Haji Wada’ dikenal juga dengan nama Haji Perpisahan Nabi Muhammad Saw. Beliau mengumumkan niatnya pada 25 Dzulqaidah 10 H atau setahun sebelum beliau wafat. Dari sekian banyak hikmah dari Haji Wada’ ini adalah pesan kemanusiaan yang terungkap dari khutbah beliau.
PERSIAPAN KEBERANGKATAN
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir ra, ia berkata: “
”Selama 9 tahun tinggal di Madinah Munawwarah, Rasulullah saw belum melaksanakan Haji. Kemudian pada tahun kesepuluh beliau mengumumkan hendak melakukan haji. Maka berduyun-duyun orang datang ke Madinah, semuanya ingin mengikuti Rasulullah saw dan mengamalkan ibadah haji sebagaimana amalan beliau.”
Tahun kesebelas Hijrah, haji pertama Rasulullah saw dan kaum Muslimin tanpa ada seorang musyrik pun yang ikut didalamnya, Untuk pertama kalinya pula, lebih dari 10.000 orang berkumpul di Madinah dan sekitarnya, menyertai Rasulullah saw melakukan perjalanan ke Makkah, dan sekaligus inilah haji terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Rombongan haji meninggalkan Madinah tanggal 25 Dzulqa’dah , Rasulullah disertai semua isterinya, menginap satu malam di Dzi Al-Hulaifah, kemudian melakukan Ihram sepanjang Subuh, dan mulai bergerak.
Seluruh padang terisi gema suara mereka yang mengucapkan, “
“Labbaik, Allahumma labbaik… Labbaik, laa syarika laka, ! Aku datang memenuhi panggilanmu, Allahumma, ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu…Labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Segala puji, kenikmatan, dan kemaharajaan, hanya bagi-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu… Labbaik, aku datang memenuhi panggilan-Mu. “
Jabir berkata: “
“Setelah onta yang membawanya sampai di lapangan besar aku lihat sejauh pandangan mata lautan manusia mengitari Rasulullah saw, di depan , belakang, sebelah kiri dan kanan beliau. Rasulullah saw sendiri berada di hadapan kami dan di saat itu pula beliau menerima wahyu.”
Hingga hari itu, belum pernah menyaksikan pemandangan di muka bumi seperti yang ada pada saat itu. Lebih dari 100.000 orang, laki-laki dan perempuan dibawah sengatan matahari yang amat terik dan di padang pasir yang sebelumnya tak pernah dikenal orang bergerak menuju satu arah.
Ada perbedaan pendapat di kalangan para perawi. Ahlul Madinah berpendapat bahwa Rasulullah saw melaksanakan haji ifrad, sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa beliau melakukan haji Qiran.
PERJALANAN SAMPAI DI MAKKAH
Rasulullah saw memasuki kota Mekkah dari bagian atas dari jalan Kada‘ hingga tiba di pintu Banu Syaibah. Ketika melihat Ka‘bah beliau mengucapkan do‘a:
“Ya Allah tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan, dan kewibawaan kepada rumah ini. Tambahkanlah pula kemuliaan, kehormatan, kewibawaan, keagungan dan kebajikan kepada orang yang mengagungkannya di antara orang-orang yang mengerjakan haji dan umrah.”
Rasulullah saw melaksanakan ibadah hajinya seraya mengajarkan manasik dan sunnah-sunnah haji kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersamanya.
KHUTBAH RASULULLAH DI PADANG ARAFAH
Di Padang Arafah, segala puji kepada Allah dan shalawat bergema ketika Rasulullah saw berdiri untuk memulai khutbah.
“Wahai umat manusia, dengarkanlah yang akan aku katakan di sini. Mungkin saja setelah tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini, untuk selamanya.”
Mendengar ucapan Rasulullah saw, sebagian pengikutnya terheran-heran, sebagian lagi tertunduk sedih, sebagian lagi terdiam karena penasaran menanti perkataan Rasulullah selanjutnya. Saat berkumpulnya pengikutnya mengitari Rasulullah saw di Padang Arafah ini, umat Islam kemudian mengenalnya dengan peristiwa wuquf. Jadi, tak heran orang yang menunaikan ibadah wuquf, biasanya terkenang dengan khutbah Rasulullah.
Karena Haji Wada’ disebut juga haji perpisahan atau terakhir bagi Rasulullah saw, kaum Muslim yang berada di Arafah kala itu, begitu seksama mendengar khutbah Rasulullah saw. Mereka ingin semua pesan yang disampaikan beliau terserap dalam hati sanubari sebagai bekal di kemudian hari. Apalagi Rasulullah saw dalam kata sambutan khutbahnya mengingatkan dirinya kemungkinan tak akan bertemu lagi dengan mereka setahun lagi.
Rasulullah saw berkata,”Tahukah kalian, bulan apa ini?”
Mereka serentak menjawab, ”Bulan Haram” …..
Rasulullah saw mengulangi lagi kalimatnya,,,,
“Wahai manusia, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin sehabis tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-lamanya…. Hai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian (yakni tidak boleh dinodai oleh siapapun juga) seperti hari dan bulan suci sekarang ini di negeri kalian ini. Ketahuilah, sesungguhnya segala bentuk perilaku dan tindakan jahiliyah tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi. Tindak pembalasan jahiliyah seperti itu pertama kali kunyatakan tidak berlaku ialah tindakan pembalasan atas kematian Ibnu Rabi‘ bin al Harits.
Riba jahiliyah tidak berlaku, dan riba yang pertama kunyatakan tidak berlaku adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya segala macam riba tidak boleh berlaku lagi ……
Hai manusia, di negeri kalian ini, setan sudah putus harapan sama sekali untuk dapat disembah lagi. Akan tetapi masih menginginkan selain itu. Ia akan merasa puas bila kalian melakukan perbuatan yang rendah. Karena itu hendaklah kalian jaga baik-baik agama kalian!….
Hai manusia sesungguhnya menunda berlakunya bulan suci akan menambah besarnya kekufuran. Dengan itulah orang-orang kafir menjadi tersesat. Pada tahun yang satu mereka langgar dan pada tahun yang lain mereka sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang telah ditetapkan kesuciannya oleh Allah. Kemudian mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah.
Sesungguhnya jaman berputar seperti keadaannya pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan-bulan suci. Tiga bulan berturut-turut : Dzul Qa‘dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab adalah antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya‘ban…“
Takutlah Allah dalam memperlakukan kaum wanita, karena kalian mengambil mereka sebagai amanat Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah. Sesungguhnya kalian mempunyai hak atas para istri kalian dan mereka pun mempunyai hak atas kalian. Hak kalian atas mereka ialah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Sedangkan hak mereka atas kalian ialah kalian harus memberi nafkah dan pakaian kepada mereka secara baik.
Maka perhatikanlah perkataanku itu, wahai manusia, sesungguhnya Aku telah sampaikan. Aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, yang jika kalian pegang teguh, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Wahai manusia, dengarkanlah taatlah sekalipun kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya dari Habasyah yang berhidung gruwung, selama ia menjalankan Kitabullah kepada kalian.
Berlaku baiklah kepada para budak kalian….. berilah mereka makan apa yang kalian makan dan berilah pakaian dari jenis pakaian yang sama dengan kalian pakai. Jika mereka melakukan sesuatu kesalahan yang tidak bisa kalian ma‘afkan maka juallah hambah-hamba Allah itu dan janganlah kalian menyiksa mereka.
Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku dan perhatikanlah! Kalian tahu bahwa setiap orang Muslim adalah saudara bagi orang-orang Muslim yang lain, dan semua kaum Muslimin adalah saudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati, karena itu janganlah kalian menganiaya diri sendiri …
Ya Allah sudahkah kusampaikan?
Kalian akan menemui Allah maka janganlah kalian kembali sesudahku menjadi sesat, sebagian kalian memukul tengkuk sebagian yang lain. Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, barangkali sebagian orang yang menerima kabar (tidak langsung) lebih mengerti daripada orang yang mendengarkannya (secara langsung). Kalian akan ditanya tentang Aku maka apakah yang hendak kalian katakan?”
Kaum Muslimin menjawab:
“Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan (risalah), telah menunaikan dan memberi nasehat.“ Kemudian seraya menunjuk ke arah langit dengan jari telunjuknya,”
Rasulullah saw bersabda: “Ya Allah, saksikanlah, saksikanlah, saksikanlah”
KEBERANGKATAN RASULULLAH KE MUZDALIFAH DAN MINA
Rasulullah saw tetap tinggal di Arafah hingga terbenam matahari. Pada saat terbenam matahari itu Rasulullah saw berserta orang-orang yang menyertainya berangkat ke Muzdalifah. Seraya memberikan isyarat dengan tangan kanannya beliau bersabda: “Wahai manusia, harap tenang, harap tenang!“.
Kemudian beliau menjama‘ takhir shalat maghrib dan Isya‘ di Muzdalifah kemudian sebelum terbit matahari beliau berangkat ke Mina, lalu melontar Jumratul Aqabah dengan tujuh batu kecil seraya bertakbir di setiap lontaran. Setelah itu beliau pergi ke tempat penyembelihan lalu menyembelih 63 binatang sembelihan (budnah). Kemudian beliau menyerahkan kepada Ali untuk menyembelih sisanya sampai genap 100 sembelihan. Setelah itu beliau naik kendaraannya berangkat ke Ka‘bah (ifadhah) lalu shalat dhuhur di Mekkah, dan pergi mendatangi Banu Abdul Muthalib yang sedang mengambil air Zamzam lalu bersabda:
“Timbalah wahai banu Abdul Muthalib, kalaulah tidak karena orang-orang berebut bersama kalian, niscaya aku menimba bersama kalian.“
Kemudian mereka memberikan setimba air kepadanya dan beliaupun minum darinya. Akhirnya Rasulullah saw berangkat kembali ke Madinah.
BEBERAPA IBRAH YANG BISA KITA AMBIL DARI HAJI WADA’
Pertama, Bilangan Haji Rasulullah saw dan Waktu disyari‘atkannya Haji
Para Ulama berselisih pendapat: Apakah Rasulullah saw pernah melakukan haji di dalam Islam selain pelaksanaan haji ini?
Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan ibadah haji tiga kali sebelum hijrahnya ke Madinah. Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam Fath-hul Bari berkata:
Pendapat ini didasarkan kepada jumlah kedatangan utusan Anshar yang pergi ke Aqabah di Mina setelah haji Pertama, mereka datang lalu membuat janji. Kedua, mereka datang lalu melakukan baiat yang pertama. Ketiga mereka datang lalu melakukan baiat kedua.
Diantara para Ulama ada yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw sebelum Hijrah melakukan haji setiap tahun.
Kendatipun demikian, tidak diragukan lagi bahwa kewajiban haji ini disyariatkan pada tahun ke 10 Hijriah. Sebelum tahun ini haji bukan merupakan kewajiban. Setelah tahun ini Rasulullah saw tidak pernah melakukan haji selain dari haji tersebut. Oleh karena itu diantara para sahabat banyak yang menamakan haji wada‘ ini dengan Hijjatul Islam atau Hijjatu Rasulillah saw. Imam Muslim menjadikan nama yang terakhir (Hijjatu Rasulillah saw) sebagai judul hadits-hadits mengenai haji Rasulullah saw ini.
Diantara dalil yang membuktikan bahwa haji belum diwajibkan sebelum tahun ke-10 Hijri, ialah riwayat ynag disebutkan oleh Bukhari dan Muslim mengenai utusan Abdul Qais yang datang menemui Nabi saw. Di dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa mereka berkata kepada Rasulullah saw:
“Perintahkan kepada kami dengan perkara yang tegas yang akan kami lakukan dan kami perintahkan pula kepada orang-orang di belakang kami, yang dengan itu kami dapat masuk surga.“
Rasulullah saw bersabda: “Aku perintahkan kalian dengan empat hal dan Aku larang kalian dari empat hal pula.“ Selanjutnya Rasulullah saw menyebutkan empat perintah tersebut seraya bersabda: “Aku perintahkan kalian agar beriman kepada Allah, menegakkan shalat , menunaikan zakat, puasa bulan Ramadhan dan memberikan seperlima dari harta rampasan.“
Nampaknya Rasulullah saw menyebutkan soal keimanan kepada Alah hanyalah sebagai tambahan empat perkara tersebut, karena ia sangat dikenal oleh mereka. Tetapi beliau mengulangi perintah tersebut untuk menegaskan dan menjelaskan bahwa ia (keimanan) merupakan asas bagi empat perkara yang disebutkan sesudahnya.
Kedatangan utusan ini (Banu Abdul Qais) adalah pada tahun ke-9 Hijriah. Seandainya haji sudah diwajibkan pada waktu itu niscaya Rasulullah saw akan menyebutkannya diantara sejumlah hal yang diwajibkan kepada mereka.
Kedua: Makna Agung dari Haji Rasulullah saw
Haji Rasulullah saw ini memiliki makna yang sangat besar yang berkaitan dengan dakwah Islam kehidupan Rasulullah saw dan sistem Islam.
Kaum Muslimin telah belajar dari Rasulullah saw tentang shalat, puasa, zakat dan segala hal yang berkenaan dengan peribadatan dan kewajiban mereka. Kini Rasulullah saw tinggal mengajarkan kepada mereka manasik dan cara pelaksanaan ibadah haji, setelah tradisi-tradisi jahiliyah ynag biasa dilakukan pada musim-musim haji itu dihapuskan oleh beliau bersamaan dengan penghancuran berhala yang ada di dalam baitullah.
Ajakan untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullah tetap berlaku hingga Hari Kiamat. Ia adalah ajakan Abul Anbiya, Ibrahim as, berdasarkan perintah dari Allah swt. Tetapi berbagai penyimpangan jahiliyah dan kesesatan kaum penyembah berhala telah menambahkan kedalamnya berbagai tradisi yang bathil dan mencampurkannya dengan berbagai bentuk kekafiran dan kemusyrikan. Kemudian Islam datang untuk membersihkan segala macam karat dan kotoran yang melekat pada ibadah ini, sehingga menjadi bersih kembali dan memancarkan cahaya tauhid serta dilakukan atas dasar ubudiyah secara mutlak kepada Allah.
Oleh sebab itu, Rasulullah saw mengumumkan kepada semua orang bahwa beliau hendak menunaikan ibadah haji. Dan karena itu pula, orang-orang datang dari segala penjuru ingin melaksanakan ibadah haji bersama beliau agar dapat melakukan amalan-amalan ibadah haji secara benar dan tidak terjerumus melakukan sisa-sisa tradisi jahiliyah.
Nampaknya Rasulullah saw telah diberitahu suatu isyarat bahwa tugasnya di muka bumi sudah hampir selesai.
Amanah (dakwah Islam) telah tersampaikan, bumi jazirah telah penuh dengan tanaman tauhid dan Islam pun telah menyebar serta menyerbu hati manusia di setiap tempat.
Kaum Muslimin yang pada hari itu sudah berjumlah banyak yang menyebar di berbagai penjuru sangat merindukan pertemuan dengan Rasul mereka dan ingin mendapatkan nasehat-nasehat serta petunjuknya. Demikian pula Rasulullah saw beliau sangat merindukan pertemuan dengan mereka, terutama dengan lautan manusia yang baru saja masuk Islam dari berbagai penjuru jazirah Arabia yang belum pernah mendapatkan kesempatan yang cukup untuk bertemu dengan beliau. Kesempatan yang paling besar dan paling indah untuk pertemuan tersebut hanyalah didapatkan dalam kesempatan ibadah haji ke Baitullah dan di padang Arafat. Pertemuan antara Ummat dan Rasulnya di bawah naungan salah satu syiar Islam yang terbesar. Pertemuan yang menurut pengetahuan Allah dan ilham Rasul-Nya sebagai pertemuan tausiyah (nasehat) dan wada‘ (perpisahan).
Rasulullah saw juga ingin bertemu dengan rombongan kaum Muslimin yang datang sebagai hasil jihad selama 23 tahun, guna menyampaikan kepada mereka tentang ajaran Islam dan sistemnya dalam suatu ungkapan yang singkat tapi padat, dan nasehat yang ringkas tetapi sarat dengan ungkapan perasaannya dan getaran-getaran cintanya terhadap ummatnya. Dari wajah-wajah mereka Rasulullah saw ingin melihat potret akan datang, sehingga semua nasehat dan pesan-pesannya bisa sampai kepada mereka dari balik tembok-tembok jaman dan dinding-dinding kurun.
Itulah sebagian makna haji Rasulullah saw: Hijatul Wada‘ (haji perpisahan). Makna ini akan anda saksikan secara jelas di dalam khutbahnya yang disampaikan di lembah Urnah pada hari Arafah.
Ketiga : Renungan Tentang Khutbah Wada‘
Sungguh kalimat-kalimat yang disampaikan di padang Arafah begitu indah. Beliau bukan saja berbicara kepada mereka yang hadir di padang Arafah tetapi kepada semua generasi dan sejarah sesudah mereka. Kalimat-kalimat ini disampaikannya setelah beliau menyampaikan amanah, menasehati Ummat dan berjihad di jalan dakwah selama 23 tahun tanpa bosan dan jemu. Demi Allah, betapa indahnya saat itu. Saat di mana ribuan kaum mualaf berhimpun di sekitar Rasulullah saw dengan penuh ketaatan dan ketundukkan, padahal mereka sebelumnya memusuhi dan memeranginya. Ribuan orang mualaf yang memenuhi padang Arafah sejauh mata memandang dari berbagai arah itu menjadi bukti kebenaran firman Allah:
“Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari Kiamat).“ QS Al-Mukminin : 51
Dan wajah-wajah ummat manusia, dengarkanlah perkataanku. Mungkin sehabis tahun ini, Aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-lamanya….“
Dunia terdiam mendengarkan khutbah beliau. Semuanya hening mendengarkan kalimat perpisahan yang keluar dari lisan Rasulullah saw, setelah dunia seisinya berbahagia dengan kehadirannya selama 23 tahun. Kini setelah bertugas melaksanakan perintah Allah dan menanamkan pohon-pohon keimanan di bumi, beliau mengisyaratkan sebuah perpisahan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini beliau ingin menyampaikan secara singkat prinsip-prinsip Islam yang dibawanya dan diperjuangkannya selama ini, dalam ungkapan yang singkat tapi sangat makna.
Subhanallah! Alangkah agung dan indahnya khutbah ini! Seolah-olah taushiah beliau ini diilhami oleh realitas berbagai penyelewengan yang akan dilakukan oleh beberapa kaum dari ummatnya sepanjang jaman, akibat mengikuti orang lain dan meninggalkan cahaya yang akan diwariskannya kepada mereka.
Sabda beliau:
“Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian (yakni tidak boleh dinodai oleh siapapun juga) sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian, seperti hari dan bulan suci sekarang ini:“
Di akhir khutbahnya Rasulullah saw mengulang sekali lagi wasiat ini dan menegaskan akan pentingnya hal tersebut, dengan menyatakan:
“Kalian tahu bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi orang Muslim yang lain, dan semua kaum Muslimin adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati, karena itu janganlah kalian menganiaya diri sendiri. Ya Allah, sudahkan kusampaikan?“
Kitapun sekarang menjawab: “Demi Allah engkau telah menyampaikannya wahai Rasulullah. Barangkali kita sekarang ini lebih patut untuk memberikan jawabannya kepadamu wahai Rasulullah. Ya Allah, beliau telah menyampaikannya! …Kendatipun kami belum sepenuhnya melaksanakan tanggung jawab tersebut.
Tema kedua dari khutbah beliau: Bukan sekedar tausiah tetapi merupakan qoror (keputusan) yang diumumkan kepada semua orang, kepada mereka yang hadir di sekitarnya dan juga kepada ummat-ummat yang akan datang sesudahnya.
Qoror itu berbunyi:
“Sesungguhnya segala macam riba tidak boleh berlaku lagi! Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi. Riba jahiliyah tidak boleh berlaku lagi.“
Apa maknanya yang terkandung di dalam qoror ini? Ia menegaskan bahwa segala macam hal yang pernah dibanggakan dan dipraktekkan oleh jahiliyah, diantaranya seperti tradisi fanatisme, kekabilahan, perbedaan-perbedaan yang didasarkan kepada bahasa, keturunan, dan ras, atau penghambaan seseorang terhadap sesamanya dan pemerasan (riba), dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada hari ini praktek-praktek jahiliyah itu merupakan barang busuk yang telah ditanam oleh syariat Allah ke dalam perut bumi. Praktek-praktek jahiliyah itu dalam kehidupan seorang Muslim pada hari ini letaknya berada di bawah telapak kaki. Ia adalah najis yang harus dibersihkan.
Tema ketiga dari khutbah beliau: Menyatakan tentang keserasian jaman dengan nama-nama bulan yang disebutkan, setelah sekian lama dipermainkan oleh orang-orang Arab di masa jahiliyah dan permulaan Islam.
Tema keempat dari khutbah beliau : Wasiat Rasulullah saw agar berlaku baik terhadap kaum wanita. Wasiat ini, yang ditegaskan dalam kalimat yang singkat tapi padat, menghapuskan segala bentuk penganiayaan terhadap kaum wanita dan memperkokoh jaminan hak-hak asasinya dan kehormatannya sebagai manusia.
Tema kelima dari khutbah beliau: Rasulullah saw meletakkan semua problematika manusia di hadapan dua sumber nilai: siapa yang berpegang teguh dengan keduanya maka dijamin akan terhindar dari segala macam kesengsaraan dan kesesatan.
Tema keenam dari khutbah beliau: Penjelasan Rasulullah saw tentang hubungan yang seharusnya dibina antara seorang Hakim (penguasa) atau Khalifah atau Kepala Negara dan rakyatnya. Ia adalah hubungan ketaatan dari rakyat terhadap pimpinannya betapapun keturunan, warna kulit, dan bentuk lahiriyahnya selama dia tetap menjalankan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Tetapi apabila dia menyimpang dari keduanya maka tidak ada kewajiban untuk taat kepadanya.
Demi Allah, itu bukan hanya kesaksian ribuan kaum Muslimin yang pernah berhimpun di sekelilingmu di pada Arafah wahai Rasulullah! Tetapi itu juga merupakan kesaksian kaum Muslimin di setiap generasi dan jaman sampai Allah mewariskan bumi seisinya: Kami bersaksi wahai Rasululllah saw bahwa Engkau telah menyampaikan telah menunaikan dan memberi nasehat. Semoga Allah memberikan balasan kepadamu dengan sebaik-baik balasan yang diberikan kepada seorang Nabi dari ummatnya.
Sumber : buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press
Post Views: 25,370