Oleh: Prof.Dr.H.
Ahmad Sutarmadi, M.A. (Guru Besar UIN Jakarta, Anggota Komisi Fatwa MUI)
Beberapa saat lagi Ramadhan
1438 H segera menjelang, lalu diikuti Idul Fitri. Maka pada kesempatan baik
kali ini, kita perlu merenungi dan menghayati, betapa puasa Ramadhan sebagai
ibadah yang amat hebat dan luar biasa.
Mengapa dikatakan hebat dan
luar biasa? Karena, pertama, ia merupakan bagian dari Rukun Islam. sebagai
sendi dasar Islam yang sangat vital. Kalau rukun yang satu ini kurang, berarti
keislaman dan keimanan seseorang itu juga berkurang. Allah memerintahkan kepada
orang beriman, kita semua, dengan kalimat langsung di dalam Al-Quran:
“diwajibkan atas kalian….” Perhatikanlah makna ayatnya: “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqoroh, 2:183).
Dalam hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw, beliau saw bersabda: “Islam
dibangun di atas lima sendi, (yakni): mentauhidkan (mengesakan) Allah,
menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan haji”. Seorang laki-laki
mengatakan: “Haji dan puasa Ramadhan,” maka Ibnu Umar berkata: “Tidak, puasa
Ramadhan dan haji, demikian ini aku telah mendengar dari Rasulullah Saw.” [HR.
Muslim]. Oleh karenanya tentu puasa Ramadhan itu harus dilaksanakan dengan
baik, agar hasilnya juga memperoleh kebaikan.
Manifestasi Kejujuran
Berikutnya, ibadah puasa
itu sebagai manifestasi kejujuran dan latihan untuk bersikap jujur bagi diri
pribadi yang sebenarnya. Dan jelas, kejujuran itu sangat dibutuhkan dalam
kehidupan kita semua. Sebab, yang tahu apakah puasa yang dikerjakan itu benar
dan sah atau tidak, hanyalah Allah dan dirinya sendiri. Bukan orang lain. Suami
atau istri, bapak maupun anak, juga tidak dapat mengetahuinya dengan pasti.
Kalau bersyahadat, jelas terdengar dan disaksikan oleh orang lain. Mengerjakan
sholat, juga kelihatan gerakannya secara fisik. Ibadah haji, apalagi. Karena
harus berangkat bersama para jamaah lain.
Kalau ada orang berpuasa,
lalu ingin membatalkannya, maka itu sangat mudah baginya, dan sangat mungkin
bisa tidak diketahui oleh orang lain. Misalnya ketika di dalam rumah seorang
diri, pintu jendela dikunci. Atau saat berwudhu, karena merasa sangat haus,
bisa saja pura-pura berkumur, lalu menelan atau meminumnya.
Boleh dikata, tidak ada
satupun pelatihan atau training tentang kejujuran yang sesungguhnya, kecuali
dengan berpuasa. Maka kalau kita lihat kehidupan berbangsa dan bernegara banyak
yang curang, maka bisa dikatakan puasanya tentu tidak benar.
Jujur merupakan sifat wajib
yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan
menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Para Nabi dan Rasul memiliki
sifat utama ini, Ash-Shiddiq. Termasuk dalam sifat jujur ini adalah jujur
kepada Allah, jujur kepada diri sendiri dan jujur dengan sesama.
Kejujuran merupakan perkara
yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, seperti akidah, akhlak ataupun
muamalah. Dalam aspek muamalah itu sendiri juga memiliki banyak cabang, seperti
perkara transaksi jual-beli, utang-piutang, perjanjian-kontrak, sumpah, dan
sebagainya.
Sikap jujur merupakan kunci
untuk memperoleh ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan yang hakiki.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Kejujuran adalah ketenangan, sementara
kebohongan adalah kegelisahan.” (HR. Turmudzi).
Orang yang selalu berbuat
jujur dan benar, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan
hal tersebut. Sedangkan satu kedustaan atau kebohongan, tentu akan menuntut
atau memerlukan kedustaan berikutnya, untuk menutupi kedustaan yang
sebelumnya.
Demikian seterusnya,
sehingga orang yang berdusta, jika tidak segera taubat, niscaya akan terus
berdusta, dan menjadi pendusta yang sebenarnya, dan dicatat di sisi Allah
sebagai pendusta yang sesungguhnya. Tentu hal itu akan berdampak kecelakaan
dunia maupun akhirat. Na’udzubillahi mindzalik.
Hal ini dinyatakan lebih
tegas lagi, dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd, ia
berkata: “Rasûlullâh Saw bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur,
karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang
ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur,
maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh
kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan
mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan
memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta
(pembohong).’” (H.R. Imam Ahmad dan al-Bukhâri)
Dari sini bisa ditarik
kesimpulan bahwa kejujuran adalah pangkal ketenangan, ketentraman, yang akan
membawa pada kemaslahatan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, Allah mengingatkan
seluruh umat Islam untuk senantiasa bertaqwa kepada-Nya seraya menjauhi
kebohongan: ”Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang
besar.” (QS. 33: 70-71).
Dengan demikian, jika kita
sebagai umat Islam di negeri ini ingin peroleh kedamaian, ketentraman dan
kejayaan, hendaknya benar-benar menghayati dan mengamalkan nilai-nilai
kejujuran dengan sebenar-benarnya, baik dalam konteks pribadi, berkeluarga,
bermasyarakat bahkan bernegara. Sebab, kunci segala kebahagiaan berpangkal pada
kejujuran.
Sayangnya, ketidakjujuran
boleh dikata telah merebak hampir di semua lini kehidupan sosial kita. Mencuri
timbangan di pasar. Kecurangan dalam spek pembangunan infrastruktur. Manipulasi
pajak yang tiada terkira. Biaya ini-itu yang tidak jelas aturannya atau lebih
dikenal dengan pungutan liar (Pungli) di jalan raya maupun dalam berbagai
proses perijinan. Pungli dalam proses rekrutmen pegawai, promosi pangkat dan
jabatan aparat. Bahkan juga kecurangan di ranah pendidikan, dengan kasus sering
terjadi kebocoran soal ujian bagi anak-anak sekolah, dll., dsb.
Pada lingkup yang lebih
kecil, kehidupan keluarga menjadi rusak disebabkan hilangnya kejujuran. Seperti
selingkuh, kasus PIL (pria idaman lain) dan/atau WIL (wanita idaman lain),
menyalahi janji, berkhianat dan lain-lain yang mengindikasikan tidak ada lagi
nilai-nilai kejujuran dalam biduk rumah tangga tersebut, sehingga menjadi
karam.
Rasulullah saw juga
bersabda bahwa bohong itu adalah pertanda kiamat kecil, yang berdampak
kerusakan atau bahkan kehancuran: “Di antara tanda kiamat kecil adalah
banyaknya kebohongan.” (HR. Ahmad). Dan boleh dikata, kiamat kecil berupa
kerusakan negeri dan tatanan sosial, telah kita rasakan bersama dengan data dan
fakta yang telah dipaparkan di atas.
Maka perlu ditekankan
kembali, jika seluruh penduduk suatu negeri mengagungkan sifat jujur, tentu
keberkahan akan menjadi selimut kehidupannya. Sebaliknya, manakala kebohongan
yang ditinggikan, maka kesemerawutan akan menjadi monster kehidupannya.
Bertaubat dapat
Menyembuhkan Penyakit
Ada satu kisah yang sangat
memprihatinkan dari seorang relasi yang bercerita. Dia bekerja sebagai salesman
di luar kota. Dari rumah berangkat rapi, dan setiap bulan Ramadhan, oleh
keluarganya dia tampak seperti orang yang berpuasa dengan baik. Tapi di jalan,
karena berbagai alasan, puasanya pun batal, tanpa Rukhshoh yang dibenarkan
syariah. Dan itu terus berlangsung, bertahun-tahun, setiap Ramadhan. Perjalanan
dekat pun ia tidak puasa, apalagi berjalan jauh. Begitulah, dia tidak jujur,
yang pada hakikatnya berarti dia menipu dirinya sendiri.
Suatu ketika dia jatuh
sakit parah, sangat berat. Boleh dikata tak bisa diobati. Pada saat itu timbul
kesadaran diri dan penyesalan yang mendalam bahwa selama ini ia telah menipu
diri dan keluarganya, dianggap berpuasa padahal sebenarnya tidak. Maka iapun
bertaubat dengan penuh kesungguhan. Dan Alhamdulillah, dengan perkenan Allah ia
sembuh, penyakitnya pun hilang.
Dari sini hendaknya kita
dapat mengambil ibroh-pelajaran bahwa mengamalkan tuntunan Syariah itu
sejatinya adalah untuk keselamatan diri pribadi, keluarga, masyarakat dan
bangsa secara umum. Kalau selama ini ada persepsi, pada sebagian orang, bahwa
ajaran syariah itu sebagai beban, maka persepsi keliru ini harus diperbaiki.
Tuntunan syariah itu bukan beban, tetapi justru sebagai kebutuhan yang sangat
diperlukan agar kita dapat hidup selamat, dunia akhirat.
Bahkan sejatinya, ajaran agama itu malah menguntungkan dan membahagiakan. Perhatikanlah ayat Al-Quran yang bermakna: “Sesungguhnya beruntung/berbahagialah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (syahwatnya)…” (Q.S. Al-Mu’minuun, 23: 1-5).
Dari ayat tersebut,
termasuk orang yang beruntung dan berbahagia adalah yang menjaga syahwat atau
hawa nafsunya. Dan diantara inti amalan puasa juga ialah menjaga hawa nafsu
dari amalan-perbuatan buruk yang akan mencelakakan.
Dalam ayat lain disebutkan,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Q.S.
Yusuf, 12: 53). Dariayat itu jelas, memperturutkan hawa nafsu niscaya akan
membawa kepada kejahatan dan kecelakaan.
Maka mesti kita ingatkan
bersama, dengan momentum Ramadhan yang segera menjelang, agar melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan dengan baik dan benar, guna mengembalikan kejujuran yang
sangat kita perlukan bersama. Ingatlah Rasulullah saw bersabda dengan makna:
“Puasa itu adalah benteng penghalang, maka janganlah ia berucap dengan kalimat
buruk, mencaci, dan menghina. Jika ada yang mengganggunya atau mengumpatnya,
katakanlah “aku puasa, aku puasa…” (H.R. Imam Bukhari).
“Puasa itu adalah benteng
penghalang”. Al-Imam Ibn Hajar di dalam “Fathul Baari bisyarh Shahih Al
Bukhari” menjelaskan, maksudnya sebagai benteng atau penghalang dari neraka dan
kemurkaan Allah. Karena orang yang berpuasa itu tentu akan terhindar dan
menghindarkan diri dari semua perbuatan maksiat yang tercela dan dilarang agama.
Sehingga niscaya akan dicintai Allah. Lihat makna hadits selanjutnya, “jangan
sekali berucap kalimat – kalimat yang hina di saat puasa juga, di saat selain
bulan puasa. Jangan pula mengucap kalimat–kalimat yang menipu orang lain,
kalimat- kalimat yang hina”. Perhatikanlah, bicara dusta saja dilarang dengan
tegas, apalagi melakukan kedustaan atau penipuan.
Sehingga dengan menghayati dan mengimplementasikan nilai-nilai pelatihan puasa selama satu bulan penuh Ramadhan, dengan istiqomah seterusnya ba’da Ramadhan, maka pada saat Idul Fitri, kita dapat kembali kepada kesucian fitrah insani, mendapat ridho dan berkah Allah dunia wal akhirah. Sebagaimana kabar gembira yang disampaikan Rasulullah Saw dalam haditsnya yang bermakna, “Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan ridha Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari). Amin ya Allah.
Sumber : http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/detil_page/48/27051/30/1
Post Views: 1,144