modern kaum muda di Minangkabau adalah dibangunnya Sekolah Guru di Bukittinggi, sebagai akibat politik etis Belanda pada awal abad ke-20. Penyebab lainnya ialah kembalinya pelajar-pelajar Minang berpendidikan Kairo dan Mekah, yang mendorong berdirinya lembaga pendidikan agama secara swadaya dan berakibat tumbuhnya pemikiran baru di kalangan generasi muda Islam.

Pengaruhnya sangat terasa pada dua gelombang kedatangan alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah, Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob.

Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol. Modernisasi pemikiran Islam (ada yang menyebutnya sekularisme) yang dikemukakan Muhammad Abduh dan Kemal Ataturk lebih melekat pada generasi terakhir pada awal abad ke-20 itu. Pada masa yang bersamaan berkembang pula di Jawa dan Sumatera gagasan antipenjajahan.

Kemajuan pendidikan di Minangkabau—yang disebut sebagai salah satu suku yang tertinggi tingkat pendidikannya di Hindia Belanda (Kahin 2005, Poeze 1988, dan Naim 1979)—sebagai faktor kuatnya gerakan antipenjajahan dibanding daerah lain. Kahin menulis, ”Orang Minangkabau sebagai orang-orang yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik yang dari Jawa maupun dari Eropa.” Kaum pergerakan kiri di Sumatera Barat selalu mengingatkan Perang Paderi (1820-1837) dan Perang Belasting 1908 (yang menentang pemberlakuan pajak langsung kepada rakyat), untuk menumbuhkan rasa tidak puas kepada pemerintah Hindia Belanda.

Gerakan kiri—diterjemahkan sebagai perlawanan terhadap kuasa, perlawanan rakyat, radikalisme, antikemapanan, komunisme, antipenjajahan—bukan hanya milik Tan Malaka. Ia menjadi subur dan berkembang di Minangkabau karena masyarakatnya menganut paham kesetaraan, kesamaan derajat, hak dan tanggung jawab (egaliter) sebagai wujud demokrasi Nagari.

Banyak tokoh nasional yang lahir dari alam Minangkabau, sejak prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan, terutama hingga era demokrasi liberal (1959). Pada penelitian saya yang bertajuk Tan Malaka, Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura (Ombak, 2007), dapat dibuktikan bahwa pejuang kemerdekaan Malaya (Malaysia) sebagian besar (21 orang) adalah keturunan dan pendatang dari Minangkabau.

Mereka pendiri dan pimpinan Partai Kesatuan Melayu Malaya dan Partai Komunis Malaya. Di antaranya ialah Ibrahim Jaacob, Ahmad Boestaman, Abdullah C.D., Rashid Maidin, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek. Mereka bukan berada di UMNO, partai kanan. Dari segala kepeloporan tersebut para pejuang kiri Minangkabau dapat dikategorikan beraliran: Islam-komunis, Islam-nasionalis, sosialis-demokrat, nasionalis kiri, dan komunis.

Kecenderungan gerakan kiri kaum muda Minangkabau tidak lain karena pembekalan alam Minangkabau itu sendiri: demokrasi, egaliter, kemajuan pendidikan, dan aktualisasi merantau. Roger Tol atau Harry Poeze mungkin mendapat jawaban—negeri yang subur dan permai itu sebenarnya melahirkan pemimpin rakyat.



Pokok-pokok Pikiran Islam & Intelektual Minangkabau

Oleh Prof. DR. H. Amir Syarifuddin

Belakangan ini keberadaan intelektual atau secara khusus ulama Minangkabau sering diperkatakan orang Minangkabau sendiri maupun oleh orang luar Minangkabau.

Pembicaraan ini muncul karena selama ini Minangkabau dikenal orang sebagai gudangnya ulama dan pemasok ulama terbesar untuk daerah daerah lainnya. Suara ulama Minangkabau bersipongang ke seantero tanah air kita.
Sipongang seperti pada waktu ini dirasakan tidak begitu lagi. Sebenarnya membicara “Ulama Minangkabau” pada waktu ini tidak relevan lagi, karena telah begitu meluasnya wawasan kita. Batas antara Minang dengan yang bukan Minang sudah mulai kabur, setidaknya dalam pembicaraan.

Dalam kesempatan ini perlu juga diperkatakan keberadaan intelektual Minangkabau sekedar untuk memberikan kepuasan perasaan kita bahwa keberadaan ulama dan intelektual Minang tidak perlu lagi diperkatakan, bahasan dibawah ini mengarah kepada perkembangan lembaga pendidikan agama yang merupakan lembaga penghasil ulama.
Bahasan berupa garis besar.

TRADISI KEILMUAN DI LINGKUNGAN MINANGKABAU
Menuntut ilmu merupakan kewajiban agama dalam Islam, sebagaimana dapat dirujuk dari sumber pokok ajarannya yaitu Qur’an dan Sunnah Nabi. Oleh karena itulah adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam di lingkungan adat Minangkabau hampir sama tuanya dengan masuk dan tersiarnya Islam diwilayah Minangkabau.

Walaupun pada masa perkembangan ilmu pengetahuan Islam abad III dan IV Hijriyah ilmu agama mencakup ilmu-ilmu uluhiyah (atau disebut waktu ini dengan ilmu agama) dan ilmu kauniyah (disebut sekarang dengan ilmu umum), namun yang masuk dan berkembang di wilayah Minangkabau untuk abad pertama hanyalah ilmu uluhiyah.
Mungkin disebabkan pada waktu masuknya Islam di Minangkabau ilmu-ilmu uluhiyah itulah yang amat dipentingkan orang.

Lembaga pendidikan agama pertama diwilayah adat Minangkabau adalah “Surau”.

Karakteristik dari surau adalah suatu tempat pendidikan dan sekaligus tempat tinggal murid dan guru, sehingga memungkinkan keberadaan murid bersama guru dalam waktu relatif lebih panjang, dalam waktu masa terjadi transfer ilmu dan pengalaman guru kepada murid. Dengan cara ini regenerasi ulama berlangsung secara alamiyah.
Surau dikenal sebagai lembaga pendidikan agama pertama diwilayah Minangkabau adalah surau Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman didirikan sekitar abad ke 17.

Surau ini didatangi oleh murid-murid dari berbagai pelosok Minangkabau, yang pada gilirannya setelah murid itu kembali ke negerinya juga mendirikan surau pula.

Selanjutnya bermunculan surau-surau di wilayah ini nama surau ini menggunakan nama ulama yang mengasuhnya antara lain :
• Surau Tuanku Mansiangan Nan Tuo di Paninjauan
• Surau Tuanku Rao
• Surau Tuanku Kecil di Koto Gadang
• Surau Tuanku di Talang
• Surau Tuanku di Sumanik
• Surau Tuanku di Koto Baru
• Surau Tuanku Nan Tuo di Ampek Angkek
• Surau Tuanku di Kamang
• Surau Tuanku Pakih Sagir

Pada dasarnya di surau surau dipelajari menulis dan membaca Al Qur’an dan ilmu ilmu agama yang secara garis besarnya terdiri ilmu akidah, ilmu syari’ah, dan ilmu akhlak.

Karena menurut adat Minangkabau anak-anak muda menjelang kawin tinggal disurau, dengan sendirinya semua orang Minangkabau masa itu telah pandai membaca al Qur’an berikut menulisnya dan secara dasar mengetahui ilmu agama dalam bentuk alamiyah dan pengetahuan.

Dengan demikian lembaga surau telah membebaskan orang Minangkabau dari buta aksara dan telah berhasil mencetak ulama.

Tiga orang tokoh ulama yang menyiarkan agama di Sulawesi Selatan dan popular dikalangan umat Islam Sulawesi Selatan sampai waktu ini yaitu :
• Datuak Ribandang
• Datuak Patimang
• Datuak Ritiro

Adalah ulama yang dihasilkan oleh pendidikan surau di Minangkabau.

Akhir abad ke 18 surau surau mendapat perkembangan baru dengan kembalinya tiga orang ulama Minangkabau dari Timur Tengah yaitu :
• Haji Miskin
• Haji Piobang
• Haji Sumanik

Pengajian surau yang sebelumnya lebih banyak mengarah kepada tasawuf mengarah akidah dan syari’ah yang lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Hambali.

Kelompok ini dengan ajaran barunya disebut golongan muda sedangkan kelompok ulama sebelumnya disebut golongan tua.

Pada masa berikutnya surau berkembang pesat dimana pada akhir abad ke 19 terkenal nama beberapa surau di pelosok Minangkabau.

Pengasuh yang selama ini disebut tuanku , pada waktu belakangan bernama “Syekh” dan nama suraupun dinisbahkan kepada nama pengasuhnya, antara lain yaitu :
• Surau Syekh Abdulah Khatib Ladang laweh
• Surau Syekh Muhammad Jamil Tungkar
• Surau Syekh Tuanku Kolok M.Ali Di Sungayang
• Surau Syekh Abdul Manan Padang Gantiang
• Surau Syekh Muhammad Soleh Padang Kandis
• Surau Syekh Abdulah Padang Japang
• Surau Syekh Ahmad alang Laweh
• Surau syekh Amarullah Maninjau

Disamping pendidikan agama berkembang di Minangkabau, Pemerintah Belanda memasukkan pendidikan barat diwilayah ini pertengahan abad ke !9.

Materi dari pendidikan ini sebenarnya adalah salah satu sisi pendidikan yang berkembang pada mulanya dengan nama ilmu kauniyah, yang tidak ikut masuk dalam penyiaran ilmu diwilayah Minangkabau.

Pendidikan barat itu diikuti secara terbatas oleh beberapa orang yang duduk di kota dan sekitarnya.

Motivasi dari pemerintahan Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum pada mulanya adalah untuk menghasilkan pegawai pegawai dikantor kantor Belanda dengan gaji murah dan diarahkan untuk kepentingan Belanda.

Materi dari pelajaran sedapat mungkin menghindarkan murid-murid berfikir bebas yang akan membahayakan kedudukan penjajahannya. Sebaliknya disurau-surau diberikan kebebasan beberapa materi ilmu untuk mendidik murid berpikir nasional dan menumbuhkan sikap perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap membatasi gerakannya.

Dari dua tipe lembaga Pendidikan yang berkembang diwilayah Minangkabau itu dalam hubungannya dengan kekuasaan penjajahan, pada waktu itu alumni surau lebih militan.

Keduanya berjalan dengan kompetisi yang sehat dan keduanya terdiri dari dari orang Minang yang taat beragama.
Memasuki abad yang ke 20 Minangkabau menghasilkan “ulama” yang memiliki keahlian ilmu agama dan cendikiawan Muslim yaitu orang islam yang mempunyai keahlian ilmu umum dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai dengan waktunya.

Kedua kelompok ini merupakan cikal bakal bagi intelektual Minangkabau, meskipun pemerintahan Belanda memisahkan intelektual minangkabau secara dikotomis menjadi ulama dan intelektual umum.

Awal abad 20 beberapa orang ulama Minangkabau kembali dari Mekkah setelah menamatkan pendidikan Syekh Ahmad Khatib yang juga putra Minang. Setelah menetap dikampung masing-masing mendirikan surau surau dengan paham barunya yang popular diantaranya adalah :
• Syekh Muhammad Taib Umar, Sungayang
• Syekh Abdullah Ahmad, Padang
• Syekh Abdul Karim Amrullah, Maninjau kemudian di Padang Panjang
• Syekh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi
• Syekh Sulaiman Ar Rasuli, Canduang Agam
• Syekh Ibrahim Musa, Parabek Agam
• Syekh Muhammad Jami Jao, Padang Panjang
• Syekh Abbas Abdullah, Padang Japang Payakumbuah
• Syekh Abdul Wahid, tabek Gadang

Kemudian terjadi pembaharuan pendidikan agama di Minangkabau. Ada dua bentuk pembaharuan yang berlaku dalam pendidikan agama, pertama memasuki materi pelajaran yang biasa disebut ilmu umum kedalam pendidikan agama, kedua merobah system pendidikan surau jadi madrasah atau sekolah yang mempunyai kelas dan bertingkat.

Diantara tokoh pembaharu itu muncul nama Dr. H. Abdullah Ahmad dengan “Adabiyah”nya dan El Yunusy bersaudara dengan “Diniyah”nya.

Pembaharuan menjadi madrasah ini disatu pihak mempercepat pencapaian suatu tingkat ilmu pengetahuan dan memperjelas batasan batasannya.

Dari segi lain memasukkan pelajaran umum kedalam kurikulum pendidikan agama berarti mengurangi volume pelajaran agama.

Meskipun terjadi pengurangan, tetapi karena masa itu madrasah masih berada dalam wilayah dan lingkungan surau, kekurangan pelajaran agama masih dapat disempurnakan diluar kelas, sehingga secara global materi pelajaran agama tidak berkurang dari masa lalu.

Suatu kemajuan pada masa pembaharuan ini adalah munculnya media publikasi di madrasah-madrasah dalam bentuk majalah yang mempublikasikan karya ilmiah dan pendapat yang dimunculkan oleh ulama yang ada pada waktu itu.
Diantara majalah yang popular diwaktu itu adalah :
• Al-Munir di Padang Panjang
• Al-Basyir di Sungayang
• Al-Bayan di Parabek
• Al-Iman di Padang Panjang
• Al-Ittiqan di Maninjau
• Nurul Yaqin di Batusangkar
• Al-Mizan diterbitkan Tarbiyah Islamiyah.

Majalah-majalah itu kelihatannya dijiwai oleh majalah Al-Manar yang popular di Mesir pada waktu itu.

Dengan adanya publikasi itu tokoh ulama yang ada di madrasah yang menerbitkan majalah itu dan dimadrasah sekitarnya diketahui oleh orang banyak dan tersebar di Minangkabau, yang menyebabkan berdatangannya murid-murid dari luar daerah untuk belajar di madrasah-madrasah yang ada di wilayah Minangkabau.

Pada waktu bersamaan ketokohan ulama semakin menonjol dengan tampilnya ulama itu sebagai tokoh politik yang membimbing umat Islam dalam menghadapi penjajahan Belanda.

Kalau kita gunakan istilah “pemimpin formal” dan “pemimpin non formal” yang berlaku sekarang, umat pada masa itu tidak dapat menggantungkan harapannya kepada pemimpin formal, karena jabatan pemimpin formal pada waktu itu diduduki oleh orang Belanda dan melayu yang berjiwa Belanda yang jelas jelas berhadap hadapan dengan umat pada waktu itu.

Oleh karena itu tumpuan umat terarah kepada ulama sebagai pemimpin non formal yang membimbing kehidupan keagamaannya dan kehidupan dunianya.

Suatu keuntungan masuknya pelajaran umum ke madrasah adalah semakin mengecilnya arti perbedaan dikotomis antara ulama atau cendikiawan agama dengan cendikiawan umum, bahkan dalam diri seorang dapat bertemu dua bidang yang kelihatannya berbeda itu, umpamanya pada diri Haji Agus Salim dan M. Natsir.

Sesudah perang dunia II perubahan nilai nilai dalam kehidupan adat semakin terasa. Diantaranya anak muda tidak terbiasa lagi tidur di surau. Fungsi surau sebagai lembaga agama semakin berkurang. Surau hanya tempat ibadah dan pendidikan agama secara formal hanya ada dimadrasah.

Dengan madrasah dalam fungsinya sudah keluar dari lingkungan surau. Kalau dahulu surau dapat disamakan dengan pesantren yang terdapat di Jawa dengan beberapa perbedaannya, maka sesudah perang dunia II tidak ada lagi yang menjalankan fungsi pesantren di Minangkabau.

Sebenarnya perubahan nilai-nilai dan perubahan system pendidikan agama juga berlaku di Jawa dengan bermunculnya madrasah. Tetapi madrasah tidak menggantikan pesantren, bahkan pesantren di Jawa bermunculan dan berkembang dengan pesat sebagaimana berkembangnya madrasah.

Berkembangnya pesantren di Jawa dan tidak berkembangnya pesantren di Minangkabau, mungkin ada hubungannya dengan perbedaan budaya Minang dengan budaya Jawa.

Dengan keluarnya madrasah dari lingkungan surau berarti waktu belajar agama semakin sedikit dan waktu kesempatan tatap muka murid dan guru serta pembimbing agamanya semakin berkurang pula.

Pada periode surau taraf kealiman dapat diperoleh dengan selalu mengikuti pendidikan surau kemana saja pelajaran itu yang diajarkan semata-mata pelajaran agama.

Pada masa yang kedua yaitu madrasah dan surau, tingkat kealiman juga diperoleh dengan tamatnya pendidikan di madrasah, karena meskipun pelajaran agama semakin mengecil di madrasah tetapi masih punya kesempatan menyempurnakan di lingkungan surau, kekurangan dapat dilengkapi.

Bila kita ukur tingkat pendidikan dan madrasah masa pertama dengan tingkat pendidikan waktu itu, pendidikan surau dan madrasah paling tinggi dapat ditempatkan pada tingkat “Aliyah” mengingat jarak waktu belajarnya.

Meskipun demikian dalam tingkat ini derajat kealiman sudah dapat diperoleh dan sudah berhak menggunakan sebutan “ulama”.

Pada waktu belakangan ketika madrasah sudah keluar dari lingkungan pendidikan surau, kadar ilmu yang dicapai dengan sendirinya tidak sempurna ilmu yang dicapai pada periode tingkat pertama dan kedua meskipun sudah dinamakan tingkat aliyah. Hal ini berarti tamatan aliyah waktu ini belum memperoleh derajat kealiman sebagaimana diperoleh oleh tingkat yang sama sebelumnya.

Syukur Alhamdulillah belakangan muncul lembaga pendidikan agama sebagai lanjutan dari tingkat aliyah yang pada waktu ini, yaitu perguruan tinggi agama baik negri maupun swasta yang bertebaran diseluruh pelosok wilayah Minangkabau atau Sumatera Barat. Bila tamatan aliyah belum mencapai derajat kealiman, maka dengan adanya perguruan tinggi derajat kealiman dapat diperoleh.

Dengan demikian pencapaian kealiman dalam agama dapat berlangsung sebagaimana berlaku sebelumnya, meskipun waktu yang digunankan untuk pencapaiannya lebih panjang dari sebelumnya.

Bila kita bandingkan orang orang ynag telah mendapat derajat kealiman yang dihasilkan pendidikan surau dan derajat kealiman yang dihasilkan oleh madrasah sebelum perang dunia ke II, perguruan tinggi agama, kemudian dihubungkan pula dengan jumlah umat Islam pada waktunya, maka secara prosentase kuantitas yang mencapai derajat kealiman waktu ini, kalau tidak dikatakan lebih, setidaknya tidak akan berkurang dari waktu sebelumnya.

Kalau yang dinamakan “ulama” adalah orang yang telah mencapai derajat kealiman dalam ilmu agama, maka tidak tepat kalau dikatakan ulama di wilayah Minangkabau berkurang apalagi dikatakan “langka”.

Tetapi kalau kita menggunakan kriteria lama dalam menamakan ulama yaitu tokoh agama yang popular ditengah masyarakat sebagaimana kita kenal selama ini, memang dirasakan kuantitasnya berkurang.

Selanjutnya timbul pertanyaan apakah memang jumlahnya berkurang secara kenyataan atau kita tidak menerima informasi tentang jumlahnya. Dan kemungkinan itu lihat dibawah ini:

Pertama kemungkinan kurang jumlahnya. Kalau kita sepakati arti ulama(sebagai yang dipahami selama ini) memenuhi tiga persyaratan, yaitu keilmuan, pengamalan dan kepribadian, maka orang secara kumulatif memiliki tiga criteria itu memang tidak banyak lagi jumlahnya.

Rata-rata setiap tamatan perguruan tinggi agama telah memenuhi syarat keilmuan. Tentang syarat pengamalan tergantung kepada pribadi dan tidak selalu menjadi tanggung jawab perguruan tinggi dan juga tidak oleh lingkungan masyarakatnya, juga ditentukan oleh keadaan masyarakat yang mendambakan kepribadiannya.

Rasanya ketergantungan umat akan keberadaan ulama sebagai tokoh pada waktu ini, tidak sebesar ketergantungan umat akan ketokohon ulama pada waktu dulu, dengan telah tampilnya pimpinan formal pada kalangan mereka sendiri yang akan membimbing kehidupan kemasyarakatannya.
Hal ini ketokohan ulama mulai berubah dengan terjadinya perubahan perubahan nilai. Usaha mengembalikan ketokohan ulama waktu dulu untuk masa sekarang ini dan disini ini tidak relevan lagi.
Kedua yaitu kurangnya informasi tentang keberadaan ulama itu, kemungkinan kedua ini tidak tertutup adanya, mungkin disebabkan kurangnya publikasi, mungkin kurang penampilan ulama di forum forum yang lebih luas dan mungkin pula karena keengganan ulama untuk menampilkan diri dan beberapa kemungkinan lain.
Dengan memperhatikan dua kemungkinan itu, rasanya pada waktu ini tidak perlu kita terlalu mengharapkan keberadaan tokoh ulama dengan kriteria yang utuh sebagaimana yang berlaku sebelumnya.

Dengan telah terjadinya perubahan nilai kriteria ulamapun tidak perlu sama dengan yang dulu. Kita perlu bersyukur bahwa pada waktu ini ilmuan agama yang telah mencapai derajat kealiman itu sudah cukup banyak, mutunyapun semakin meningkat, karenanya tidak perlu kita kawatirkan akan habis.

Dari mereka kita harapkan usaha peningkatan pribadi untuk memenuhi kriteria lainnya sebagai syarat keutamaan.
Disamping itu wilayah Minangkabau terdapat pula sejumlah ilmuan non keislaman yang mempunyai perhatian terhadap Islam dan penyebarannya, serta tertarik untuk mendalaminya, disebut juga cendikiawan muslim.
# Artikel ini disampaikan penulis dalam seminar sehari Dinamika Islam, Adat dan Intelektual Minangkabau yang diselenggarakan Keluarga mahasiswa Minangkabau Komisariat Istana Jaya Jakarta.

# Penulis adalah Mantan Rektor IAIN Padang
Sumber BPS No. 35 Oktober 1990



Islam & Minang Culture

Sumber Asli: http://ws-tourism.com/islam-minang-culture.htm

At the time of Adityawarman, a Muslim Kingdom – Samudra Pasai – was already firmly established in the northern part of Sumatra.  The famous Arab traveler of the 14th century, Ibn Batutah, reported the vigorous Islamic life in the country.  It was, perhaps, because of the expansion of Islam that Adityawarman felt it necessary to erect Amoghapasa, a demonic bhairava, but apparently this action failed to mythically threaten the Islamic drive into Minangkabau.

In his report on the west coast of Sumatra, Tome’ Pires the early 16th century Portuguese writer, stated that Minangkabau had three kings.  One of them has embraced Islam, the “Moorish” religion.  Of course, Minangkabau tradition recognizes the Kings of the Three Seats ( Tigo Selo ), viz,  the king of adat, the king of religion, and the king of the world.  Who could have been the first to be Islamized?

Thomas Dias, the first European who ever set foot in the Minangkabau heartland, who resided in Sumpur Kudus.  He was the king of religion.  Since the rather elaborate Islamic character of the royal reception, it can be assumed that Islam had penetrated the region at a much earlier period.

Most probably Islam came to Minangkabau through two gateways : from the east through Malaka, the great 15th century emporium of Southeast Asia, or from the west through Pariaman and Tiku, two important ports under the domination of the Acehnese empire.  Later the Islamization of Minangkabau in its turn gave an impetus to the continuous spread of the religion in the Malay Peninsula and the world beyond, including the southern Philipines and South Sulawesi.

Pepper might have been the driving force behind the expansion of Acehnese political dominance along the west coast of Sumatera.  But it was tradition of religious schools that made a lasting impact of Acehnese influence which gave shape to the history of Minangkabau.

In the 17th century Syekh Burhanuddin, a student of the renowed Syekh Abdurrauf of Singkil (known in Acehnese history as Teungku Di Kuala), established the first religious centre in Ulakan near Pariaman.  It was from this place that a network if religious schools began to expand into the interior.  Hence it is said in a proverb “ Adat descended ( to the coast ), while religion ascended ( to the highland)”.   With the establishment of this network of religious centres the path toward a social and Cultural Revolution was paved.

With the change of the economic system in Minangkabau as a result of the opening of the west coast to Western trade, this network became more receptive to the new religious ideas that emerged in the Middle East.   In 1803 Haji Miskin, Haji Piobang and Haji Sumanik returned from Mekah which was then already under the influence of the Wahabi movement.  They radicalized the incipient reform movement in the religious centres by harshly condemning the old practices which they considered to be unlawful innovations (bid’ah ).

Thus a religiously motivated civil war broke out, known in history as the Padri War.  In the process the Minangkabau monarchy, the symbol of unity, was destroyed.  In 1821 the Dutch intervened and before long the war was transformed into a struggle for independence.   In 1837 the last important fortress of Bonjol was captured, and the Minangkabau fell into the colonial domination of the Dutch.

But at the end of the Padri War, Minangkabau acquired a new definition of itself.  It is a world whose “adat is based on religion, ang religion is based on the Holybook”.  The leadership is conceptualized as consisting of three elements  : the  Ninik Mamak ( adat dignitaries ) , theAlim Ulama ( religious leaders ) , and the Cerdik Pandai ( intellectuals ) .

The Padri movement not only shaped Minangkabau religious life but also gave impetus to the rapid development of religious education.  Already at the end of the 19th century Syekh Ahmad Khatib was appointed as a Grand Imam of the Shafi’ite School ( mazhab) at the Masjidil Haram in Mekah.   A prolife writer Syekh Ahmad Khatib wrote a number of treaties on fiqh ( law ) ,tharekat ( mystic school ) , and social matters.

Famous for his criticism on the prevailing practices of the tharekat shools and the Minangkabau matrilineal inheritance system, he sowed the seeds of the orthodox movement in the Malay world.  This movement was particularly launched by his former students who on their return from the Holy Land became prominent ulama in their own right.  They were, among others, Syekh Muhammad Jamil Jambek,  Dr Abdul Karim Amrullah, Dr Abdullah Ahmad, Syekh Thaib Sungayang –  the four pioneers of the modernist movement in Minangkabau, and Syekh Abbas Padang Japang , a younger member of the group.

His other students were Syekh Jamil Jaho and Syekh Muhammad Zein Simabur, both traditionalist leaders of the Kaum Tua ulama.  His most prominent student in Java was K.H Ahmad Dahlan, the founder of the Islamic modernist organization, the Muhammadiyah.

Nowadays the province of West Sumatra has 3517 mosques, 1662 mushalla, and 9000langgar.   Mosques are built in various style, from the traditional one such as the oldest edifice in Limo Kaum and the most modern one in Padang Siminyak, Pagaruyung.



Syekh Abbas Abdullah (wafat : 1376 H / 1957M)

Sumber: 100 Riwayat Hidup Ulama Minangkabau, Pemda Sumbar

Syekh Abbas Abdullah dilahirkan di nagari yang bernama Padang Japang, sebuah nagari di kenagarian kecamatan Guguk Kabupaten 50 Kota sekarang ini. Dalam bidang pendidikan, nagari ini adalah nagari yang termasuk paling dahulu mempunyai tradisi edukasi dibandingkan daerah lain pada masanya. Hal ini dapat dibuktikan dengan terdapatnya di daerah ini dua buah institusi pendidikan Islam yang termasuk tertua di Sumatera Barat yaitu surau Syekh Abdullah, ayah dari Syekh Abbas. Kemudian yang satu lagi, surau Syekh Muhammad Shaleh, ayah dari Syekh Abdul Wahid. Surau Syekh Abdullah didirikan di Padang Japang pada tahun 1854, tidak lama setelah berakhirnya Perang Paderi. Sedangkan surau Syekh Muhammad Shaleh pada mulanya didirikan di Padang Kandis, kemudian dipindahkan ke Tabek Gadang Padang Japang pada tahun 1906. Kedua institusi pendidikan (baca: tradisional) Islam ini telah banyak melahirkan cerdik pandai dan tersebar di berbagai daerah di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat.

Syekh Abbas Abdullah secara genealogis berasal dari kalangan ulama. Dalam dirinya terdapat “darah biru” ulama-ulama terkemuka di daerahnya pada zaman mereka masing-masing. Dari pihak ayahnya terdapat tiga orang Syekh yaitu Syekh Muhammad Shaleh (Syekh Munggu), Syekh Abdul Wahid dan ayah Syekh Abbas Abdullah sendiri yakni Syekh Abdullah. Syekh Muhammad Shaleh hidup dipertengahan abad ke-19 Masehi yang berasal dari suku Tanjung nagari Padang Kandis. Beliau adalah ulama tasawuf yang menganut aliran tarekat naqsyabandiah. Tarekat ini dipelajarinya langsung dari Mekkah. Ia merupakan kemenakan persukuan ayah Syekh Abbas Abdullah. Sedangkan Syekh Abdullah Wahid Shaleh adalah anak dari Syekh Muhammad Shaleh. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti, tetapi tahun wafatnya diperkirakan pada tahun 1369 H. Beliau mendapat pendidikan pada mulanya dari ayahnya Syekh Muhammad Shaleh, setelah itu dengan Syekh Muhammad Saad Mungka, kemudian melanjutkan kepada Syekh Muhammad Thaib Umar di Sungayang. Setelah menamatkan pelajarannya dengan Syekh Muhammad Thaib Umar, ia membuka pesantren di Tabek Gadang Padang Japang pada tahun 1906. Di waktu menunaikan ibadah haji di Mekkah, beliau berkesempatan tinggal di sana untuk belajar dengan Syekh Said Yamany dan Syekh Said al-Malikiy. Setelah kembali ke kampung halamannya, beliau langsung mengajar di tempat semula dan menggabungkannya dengan sekolah yang sealiran yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) pada tahun 1928.

Syekh Abdullah adalah ayah Syekh Abbas Abdullah. Dilahirkan di Padang Japang pada tahun 1830. Bapaknya merupakan mamak (paman) dari ayah Syekh Muhammad Shaleh. Waktu Syekh Abdullah lahir, situasi sosial politik Minangkabau pada waktu itu sedang hangat-hangatnya Perang Paderi. Ia merupakan murid tertua dari Syekh Taram (Beliau surau Durian) dan dari Syekh Kumai serta Tuanku Gadut yang semuanya merupakan ulama-ulama besar Minangkabau pada masanya. Setelah menamatkan pelajarannya, langsung membuka pesantren di Padang Japang pada tahun 1854. Tidak lama setelah itu, beliau pergi menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Pada tahun 1857, beliau kembali ke kampung halamannya dan mengajar kembali di sekolah semula. Diantara murid-muridnya yang kemudian dikenal sebagai ulama terkemuka di daerah mereka masing-masing antara lain adalah Engku Mudo Karuang Sicincin, Engku Sutan Air Tabit, Engku Capuak Air Tiris dan Engku Lima Puluh di Malalo.

Ibu Syekh Abbas Abdullah bernama Seko yang berasal dari nagari Padang Japang. Ibunya bukan berasal dari kalangan ulama, akan tetapi berasal dari keluarga hartawan yang taat beragama. Syekh Abbas Abdullah bersaudara enam orang dari satu ayah dengan tiga orang ibu. Yang tertua bernama Syekh Muhammad Shalih, yang kedua Syekh Mustafa Abdullah dan merupakan saudara seayah seibu Syekh Abbas Abdullah. Sedangkan dari ibunya yang lain terdapat saudaranya yang lain yaitu Syekh Muhammad Said, Sa’adah dan Sa’adud. Dari enam orang tersebut, empat orang menjadi ulama. Dengan memiliki latar belakang keluarga seperti yang diterangkan diatas, telah membuka jalan yang sangat luas bagi Syekh Abbas Abdullah untuk menjadi ulama besar. Apalagi sejak kecil, beliau memang dikondisikan oleh ayahnya untuk kelak menjadi seorang ulama.

Sebagaimana halnya ulama pada masanya, Syekh Abbas Abdullah juga merupakan “orang jemputan”. Istri beliau berjumlah tujuh orang yaitu Kalimah, Lian, Tobik, Soviah, Saliah, Rohana dan seorang lagi di Batuhampar (tidak diketahui namanya). Dari ketujuh orang istrinya tersebut, Syekh Abbas Abdullah dikaruniai 15 orang anak yang diberinya nama Sofia, Zuraidah, Abdul Muis, Fauzi, Naimah, Azhariah, Damsakti, Azhari, Nuraini, Zahriah, Firman, Ismet, Faruq, Farid dan Adliah. Pada umumnya mereka dididik disekolah Syekh Abbas Abdullah kecuali tiga orang yaitu Azhari, Faruq dan Firman. Diantara anaknya yang cukup berhasil dan mengikuti jejak beliau menjadi ulama adalah H. Fauzi Abbas yang melanjutkan memimpin sekolah Darul Funun. Syekh Abbas wafat pada tanggal 17 Juni 1957.

Syekh Abbas Abdullah mulai masuk sekolah pada umur tujuh tahun. Waktu itu, pendidikan dan institusi pendidikan merupakan sesuatu yang langka dan elitis, baik untuk daerah Padang Japang maupun daerah-daerah lain di Sumatera Barat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena pemerintah kolonial Belanda tidak begitu memperhatikan kebutuhan pendidikan rakyat. Sekolah yang ada hanyalah Kweekschool di Bukittinggi dan beberapa sekolah Gubernemen kelas II. Maka kondisi yang minim ini, pendidikan surau merupakan alternatif yang terbaik ketika itu. Di daerah 50 Kota pada masa Syekh Abbas Abdullah ini tidak begitu banyak terdapat institusi pendidikan surau yang cukup baik, diantaranya surau yang terdapat di Batuhampar, Canduang, Sicincin, Mungka, Padang Panjang, Padang Japang dan Pandam Garang Suliki. Oleh ayahnya, Syekh Abbas Abdullah dimasukkan ayahnya ke surau Pandam Garang. Walaupun ayahnya merupakan seorang ulama dan memiliki surau sendiri, namun Syekh Abbas Abdullah bukan belajar di surau yang dipimpin ayahnya tersebut. Hal ini disebabkan karena tuntutan adat istiadat Minangkabau yang berlaku pada waktu itu dimana anak-anak yang telah berumur tujuh tahun ke atas tidak baik tidur bersama dengan keluarganya lagi.

Waktu belajar di Pandan Gadang ini, Syekh Abbas Abdullah termasuk anak yang cerdas dan keras hati dalam mendapatkan pelajaran. Dari gurunya di Pandam Gadang inilah ia mendapat “mutiara kata” yang kelak menentukan jalan hidupnya. Isi mutiara kata tersebut adalah “kalau kamu ingin menjadi orang yang pintar dan berguna nanti, maka pergilah belajar ke negeri Mekkah”. Perkataan inilah yang mendorongnya untuk pergi ke Mekkah selagi umurnya belum pantas menunaikan ibadah haji. Setelah enam tahun belajar di Pandam Gadang, keinginannya untuk pergi ke Mekkah semakin menggebu-gebu. Pada tahun 1896, satu kesempatan berharga terbuka baginya untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Pada waktu itu, mamaknya, Ibrahim akan pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini tidak disia-siakannya. Ia bermohon kepada mamak dan keluarganya untuk diizinkan ikut ke Mekkah. Tetapi mamaknya melarang, sebab umurnya masih kecil dan jalan yang akan dilalui sangat sulit. Tapi melihat keinginan yang demikian besar dan kegigihan Syekh Abbas Abdullah merayu dan memohon mamak serta keluarga, akhirnya Syekh Abbas Abdullah diizinkan berangkat. Tetapi setelah selesai menunaikan ibadah haji, Syekh Abbas Abdullah tidak mau pulang karena ia ingin belajar di Mekkah. Pada mulanya mamaknya melarang, akan tetapi berkat kegigihannya, mamaknya terpaksa memberi izin. Di Mekkah ini kemudian ia belajar kepada mufti mazhab Syafii yang juga merupakan putra asli Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawiy.

Setelah beberapa tahun belajar dibawah bimbingan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Abbas Abdullah kemudian npulang ke kampung halamannya. Setelah beberapa tahun mengabdikan diri dan mengajar di kampung halamannya, Syekh Abbas Abdullah kemudian melanjutkan pendidikannya ke centre ilmu pengetahuan Islam lainnya pada masa itu yaitu ke Mesir. Di Mesir, beliau belajar di Universitas Al-Azhar sebagai pendengar (mustami’). Salah seorang gurunya yang kemudian sering disebutnya adalah Syekh Badwiy, ulama pintar tapi memiliki cacat penglihatan (buta). Sementara itu, disamping belajar di Mesir beliau menyempatkan diri pergi belajar ke daerah-daerah lain di Timur Tengah serta Eropa untuk mengadakan komparasi (studi perbandingan) seperti Palestina, Libanon, Syiria, Swiss dan lain-lain. Di Swiss beliau bertemu dengan Mahmud Yunus yang pada waktu itu sedang melakukan kunjungan ke sana. Sewaktu akan kembali ke kampung halamannya kembali, beliau kembali menunaikan ibadah haji ke Mekkah, kemudian beliau terus menuju Mesir untuk mengantarkan putera kakaknya Talut Musthafa dan Nazaruddin Thaha. Melihat perjalanan pendidikan Syekh Abbas Abdullah ini, maka dari berbagai institusi pendidikan serta “warna” pendidikan yang dilaluinya, maka bisa diambil kesimpulan bahwa Mekkah dan Mesir merupakan dua “warna” yang sangat mempengaruhi pemikiran Syekh Abbas Abdullah. Figur Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mesir dan figur pemikiran serta ide-ide Muhammad Abduh di Mesir, menjadi konhtributor terbesar dalam mempengaruhi orientasi pemikiran Syekh Abbas Abdullah dalam pergulatan hidup dan pemikirannya kedepan.
Melihat masih banyaknya tradisi kultural di Minangkabau, khususnya didaerahnya yang masih banyak terjadi hal-hal yang bersifat bid’ah dan khurafat, maka Syekh Abbas Abdullah mencari format dan strategi yang efektif menanggulangi ini. Untuk itu ia pergi menemui teman-temannya yang dianggapnya bisa memahami keinginannya seperti Syekh Muhammad Thaib Umar di Sungayang Batusangkar, Syekh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang dan Syekh Ibrahim Musa di Parabek. Bertepatan di waktu itu di Padang Panjang dan Parabek, Syekh Abdul Karim Amrullah dan Syekh Ibrahim Musa sedang mengkoordinir murid-muridnya di bawah suatu organisasi yang diberinya nama Sumatera Thawalib. Sebagai hasil dari kunjungan Syekh Abbas Abdullah menemui teman-temannya itu adalah bergabungnya pelajar-pelajar surau Padang Japang ke dalam Sumatera Thawalib dan sekaligus sekolahnya dinamakan dengan Madrasah Sumatera Thawalib. Dalam institusi pendidikan ini, Syekh Abbas Abdullah membina dan mengembangkan pola pendidikan yang nantinya berguna bagi murid-muridnya untuk menghadapi tantangan lingkungan yang penuh dengan tantangan.

Diantara pembinaan dan pengembangan yang beliau lakukan adalah mempersiapkan kader-kader muballigh. Kader-kader muballigh ini dilatihnya sekali seminggu yang disebut dengan muhadarah. Murid-murid dilatih bagaimana cara memberikan ilmu yang telah didapat kepada masyarakat. Pada mulanya kegiatan ini terkonsentrasi di sekolah saja, tetapi melihat animo masyarakat yang demikian tinggi, maka beliau mulai mengembangkannya dan membuka diri untuk masyarakat sekitarnya serta tidak hanya terfokus bagi para pelajar saja. Diantara pelajar-pelajar yang telah dirasa cakap dan mampu dalam muhadarah ini, barulah diterjunkan ke dalam masyarakat. Mereka inilah yang dibawa oleh Syekh Abbas Abdullah berkeliling dari kampung ke kampung. Di saat para murid-muridnya berdakwah, Syekh Abbas Abdullah sering ikut tapi tidak ikut berdakwah. Beliau baru ikut menerangkan suatu materi ketika ada masalah yang tidak dapat dipecahkan dan pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh para muridnya. Menurut H. Sya’ban Naim, salah seorang muridnya, Syekh Abbas Abdullah tidak biasa berdakwah dan berpidato. Ia tidak memiliki kemampuan maksimal sebagai seorang orator.

Ide-ide baru yang dikembangkan melalui media dakwah ini ialah merobah cara berfikir masyarakat yang telah terkontaminasi. Pelaksanaannya adalah berpedoman kepada pemikiran Muhammad Abduh yang masuk ke Sumatera Barat melalui majalah-majalah dan buku-buku karangan Muhammad Abduh sendiri seperti Al-Islam Ruhul Madaniyah. Di antara ide-ide Muhammad Abduh yang begitu ditonjolkan pada waktu itu adalah masih terbukanya pintu ijtihad, tetapi ijtihad tersebut tidak boleh dilakukan oleh semua orang, melainkan bagi orang yang telah memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditetapkan. Masalah yang masuk dalam “wilayah” ijtihad ini tidak mengenai masalah ibadah, akan tetapi mayoritas masalah kemasyarakatan. Kemasuarakatan inilah yang harus disesuaikan dengan kehendak zaman. Dengan sendirinya taqlid kepada ulama tak perlu lagi dipertahankan, tetapi perlu diperangi karena taqlid seperti inilah yang akan membawa ummat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat maju.

Sebagai konsekuensi dari ide-ide yang dikemukakan oleh pelajar-pelajar Sumatera Thawalib Padang japang dibawah bimbingan Syekh Abbas Abdullah ini mendapat tantangan dari beberapa kalangan ulama. Kondisi ini menimbulkan perdebatan-perdebatan antara yang mempertahankan dan yang menentang. Di mana-mana diadakan Majelis Tarjih untuk memperbincangkan berbagai masalah-masalah yang muncul sehingga masing-masing kelompok berusaha untuk mempertahankan perspektif mereka. Dalam konteks ini, maka timbullah iklim intelektual yang hidup. Syekh Abbas Abdullah dengan pelajar-pelajar asuhannya membentuk suatu majelis tarjih yang waktu itu lebih dikenal dengan nama Debating Club. Debating Club ini pada mulanya diadakan dalam perkumpulan pelajar-pelajar di bawah bimbingan Syekh Abdullah Abbas saja, satu kali dalam satu minggu. Kemudian, sebagaimana halnya yang juga terjadi pada pelatihan muhadarah, kegiatan Debating Club ini juga menarik perhatian masyarakat. Akhirnya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Debating Club ini sering di tempat terbuka dengan mengundang pelajar-pelajar lain seperti dari Tabek Gadang, Mungka dan lain-lain.

Materi yang diperbincangkan dalam Debating Club ini adalah masalah-masalah yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat seperti masalah riba, judi, ibadat, bank dan lain-lain. Pengikut-pengikutnya terdiri dari guru-guru dan murid-murid dari kelas tertinggi. Sedangkan Syekh Abdullah Abbas sebagai pembina hanya ikut menghadiri dan ikut aktif apabila ada masalah yang sulit dipecahkan atau dicari jalan tengahnya. Hasil dari Debating Club ini kemudian akan disiarkan atau diberitahu kepada masyarakat oleh para muballigh. Hasil yang diperoleh dari tradisi Debating Club ini sangat besar sekali. Terjadi perubahan pola pikir dalam masyarakat. Seorang yang akan berfatwa harus meneliti secara cermat darimana sumbernya. Karena itu, suatu hal tidak lagi diterima secara “membabi buta atau taqlid” dari seseorang begitu saja. Masyarakat tidak disuruh menerima tanpa mengetahui dasar-dasarnya. Dengan demikian, dalam masyarakat, timbul tradisi kritis.

Sementara itu, cara berfikir ulama-ulama semakin hari semakin maju dan terbuka. Pengembangan ajaran Islam tidak hanya melalui media dakwah (lisan) saja lagi, akan tetapi ditambah dengan media jurnalistik (tulis) yaitu dengan menerbitkan majalah. Majalah Islam yang pertama sekali terbit di Sumatera Barat adalah Al-Munir di bawah pimpinan Syekh Abdullah Ahmad dan H. Marah Muhammad bin Abdul Hamid yang dibantu oleh HAKA, Dahlan Sutan Lembak Tuah, H. Muhammad Thaib Umar dan Sutan Mahmud Salim. Isinya mengupas tentang soal-soal agama yang sulit seperti masalah taqlid kepada satu iman, soal berhimpun di rumah orang kematian pada waktu hari pertama dan ketiga serta seterusnya, soal niat dan membaca usalli, soal berfoto, soal berdiri di waktu barzanji, soal tuah burung ketitiran dan masalah berpuasa dengan hisab dan rukyah. Majalah ini kemudian terhenti terbitnya karena percetakannya terbakar.
Kemudian pada tahun 1918, majalah Al-Munir diterbitkan kembali di Padang Panjang dengan nama Al-Munir el-Manar. Majalah ini diterbitkan oleh Jamiah Sumatera Thawalib Padang Panjang dua kali dalam satu bulan. Rais Tahrirnya adalah Zainuddin Labay el-Yunusiy, al-Mudirnya H. Syu’ib, Muharrirnya Abdul Hamid dan Annazirnya Basa Bandaro Padang. Pembantu-pembantunya terdiri dari H. Ahmad Khatib, H. Rasyid dan Abdul Madjid Sidi Sutan. Sedangkan pemimpinnya adalah HAKA, Syekh Muhammad Djamil Djambek, H. Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan Syekh Abbas Abdullah Padang Japang. Penerbitan majalah ini kemudian diikuti oleh Jami’atul Muzakarah Ikhwan Parabek dengan nama Al-Bayan. Sedangkan Sumatera Thawalib Padang Japang menerbitkan pula dengan nama Al-Imam yang dipimpin sendiri oleh Syekh Abbas Abdullah. Nomor pertamanya diterbitkan pada bulan Nopember 1919 M./1338 H. Majalah ini diusahakan oleh pelajar-pelajar Padang Japang dengan biaya dari Syekh Abbas Abdullah. Isinya terutama mengupas tentang masalah agama yang berkaitan dengan pembaharuan pemikiran. Disamping itu juga terdapat ruangan terjemahan dari majalah-majalah Arab seperti Al-Manar dan Al-Ahram dari Mesir.

Majalah ini disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat, sehingga orang yang jauh dapat bertanya kepada ulama tentang soal agama atau soal lain yang dikeragui. Karena itu, pengembangan pembaharuan pemikiran melalui majalah ini sangat besar pengaruh nya. Dengan cara-cara seperti ini, Syekh Abbas Abdullah telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dalam membentuk dan membina kader-kader ulama yang dapat diterjunkan ke dalam masyarakat untuk memperbaiki pola dan perspektif pemikiran mereka. Perjuangan yang demikian bukanlah sesuatu yang mudah, akan tetapi membutuhkan kesungguhan, ketabahan, pengorbanan fisik mental finansial dan keuletan. Karena yang diubah bukanlah masalah bentuk luarnya, melainkan adalah adat tradisi yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat kala itu.

Langkah awal yang dilakukannya adalah terlibat secara langsung dalam pembinaan (ikut mengajar) di surau peninggalan ayahnya yang dipimpin oleh kakaknya, Syekh Mustafa Abdullah. Usaha yang dilakukannya pertama sekali adalah menukar cara belajar yang waktu itu hanya mementingkan beberapa mata pelajaran saja. Kemudian berusaha memperbaharui beberapa kitab yang dipelajari. Melalui Syekh Abbas Abdullah, sistem pelajaran di surau milik ayahnya ini yang kemudian dirubahnya menjadi Sumatera Thawalib Padang Japang, mulai diperkenalkan kitab-kitab yang dikeluarkan Mesir seperti Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd, tafsir Muhammad Abduh dan tafsir Al-Jawahir. Kitab-kitab ini diajarkan pada murid-mirid yang telah berada pada kelas tertinggi yaitu kelas VI dan kelas VII. Di samping itu, beliau juga mengajarkan kitab Al-Islam wal Ulumul Ashriyah kepada murid-murid tertentu.

Kitab-kitab yang beliau ajarkan ini sangat disukai oleh pelajar-pelajar yang berfikiran maju. Kitab Bidayatul Mujtahid tidak memihak pada salah satu mazhab, sangat sesuai dengan pemikiran yang suka berijtihad. Tafsir Muhammad Abduh dan tafsir Al-Jawahir yang uraiannya sesuai dengan rasio, cocok pula dengan perkem-bangan zaman. Sedangkan kitab Al-Islam wal Ulumul Ashriyah disukai pula karena dapat menimbulkan kesadaran dan semangat juang ummat Islam dalam menghadapi penjajahan Belanda. Disamping itu, ilmu matiq mulai diajarkan pada murid-murid kelas lima ke atas. Ilmu ini sangat berguna dalam melatih menegakkan pendapat dalam berdiskusi. Sejalan dengan diajarkannya ilmu matiq, maka cara belajar pun mulai berobah. Kalau sebelumnya murid belajar secara pasif, maka sekarang para murid diminta untuk aktif. Seorang murid ditunjuk untuk membaca, kemudian yang lainnya diminta untuk membandingkan bila ada yang salah.

Di samping perubahan materi dan cara belajar ini, cara menuntut pelajaran juga berubah. Pada masa sebelumnya seseorang yang pergi menuntut ilmu terlebih dahulu harus pergi mencari “induk semang”. Bila tidak dapat induk semang, maka pergi meminta-minta tiap hari kamis ke kampung-kampung. Tradisi ini mulai dilarang oleh Syekh Abbas Abdullah karena menurut beliau meminta-minta bertentangan dengan ajaran Islam dan merendahkan derajat serta ilmu seseorang. Dengan demikian, seorang murid membawa perbekalan yang cukup dari kampung halaman mereka masing-masing. Bagi yang kurang mampu, dicarikan pekerjaan pada sore harinya. Untuk meninggikan pandangan masyarakat terhadap pelajar-pelajar, maka Syekh Abbas Abdullah mulai mengatur cara berpakaian. Kalau pada masa dulu seorang pelajar mirip dengan “labai”, maka oleh Syekh Abbas Abdullah, para murid disuruh berpakaian bersih dan rapi, memakai alas kaki dan rambut dipotong tetapi tidak dicukur habis. Melihat perkembangan Sumatera Thawalib Padang Japang yang demikian, membuat masyarakat banyak yang tertarik untuk belajar. Sehingga berdatanganlah murid-muridnya dari berbagai pelosok daerah seperti dari Tapanuli, Bangkinang, Bengkulu, Jambi dan lain-lain. Murid-murid periode inilah yang menentukan perkembangan pendidikan agama pada masa selanjutnya seperti Nasharuddin Thaha, Zainuddin Hamidy dan lain-lain.

Sekembalinya dari menuntut ilmu ke Mesir, Syekh Abbas Abdullah langsung mencurahkan tenaga dan fikiran sepenuhnya pada perguruan Sumatera Thawalib Padang Japang. Diadakannya perbaikan dalam sistem pengajaran dan peralatan dengan menerapkan apa yang dilihatnya di Universitas Al-Azhar. Sekolah dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian Ibtidaiyah dengan lama belajar selama empat tahun dan Tsanawiyah dengan lama belajar selama empat tahun. Sementara itu, pada tahun 1928, pengetahuan umum seperti ilmu bumi, sejarah, tata negara, biologi dan bahasa asing mulai di perkenalkan.

Dalam pada itu, organisasi Sumatera Thawalib yang telah berusaha menyatukan pelajar-pelajar Madrasah Sumatera Thawalib yang ada, mengadakan rapat di Bukittinggi. Di antara isi rapat tersebut adalah meninjau kembali kemungkinan dimasukkannya mata pelajaran praktis seperti mata pelajaran pertanian, pertukangan dan perdagangan. Rapat ini tidak berjalan mulus karena sebagian peserta menarik diri. Tambahan lagi, suasana politik sudah mulai masuk kedalam Sumatera Thawalib yang mengakibatkan organisasi ini berubah menjadi Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Syekh Abbas Abdullah selaku orang yang telah banyak merasakan asam garam kehidupan ini, telah mengetahui hal ini. Beliau kemudian berkata : “kalau sekolah sudah memasuki dunia politik, maka sekolah itu akan hancur, boleh berpolitik tapi jangan di sekolah”. Karena itu, ia menarik sekolahnya dari keanggotaan Sumatera Thawalib dan kemudian menukar nama madrasahnya menjadi Darul Funun el-Abasiyah.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Syekh Abbas Abdullah adalah memperbaharui bangunan gedung tempat belajar. Hal ini dilakukan karena pada masa sebelumnya pelajar-pelajar Padang Japang hanya belajar di surau. Untuk itu, Syekh Abbas Abdullah mewakafkan sebagian tanahnya dan mengumpulkan sumbangan dari masyarakat. Tahun 1928, keinginan kemudian terealisasi. Pada tahun 1927, Muhammadiyah mulai masuk ke Padang Japang. Salah satu kegiatannya adalah mendidik pemuda berorganisasi melalui organisasi kepanduan Hizbul Wathan. Terinspirasi dengan organisasi Hizbul Wathan ini, maka banyak institusi pendidikan Islam pada masa itu mendirikan organisasi seperti Hizbul Wathan tersebut. Sumatera Thawalib Parabek dengan Ansharullah-nya, Thawalib Padang Panjang dengan Al-Hilal-nya dan Darul Funun el-Abasiyah Padang Japang dengan kepanduan Al-Kasyaf-nya. Dengan berdirinya Al-Kasyaf ini, maka bidang pelajaran keterampilan mendapat perhatian yang besar pula di madrasah tersebut. Sehingga madrasah Padang Japang ini betul-betul termasuk institusi pendidikan Islam yang maju waktu itu.

Sekitar tahun 1934, kemajuan madrasah ini mulai goncang karena pemerintah kolonial Belanda mulai mencurigai madrasah-madrasah di Indonesia, terutama di Sumatera Barat, yang mempelajari materi yang memiliki potensi untuk menumbuhkan perasaan nasionalisme kebangsaan. Penggeledahan mulai dilakukan, tidak terkecuali Darul Funun. Hal ini membuat kegiatan pendidikan berhenti untuk sementara waktu, walaupun akhirnya kemudian dilanjutkan lagi. Pada tahun 1942, konstelasi sosial politik Indonesia berubah. Menyikapi perubahan sosial politik yang terjadi, berbagai madrasah di Sumatera Barat membentuk berbagai lasykar pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Madrasah Darul Funun Padang Jabang oleh Syekh Abbas Abdullah dibentuk lasykar Sabilillah dibawah pimpinan Saaduddin Syarbaini. Setelah Indonesia merdeka, sebahagian dari anggota lasykar ini ada yang aktif dan menjadi anggota militer, seperti anaknya sendiri, Kapten Azhari, dan lain-lain.

Secara ideologis, Syekh Abbas Abdullah telah membentuk rasa kebangsaan para anak didiknyua. Dengan dirubahnya kurikulum Sumatera Thawalib Padang Japang yang memberikan porsi pembelajaran mengenai tata negara dan sejarah yang secara tidak langsung akan menumbuhkan rasa kebangsaan, membuat pemerintah kolonial Belanda menaruh curiga terhadap institusi pendidikan Islam seperti Sumatera Thawalib Padang Japang ini. Ketika Syekh Abbas Abdullah mulai berkiprah dalam dunia kemasyarakatan dan pendidikan di kampung halamannya, pengaruh komunis mulai merambah Sumatera Barat, tidak terkecuali di institusi pendidikan yang dipimpinnya. Pelajar-pelajar Sumatera Thawalib banyak yang apresiatif terhadap komunis dan berkeinginan untuk memasukinya. Oleh Syekh Abbas Abdullah hal ini ditentangnya habis-habisan dengan mengatakan bahwa komunis merupakan ideologi yang berseberangan secara total dengan ajaran agama Islam, terutama yang menyangkut ajaran mereka mengenai anti Tuhan. Dengan demikian, Syekh Abbas Abdullah memiliki kontribusi yang besar dalam mengantisipasi pernyebaran ajaran komunis, terutama dalam masyarakatnya dan para pelajarnya.

Kedatangan Jepang ke Sumatera Barat, kolonial Jepang berusaha mendekati para ulama. Sementara itu, para ulama memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengorganisir diri dalam suatu badan yang bernama Majelis Islam Tinggi (MIT) dibawah pimpinan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli dan Syekh Muhammad Djamil Djambek. MIT secara umum bertujuan untuk memperkokoh keimanan dan menolak secara tegas tradisi Seikere (menyembah atau membungkukkan badan menghadap Tokyo). Ketika Jepang terdesak, Jepang berusaha untuk menarik pemuda-pemuda ikut perang membela Jepang. Akan tetapi, umumnya para pemuda tersebut tidak begitu tertarik. Yeno Kenzo, Residen Jepang di Sumatera Barat berusaha mengumpulkan sejumlah pemuka agama, adat dan cerdik pandai dalam rangka membentuk badan lain yang bernama Gyu Gun Ko En Kai yang merupakan bagian dari Hoko Kai. Rasionalisasinya adalah bahwa badan yang dibentuk ini merupakan tentara rakyat dan akan berdampingan membela tanah air dengan Jepang. Keinginan inipun disosialisasikan kepada masyarakat. Ketika kabar ini sampai ke Padang Japang, banyak para pemuda yang ragu-ragu, kemudian mereka pergi menemui Syekh Abbas Abdullah yang waktu itu merupakan salah seorang anggota MIT untuk minta pendapat. Syekh Abbas Abdullah kemudian mengatakan : “Kalah politik Jepang oleh Belanda. Kalau Belanda tidak boleh kita menjadi tentara baginya, tetapi Jepang dibolehkannya. Masukilah Gyu Gun itu nanti berguna bagi kita untuk memeranginya”. Perkataan Syekh Abbas Abdullah ini sangat berpengaruh terhadap masyarakat dan murid-muridnya. Sehingga banyak dari masyarakat yang memasuki Gyu Gun, diantara Azhari, anak beliau sendiri. Ketika Indonesia merdeka, dan untuk mensikapi hal ini, maka pada bulan Desember 1945, MIT sebagai badan yang memiliki pengaruh besar di Sumatera Barat mengadakan kongres di Bukittinggi pada bulan Desember 1945. Hadir dalam kongres tersebut para ulama dari berbagai penjuru Sumatera Barat. Hasil kongres tersebut menghasilkan semboyan revolusioner yang berbunyi : “Siapa-siapa yang tewas dalam memperjuangkan kemerdekaan dewasa ini adalah mati syahid dunia dan akhirat”. Di samping itu kongres tersebut juga membentuk tiga panitia yakni panitia fatwa, panitia barisan Sabilillah dan panitia politik.

(C) Tim Peneliti-Penulis FIB-Adab IAIN Padang



Kapten Thantowi, Syahidnya Anak Sahabat

Sumber: http://pdri.multiply.com/journal/item/29

Bagi warga Sumatera Barat yang pernah merunut sejarah pendidikan agama Islam, nama Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, tentu tidaklah asing. Dua saudara ini tidak hanya terkenal sebagai ulama yang memiliki banyak jamaah. Tapi juga kesohor karena mendirikan perguruan Darul Funun El-Abbasiyah di Padang Japang. Pada masa keemasannya, Darul Funun El-Abbasiyah tidak hanya memiliki murid dari berbagai pelosok Sumbar, melainkan juga dari berbagai provinsi sekitar, termasuk dari negeri Jiran Malaysia. Perguruan Islam ini juga pernah dikunjungi Proklamator Republik Indonesia Ir Soekarno.

Konon, kabarnya, Syekh Abbas Abdullah dan Mustafa Abdullah, merupakan dua dari sederet orang yang pernah diminta nasehat spritualnya oleh Bung Karno.  Lalu, apa hubungannya dengan Kapten Thantowi, satu dari 69 pejuang yang tewas dalam tragedi peristiwa Situjuah? Nah, Kapten Thantowi yang lahir tahun 1926 di Nagari Aiatabik (sekarang masuk dalam Kecamatan Payakumbuh Timur) dari ibu bernama Dariham, ternyata adalah putra kandung dari Syekh Mustafa Abdullah.

Di Aiatabik, Kapten Thantowi Mustafa yang namanya sekarang sudah diabadikan sebagai nama sebuah lapangan bola kaki di Payakumbuh, terkenal sebagai pemuda berani, ta’at beragama, suka tantangan, dan sering dijuluki ”Tuanku Nan Pahik”.
Gelar ”Tuanku Nan Pahik” tentu tidak diberikan sembarangan saja kepada Kapten Thantowi. Sebab menurut HC Israr, bekas anggota DPRD Sumbar yang semasa hidupnya rajin menulis sejarah, sosok ”Tuanku Nan Pahik” adalah sosok seorang ulama yang berani, berpendirian teguh, serta pengikut dari Tuanku Imam Bonjol.  Pernah diceritakan HC Israr kepada penulis, bahwa sekitar tahun 1832, ”Tuanku Nan Pahik” yang setia dengan Tuanku Imam Bonjol, tampil  dalam pertempuran melawan Belanda yang hendak menaklukkan Aiatabik, Bukik Sikumpa dan Halaban.  ”Sayang, takdir berkata lain. Tuanku Nan Pahik gugur dalam pertempuran tersebut, dan dimakamkan di tanah taban dekat lereng Gunung Sago, dalam Kanagarian Sungai Kamuyang (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak),” begitu cerita HC Israr menjelang akhir hayatnya.

Kembali pada Kapten Thantawi, karena dia adalah cicit dari Tuanku Nan Pahik yang pemberani, maka diberilah gelar itu kepadanya. Kapten Thantowi sendiri menempuh pendidikan Sekolah di Aiatabik. Lalu dilanjutkan ke Schakel School Payakumbuh. Setamat dari situ, dia masuk ke  sekolah Gubernemen di Dangung-dangung.   Kemudian, Kapten Thantowi meneruskan pendidikan di Ambch School Padangpanjang dan pendidikan Kadet Bukittinggi. Selesai menempuh pendidikan Kadet tahun 1947, dia masuk dalam kesatuan Bataliyon Merapi Padangpanjang dengan pangkat Letnan Muda. Selama di Bataliyon Merapi, Kapten Thantowi pernah ditugaskan di Lubukbasung dan Simpang Tonang. Lalu pada tahun 1948, dia pindah ke Padang Mangateh.

Kiprah Semasa Agresi

Ketika permulaan Agresi Belanda II meletus, Kapten Thantowi ditangkap menja di Komandan Kompi I Bataliyon Merapi dengan pangkat Letnan II. Mengenai kehadirannya dalam rapat malam hari tanggal 14 Januari 1949 di Lurah Kincia Situjuah Batua. Kapten Thantowi saat itu bertindak mendampingi komandan Pertempuran Payakumbuh Selatan, Kapten Kamaruddin Datuak Machudum.   Namun malang , pada subuh hari dia ikut menjadi korban keganasan peluruh penjajah yang membabi-buta di Lurah Kincia. Sebagai prajurit sejati, ia telah berupaya menghadapi serangan Belanda sampai tetes darah penghabisan. Namun sebelum wafat, Kapten Thantowi seperti halnya Munir Latief, juga meninggalkan prilaku ”aneh” yang selalu dikenang keluarga.  Bila Munier Latief mengembalikan cincin permata pemberian mertuanya. Maka, Kapten Thantowi sebagaimana ditulis wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, pernah tergopoh-gopoh mencari notesnya yang tidak ditemukan dalam.

Padahal saat itu, Kapten Thantowi baru saja minta izin kepada pamannya Rais Datuk Machudum dan adiknya Mustafa untuk pergi meninggalkan rumah. Tapi baru sampai di Balai Adat Nagari Aiatabik, ia kembali pulang untuk mencari buku.  Akhirnya, kata Kamardi, buku Kapten Thantowi itu baru ditemukan di tebing sumur, tidak jauh dari rumah gadang kaum mereka. Namun buku itu sudah lembab. Beberapa catatan harian yang ditulisnya juga sudah kabur dan mengembang.  Atas peristiwa itu, pamannya yang merupakan ayah kandung Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie memberi wejangan kepada Munir Latief.  ”Lain kali, kalau sudah berangkat, jangan balik lagi, celaka kata orang tua-tua!”  ”Antah iyo, indak ka babaliak (Apa betul, tidak akan kembali?)”jawab Thantowi pelan, seperti orang bercanda.  Ternyata, Thantowi Mustafa memang tak kembali dari Situjuah. Yang pulang ke kampungnya di Aiatabik, cuma nama. (***)