All posts by admin

Al-Falaq 1-5

Assalamu’alaikum,

Macam-macam kejahatan yang nyata ada dan disampaikan Allah dalam surat Al-Falaq, yang dengan ini Allah memberikan doa / ayat agar kita terhindar dari keburukan yang diperbuat oleh kejahatan tersebut, insyaallah.

1. Kejahatan makhluk yang fisik
2. Kejahatan malam apabila telah gulita
3. Sihir yang menipu dengan simpul-simpul / buhul-buhul / jimat
4. Orang yang dengki

Tauhid yang kuat disebutkan dalam ayat pertama, Keimanan bahwasanya Allah SWT, Tuhan yang menguasai Makhluknya, dan kepada-Nya tempat mengadu terhadap keburukan-keburukan yang dihasilkan makhluk-makhluknya.

بِسْمِ ٱللَّـهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلْفَلَقِ

مِن شَرِّ مَا خَلَقَ

وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

وَمِن شَرِّ ٱلنَّفَّـٰثَـٰتِ فِى ٱلْعُقَدِ

وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh (sebagian tafsir mengartikan: Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai makhluk),

dari kejahatan makhluk-Nya,

dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,

dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.

In Depth Analysis & Tafseer of Surha 113 Falaq by Nouman Ali Khan

Asbabun Nuzul – Kisah Turun Surah Al-Falaq (& An-Naas)

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah Saw, pernah sakit yang agak parah, sehingga datanglah kepadanya dua malaikat, yang satu duduk disebelah kepalanya dan yang satunya lagi disebelah kakinya. Berkatalah malaikat disebelah kakinya kepada yang ada disebelah kepalanya: “Apa yang engkau lihat ?” Ia berkata : “Dia kena guna-guna”. “apa guna-guna itu?”. “guna-guna itu sihir”. “Siapa yang membuat sihirnya?” Ia menjawab : “Labid bin al-A’sham Alyahudi yang sihirnya berupa gulungan yang disimpan disumur keluarga si Anu,dibawah sebuah batu besar. Datanglah ke sumur itu, timbalah airnya dan angkat batunya kemudian ambillah gulungannya dan bakarlah”.

Pada pagi hari Rasulullah Saw, mengutus ‘Ammar bin Yasir dengan kawan-kawanya. Setibanya di sumur itu tampaklah airnya merah seperti air pacar. Air itu ditimbanya dan diangkat batunya serta dikeluarkan gulungannya terus dibakar dan ternyata di dalam gulungann itu ada tali yang terdiri dari sebelas simpul. Kedua surat ini (Q.S 113 dan Q.S 114) turun berkenaan dengan peristiwa itu. Setiap kali Rasulullah mengucapkan satu ayat terbukalah simpulnya.

Diriwayatkan oleh al-baihaki didalam kitab Dala’ilun Nu-buwah dari al-kalbi dari Abi Shalih yang bersumber dari Ibnu Abbas.
 
Keterangan :
Dalam kitab Bukhari terdapat syahid (penguat Hadist) yang ceritanya seperti itu, tapi tidak menyebutkan sebab turunnya dua surat itu. Dalam riwayat lain ada syahid yang ceritanya seperti itu dan menyebutkan sebab turunnya kedua surat itu.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa kaum yahudi membuat makanan bagi Rasulullah Saw. Setelah makan makanan itu tiba-tiba Rasulullah sakit keras sehingga sahabat-sahabatnya mengira bahwa penyakit itu timbul dari perbuatan yahudi itu, maka turunlah Jibril membawa dua surat ini (Q.S 113 dan Q.S 114) dan membacakan ta’udz.
Seketika itu juga Rasulullah Saw, keluar menemui sahabat-sahabatnya dalam keadaan sehat wal’afiat.
Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitab ad-Dalail dari Abi Jafar ar-Razi dari ar-Rabibin anas yangbersumber dari Anas bin Malik.

.

Al-Imam Muhammad Abduh berkata: Dalam masalah ini, terdapat lebih banyak hadis yang menerangkan bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah disihir oleh Labid Ibn al-A’sam. Sihir itu telah berjaya mempengaruhi (meresapi) diri Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga mengkhayalkan Baginda dan menyebabkan Baginda seolah-olah melakukan sesuatu padahal baginda tidak melakukannya, atau baginda seperti mendatangi sesuatu, sedangkan Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mendatanginya.



Hasad Dan Dengki Membakar Kebaikan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ أَوْ قَالَ الْعُشْبَ

 

Dari Abu Hurairah r.a bahawa Nabi ﷺ bersabda: “Jauhilah hasad (dengki), kerana hasad dapat memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar.” (HR Abu Daud – 4257)

Janganlah kalian saling mendengki, saling menfitnah (untuk suatu persaingan yang tidak sehat), saling membenci, saling memusuhi dan jangan pula saling menelikung transaksi orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslimnya yang lain, ia tidak menzhaliminya, tidak mempermalukannya, tidak mendustakannya, dan tidak pula melecehkannya. Takwa tempatnya adalah di sini –seraya Nabi saw. menunjuk ke dadanya tiga kali.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)



Teknik Meningkatkan Produktifitas Pepaya

produktifitas_pepaya

Teknik untuk tut pokok betik ikut kaedah yang digunakan di Thailand

1. Cari pokok induk yg elok, pangkas supaya tumbuh tunas baru.
2. Bila tunas dah cukup besar, tebuk lubang spt dlm gambar, masukkan kayu supaya lubang itu tidak tertutup.
3. Balut tempat tebukan dgn tanah atau koko peet dan bungkus.
4. Tunggu sehingga keluar akar baru potong dan pindahkan.

Kredit: Azhar Apendi Muhamad
From: https://www.facebook.com/thesiakapkeli



Al-Baqarah 285-286

Al-Baqarah 285-286

آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285) لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286)

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

http://m.rumaysho.com/amalan/keutamaan-membaca-dua-ayat-terakhir-surat-al-baqarah-pada-waktu-malam-11085.html



ZISWAF Untuk Misi Pengembangan Darul Funun

Assalamu’alaikum,
sejak tahun 1875 DFA mengembangkan ZISWAF untuk membangun umat di jalan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat,
saat ini DFA sedang merintis Lembaga Amal Al-Ikhlas sebagai koordinator ZISWAF.

Semoga Allah membantu kita dalam mewujudkan niat baik ini, dan semoga diringankan hati dan kaki kita untuk berpartisipasi membangun umat ke arah yang lebih baik.

.

Form Donatur
http://bit.ly/donaturDFA

donasi panel



Hasil Seleksi Penerimaan Siswa Baru MTs TP 2015/2016

No No Pendaftaran Nama Keterangan
1 13 AINUL RAFIQ LULUS
2 12 ANDINI PUTRI LULUS
3 19 AZIZAH LULUS
4 22 ANNISA NURUL MAIDENDI LULUS
5 8 DINDA ANDESTI LULUS
6 15 ELSA FITRIA MAYORI LULUS
7 33 FHANI ARIYANI LULUS
8 14 LUSI APRILA ERMAN LULUS
9 5 TAMARA NOVIANDI P LULUS
10 20 MUHAMMAD RIVAL LULUS
11 9 M YAUMUL  ZIKRULLAH LULUS
12 23 M . ARIF LULUS
13 16 MARDATILLA YESI LULUS
14 10 NOFITRA LULUS
15 27 NATASYA AZZAHRA LULUS
16 25 RAHMAD ANDESPA . P LULUS
17 16 RANGGA SUTAWIJAYA LULUS
18 17 RESITA WULANDARI LULUS
19 37 THORIQ HERMAWAN LULUS
20 11 WIR ZARTI AZZAHRA LULUS
21 24 ZAKRI PERDANA LULUS

Link lengkap: http://goo.gl/Z5ZrCO



Soekarno Menghadap Panglima Jihad

SIANG itu, Juni 1942, ada sesuatu yang berubah pada diri Soekarno. Ia tampil lebih elegan. Peci hitamnya yang semula pendek berubah bentuk menjadi lebih tinggi. Rupanya, itulah peci baru hadiah dari Syekh Abbas Abdullah. Kenang-kenangan yang diberikan Syekh Abbas di Jorong Padang Japang, Kecamatan Guguk, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat, sebelum kemerdekaan Indonesia.

“Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam,” kata Syekh Abbas, seperti dituturkan Kepala Desa Padang Japang, Harmaini, 61 tahun, kepada Gatra. Syekh Abbas adalah penerus Darul Funun El Abbassyiah (DFA), pondok pesantren tebesar dan pelopor pembaruan di Sumatera Tengah.

Waktu itu, peci merupakan indentitas kaum muslim. “Umat akan mendu kung kamu, selama kamu tidak memisahkan agama dan pemerintah. Kamu juga harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan –

menghancurkan bangsa kita,” kata Syekh Abbas, seraya menatap Bung Karno yang masih membetulkan letak pecinya.

Peci tinggi itu tampak pas. Serasi dengan wajah Bung Karno yang kala itu agak kurus. Peci lama Bung Karno -yang sudah lusuh dan pendek- ditinggalkan di surau syekh. Bung Karno tampak menikmati peci barunya. Beberapa kali ia bercermin di dinding kamar Syekh Abbas. Sesaat kemudian keduanya melangkah ke halaman Gedung DFA, sekitar 50 meter dari kediaman syekh. Di situ, Bung Karno berpidato sekitar 30 menit di hadapan para siswa, lalu pamit kembali ke Padang.

Namun, sebelum pulang, Bung Karno diapit Syekh Abbas dan Syekh Mustafa -kakak beradik putra Syekh Abdullah, pendiri DFA- dijepret juru kamera Said Son. Tiga hari kemudian, Syekh Abbas mengungkapkan pertemuannya dengan Bung Karno di hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid Al-Abbasyiah. Kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar dan penyelenggaraan negara.

Syekh Abbas menyarankan bahwa negara harus berdasar ketuhanan. Selain itu, ia juga mengingatkan agar Bung Karno pandai-pandai menjaga martabatnya. Sebab, menurut syekh, gigi taring sebelah kanan Bung Karno dempet. Maksudnya? “Biasanya orang bergigi begitu bersifat ramang mata, alias mudah jatuh cinta kepada wanita,” kata Syekh Abbas.

Maka, jika tidak berhati-hati, Bung Karno bisa tacemo alias tercela oleh wanita. “Peci itu, paling tidak, akan senantiasa menyadarkan kita kepada agama dan bangsa,” kata Syekh Abbas. Tak jelas, apa reaksi Bung Karno saat menerima petuah itu.

Yang pasti, di mata Bung Karno, Syekh Abbas adalah orang yang dicarinya, untuk dimintai pendapatnya sehubungan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Dan, kesempatan itu muncul saat ia terbebaskan dari tawanan Belanda di Bengkulu, 1942. Saat itu, Jepang mulai memasuki Indonesia. Cemas melihat situasi negeri ini yang mulai kacau, Bung Karno yang dibui di Bengkulu diboyong Belanda ke Kota Cane, Aceh.

Kala perjalanan sampai di Painan, sekitar 70 kilometer dari Padang, Bung Karno ditinggalkan. Belanda ketakutan karena Jepang telah sampai di Bukittinggi. Maka, bersama istrinya, Ibu Inggit dan seorang anak angkatnya, Bung Karno naik pedati ke Padang.

Dua hari kemudian mereka sampai di Padang, dan disambut Abu Bakar Djafar. Pakaian Bung Karno yang kotor kemudian diganti dengan beberapa setelan jas oleh Persaudaraan Saudagar Indonesia (Persdi). Lalu, pakaiannya yang kumuh dibagikan kepada anggota Persdi untuk kenang-kenangan.

Dari Padang, rombongan meneruskan perjalanan ke Bukittinggi. Ia bermalam di kota dingin itu, dan membebaskan Anwar Sutan Saidi, ayah Rsutam Anwar, pemilik Hotel Minang, tokoh pergerakan yang ditahan Jepang karena dituduh berpihak kepada Belanda. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Payakumbuh. Dari sini, Bung Karno menuju Jorong Padang Japang, yang jalan tanahnya berdebu sejauh 18 kilometer. Ia disambut ribuan warga serta siswa DFA dan Nahdhatunnisyaiyah di sepanjang jalan 500 meter.

Peninjauan Bung Karno ke Jorong Padang Japang ternyata cukup “rumit”. Misalnya, ia masih harus menuruni ratusan anak tangga yang terbuat dari sabut kelapa. Lalu, untuk menuju kampus DFA, ia meniti pematang tebat nan berliku, yang cuma bisa dilewati satu orang sejauh 600 meter.

Kini, kampus DFA menyisakan dua bangunan. Yakni, enam lokal ruang belajar dan kantor merangkap asrama siswa berukuran 22 x 12 meter. Kondisi bangunan itu menyedihkan. Langit-langitnya lapuk dimakan usia. Makam dua ulama besar, Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, ditumbuhi lumut menandakan jarang dikunjungi orang. Setelah lama tak aktif, sejak tahun 1994 DFA kemudian dihidupkan kembali oleh Yayasan Darul Funun El-Abbasiyah. Kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke gedung baru tiga lokal dengan seratusan siswa, persis di atas tebing gedung lama.

DFA, yang didirikan Syekh Abdullah pada 1875, awalnya hanya pengajian sistem halaqah di sebuah masjid tua beratap ijuk. Setelah Syekh Abdullah meninggal pada 1903 dalam usia 73 tahun, DFA ditangani dua putranya, Syekh Abbas dan Syekh Mustafa. Keduanya pernah diasuh ulama Minangkabau terkemuka di Mekkah, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Mereka juga belajar di beberapa perguruan di Timur Tengah dan Eropa. Bahkan, keduanya sempat jadi murid Syekh Djamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh di Kairo, Mesir.

Pulang ke Tanah Air pada 1919, dalam usia 36 tahun, Syekh Abbas bersama Syekh Abdul Karim Amarullah, ayah almarhum Prof. Dr. HAMKA, dan beberapa ulama tamatan Mesir, mendirikan sejumlah sekolah dengan satu nama: Madrasah Sumatra Thawalib. Inilah madrasah pertama sistem klasikal yang memakai papan tulis serta kursi dan meja. Tapi, pada 1930, Syekh Abbas mengganti nama sekolahnya menjadi DFA karena menolak bergabung ke dalam Persatuan Muslimin Indonesia (Permi).

DFA tak sebatas mengajarkan Al-Quran dan Hadits, tapi juga ilmu falaq, geografi, fisika, kimia, aljabar, serta kesenian, semuanya dalam bahasa Arab. DFA juga punya barisan pandu terlatih, grup kesenian, dan kesebelasan yang mampu bermain hingga ke Singapura. Majalah Al Imam adalah media perjuangan mereka.

Syekh Abbas, berdarah Arab Yaman, bertubuh tinggi kekar dan bercambang, tak memerlukan bantuan siapa pun dalam mengelola pesantrennya. DFA bisa tumbuh pesat berkat dukungan tanah wakaf penduduk dan usaha kebun karet dan tujuh toko buku milik Syekh Abbas di kota Payakumbuh. Toko itu adalah merupakan agen dan penyalur buku-buku asal Timur Tengah untuk Sumatera Tengah. Pada 1940, siswa DFA tercatat lebih dari 4.000 orang. Mereka berdatangan dari berbagai pelosok Sumatera, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.

Sejalan dengan kemajuan itu, sekolah ini merupakan basis perjuangan kemerdekaan. Pasukan jihad untuk menghadapi penjajah Belanda terlahir dari sini. Waktu itu, Syekh Abbas sendiri terpilih menjadi imam (panglima) jihad wilayah Sumatera Tengah. Itu sebabnya, beberapa kali Belanda ingin memberangus DFA. Namun, niat itu selalu urung terlaksana setelah Belanda bertatap muka dengan Syekh Abbas.

Kala Bung Karno mengunjunginya, Syekh Abbas yang telah menanti di tangga Surau Baru, nama kediaman syekh, ia tampak kurang sedap menyambut. Rupanya syekh kecewa berat. Soalnya, janji Bung Karno kurang tepat, alias molor dua jam. Bung Karno baru tiba di kampus DFA pukul 13.00. Padahal, warga dan siswa sudah capek menanti. Masakan rendang dan gulai kambing untuk sang tamu pun lama tak tersentuh. “Kalau begini nanti kau memimpin negara ini, rakyat akan kecewa. Negara akan binasa,” kata Syekh Abbas.

Bung Karno, yang paham watak keras Syekh Abbas, cuma tersenyum dan menunduk. Mereka berdua kemudian masuk ke kamar kerja syekh. Hampir tiga jam keduanya berbicara empat mata. Sementara itu, Ibu Inggit dan anak angkatnya ditemani Nurjani dan Zuraida, keponakan syekh, berbincang di ruang tamu. Saat makan siang inilah Bung Karno dihadiahi peci tinggi. Sejak itu, Bung Karno selalu mengenakan peci tinggi, dan tampak lebih gagah.

Peci tinggi itu seakan menjadi tak terpisahkan dari Bung Karno. Peci itu pula yang pernah digunakan Bung Karno sebagai alat “diplomasi”. Kala Bung Karno mengunjungi Kuba, pada 1962, pemimpin Revolusi Kuba Fidel Castro sempat bertukar “tutup kepala” dengannya. Castro ganti mengenakan peci Bung Karno, dan kepala Bung Karno ditutupi topi tentara ciri khas Castro. Keduanya tertawa lepas menikmati adegan langka ini.

(Fachrul Rasyid HF/Dari Buku Refleksi Sejarah Minangkabau : Dari Pagaruyung sampai Semenanjung & Majalah GATRA 9 Juni 2001-)



Tadabbur Alam: Menyambut 1 Muharram 1436 H

image
Tadabbur Alam: 1 Muharram 1436H

Dalam rangka menyambut 1 Muharram 1436H, siswa-siswi DFA melakukan kegiatan tadabbur alam, kegiatan ini juga diikuti dengan interaksi siswa dengan masyarakat, mengunjungi UKM industri alas telur.

Rute Tadabbur Alam: Jopang – Manganti – Batang Sinamar – Pematang Sawah – Baruah Puncak Bakuang



Majalah dari Sebuah Jorong

Oleh Fachrul Rasyid HF
Komentar Singgalang di Hari Pers Senin 11 Febaruari 2013
http://fachrulrasyid.wordpress.com/2013/08/08/majalah-dari-sebuah-jorong/

Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke 67 ini mengingatkan saya pada sebuah jorong Padangjapang, satu dari tujuh jorong di Kenagarian VII Koto Talago, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, 18 Km di utara Kota Payakumbuh. Hampir seratus tahun silam di jorong ini pernah diterbitkan sebuah majalah yang kemudian melahirkan sejumlah pengarang.

Majalah itu bernama Al Imam, diterbitkan Syekh Abbas Abdullah, tahun 1919 sepulang belajar di Timur Tengah. Kemudian bersama Syekh Abdul Karim Amarullah, ayah almarhum Prof. Dr. HAMKA, dan beberapa ulama mendirikan sejumlah sekolah  di daerah asal masing-masing dengan satu nama: Madrasah Sumatra Thawalib (MST). Inilah madrasah pertama sistem klasikal yang memakai papan tulis serta kursi dan meja.

Di tahun yang sama Syekh Ibrahim Musa pendiri MST Parabek Bukittinggi menerbitkan Al-Bayan. Pada 1918 Zainuddin Labay El Yunusiah pendiri Diniyah Puteri Padangpanjang, menerbitkan Al Munir El Manar, melanjutkan majalah Al Munir, majalah pertama di Indonesia, yang diterbitkan Abdul Karim Amarullah, yang lama tak terbit.

Di MST Sungayang, Tanah Datar, Syekh Sungayang menerbitkan majalah Al-Basyir, lalu, 1920 diteruskan Muhammad Yunus dan Ismail Laut. Di SMT Maninjau Syekh H. Rasyid menerbitkan majalah Al-Ittiqan. Sebagaimana majalah yang lain, majalah Al Imam Padangjapang berbasis di DFA. Majalah setengah bulanan itu berukuran kertas kuarto. Menggunakan tulisan Arab Melayu alias huruf Jawi, Al Imam memuat berbagai ilmu pengetahuan, artikel antipenjajahan, bahkan puisi dan pantun.

Majalah itu beredar luas mengikuti daerah asal para murid DFA dan Nahdhhatun Nisyaiyah (NN) mekaran DFA. Maklum, murid kedua sekolah selain berasal dari sekitar Kecamatan Guguk dan Kabupaten Limapuluh Kota, berdatangan dari Riau Daratan, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, Singapura, Malaysia bahkan Patani Thailand. Dari Bengkulu yang terbanyak berasal dari Krui, Bengkulu Selatan, dan dari Riau Kepulauan berasal dari Pulau Rupat Bengkalis.

Tahun 1968 saat berusia 12 tahun saya menemukan salah satu edisi Al Imam dalam tumpukan buku di sebuah podium tua di asrama DFA. Tumpukan buku itu adalah sisa pembakaran yang dilakukan Pemuda Rakyat antek Partai Komunis Indonesia (PKI) saat pergolakan PRRI 1958-1960.  Tahun 1970 saya juga menemukan setempel Al Imam, bertulisan Arab terbuat dari tembaga di surat Dt. Mangkuto, salah satu asrama siswa sekitar 75 meter dari gedung DFA. Takjelas, apakah ada yang memelihara setempel atau tidak.

Basis Perjuangan    

Jorong Padangjapang, kini berpenduduk sekitar 2.500 jiwa, terbilang unik. Sekitar tahun 1940-1975 di jorong ini terdapat empat sekolah menengah: DFA, NN,  Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Tabek Gadang masing-masing tingkat tsanawiyah/ aliyah. Semula MTI didirikan Syekh Muhammad Shaleh famili Syekh Abbas Abdullah, di Jorong Padang Kandis, 1906 dipindahkan ke Tabek Gadang Padang Japang. Kemudian Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun didirkan alumni NN. Tak aneh jika kala itu nyaris separuh penghuni jorong ini adalah siswa keempat sekolah tersebut.

DFA didirikan oleh ulama Syekh Abdullah pada 1875. Awalnya hanya berupa pengajian sistem halaqah di sebuah masjid tua beratap ijuk. Setelah Syekh Abdullah meninggal pada 1903 dalam usia 73 tahun, pada tahun 1919 puteranya Syekh Abbas, saat berusia 36 tahun, dan kakaknya Syekh Mustafa pulang belajar dari Timur Tengah, melanjutkan sekolah itu. Di Mekah kaka beradik itu diasuh  ulama Minangkabau Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Mereka juga sempat belajar di beberapa perguruan di Timur Tengah dan Eropa. Bahkan pernah jadi murid Syekh Djamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh di Kairo, Mesir. Merekalah yang mengubah sistem pendidikan dan mendirikan MST.

Pada tahun 1921 beliau kembali ke Mekkah,  dan belajar di Al-Azhar Mesir sampai tahun 1924. Pulang melalui Palestina, Libanon dan Syria beliau meneruskan MST. Tahun 1930 kala tokoh-tokoh MST, seperti Ilyas Ya’kub dan Mukhtar Luthfi mendirikan organisasi PERMI (Persatuan Muslim Indonesia), sebuah organisasi politik antipenjajah, Syekh Abbas Abdullah menolak bergabung dan mengganti nama sekolahnya jadi DFA.

DFA tak sebatas mengajarkan Al-Quran dan Hadits, tapi juga ilmu falaq, geografi, fisika, kimia, aljabar, ilmu mantiq serta kesenian, semuanya dalam bahasa Arab. DFA juga punya barisan pandu terlatih, grup kesenian, dan kesebelasan yang mampu bermain hingga ke Singapura. Foto kesebelasan ini pernah dipajang di Lapau Dt. Amat Padangjapang.

Saat perjuangan kemerdekaan, DFA jadi basis perjuangan. Maklum, Syekh Abbas adalah Panglima Jihad Sumatera Tengah. Pada Juli 1942, saat Jepang memasuki Indonesia, dan Soekarno dilepas dari tahanan Bengkulu, Soekarno melalui Padang ke Padangjapang menemui Syekh Abbas. Syek mengimngat bahwa negara ini mesti berdasarkan ketuhanan. Saat makan siang Bung Karno dihadiahi peci tinggi, pengganti peci pendek Soekarno yang sudah lusuh. Sejak itu, Bung Karno selalu mengenakan peci tinggi, dan tampak lebih gagah.

Ketika perang melawan agresi militer Belanda II 1948 banyak pemimpin negara berbasis di Padangjapang. Mr. Tengku Mohammad Hassan Gubernur Sumatera kala itu berkantor di DFA. Setelah Soekarno dan Hatta ditahan Belanda di Jogyakarta, lalu, didirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), DFA jadi markas PDRI. Presiden PDRI, Mr. Syafruddin Prawira Negara  menghuni Suarau Ruyung dan berkantor di DFA bersama  Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) dan Menteri Agama. Maka kala Moh. Natsir dan Dr. Leimena menjemput Mr. Syafrudin agar kembali ke Jakarta pertemuan diadakan di gedung DFA.

Majalah Al- Imam efektif terbit selama 3 tahun ( 1919-1921). Ketika Syekh Abbas melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, majalah ini diurus para guru yang ada. Begitupun, Al-Imam berhasil melahirkan pengarang terkemua. Antara lain, Abbas Hasan, pengarang novel dan buku pelajaran. A. Hasan Bandung, pengarang Tafsir Al Quran dan Buku (terjemahan) Hadits Bulughul Muram.

Sebelumnya, alumni DFA Zainudin Labay Elyunusia dan pendiri Diniayah Puteri PadangPanjang jadi penerbit Al Munir Al Manar. Zainuddin Hamidi, pendiri Ma’had Islamy Payakumbuh, Nashruddin Thaha, pendiri Islamic College Payakumbuh, penulis Tafsir Alquran. Kemudian Ilyas Ya’kub dan Mukhtar Luthfi juga pengarang. Kini pun siswa DFA mengikuti jejak pendahulunya. (*)



Syekh Abbas Abdullah – Stylist Proklamasi

Oleh: Iwan Satyanegara Kamah – Jakarta (2010) (Sumber)

Tidak banyak dari kita yang menyadari bahwa proklamasi yang disuarakan pada 17 Agustus 1945 lekat dan terbungkus dengan seni. Justru sebaliknya banyak dari kita yang mengendapkan kesan bahwa prokalmasi sama dan sebangun dengan asap mesiu, bambu runcing, tentara pelajar, pekik merdeka, laskar-laskar perjuangan atau pertempuran bersenjata.

Ya jelas, kalau sedang lagi berjuang membela sebuah prinsip penting, tidak ada tempat lain selain berjuang dengan kekuatan seadanya. Kalau perlu dengan ayunan tangan pun tak menjadi soal atau kekuatan senjata. Yang penting berjuang secara fisik. Memikirkan yang lain, maaf saja, tidak ada tempat untuk dilakukan. Apakah benar proklamasi 17 Agustus 1945 seperti itu? Jawabannya cukup lima huruf: TIDAK.

Mungkin hanya Indonesia negara satu-satunya di dunia yang getol mengurusi hal-hal berkaitan dengan seni ketika sedang perang revolusi. Kalau kita membayangkan revolusi di Afrika, pasti terbayang akan pembantaian suku, pertumpahan darah dan kematian. Bagaimana dengan di Amerika Latin? Sama saja. Yang terdengar hanya perang gerilya melawan penguasa. Gerilya berasal dari bahasa Spanyol, /guerra/ yang artinya perang dan diadaptasi ke bahasa Inggri menjadi /guerilla/ atau gerilya daam bahasa Indonesia. Di belahan dunia manapun begitu, kalau lagi perang, ya perang! Mengurusi yang lain, seperti kesenian, menjadi urusan kesekian. Nanti saja kalau sudah selesai revolusinya.

Ketika baru masuk SMA di Jakarta, saya dan teman-teman pernah mengunjungi pameran seni Bung Karno di Taman Ismail Marzuki tahun 1983. Saat itu namanya sedang dipendam dalam-dalam oleh penguasa. Tapi sebaliknya pameran itu dipadati pengunjung yang sangat antusias dengan masalah seni, terutama pada masa revolusi. Terlihat bagaimana nuansa seni, terutama lukisan dan pahatan, sangat identik dengan gelora revolusi dan perang kemerdekaan.

Nah, Indonesia justru sebaliknya, beda negara-negara lain. Proklamasi 17 Agustus 1945 seperti sudah dipersiapkan tata seninya jauh sebelum negeri ini lahir. Apa yang dibicarakan Soekarno pertama kali mendarat di Jakarta di Pelabuhan Pasar Ikan pada 1942? Setelah dia dibuang bertahun-tahun di Ende, Flores, lalu ke Bengkulu, lalu melanglang keliling Sumatera dan akhirnya terdampar di Palembang, dan pulang berlayar dengan perahu kecil ke Jakarta? Dia hanya membicarakan masalah model jas dengan penjemputnya, yang juga bekas iparnya, Anwar Tjokroaminoto. Bukan strategi perjuangan.

Sekolah-Tinggi-Tabib-Geneeskundiga-Hoge-School-di-Jakarta

Lalu apa yang dilakukan pemerintah negeri ini yang baru berusia 4 bulan, ketika keadaan Jakarta sedang genting melinting dengan kacau balau menghalau apapun? Pameran lukisan! Beberapa pelukis seperti Affandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, Mochtar Subianto, Raden Ali, Kartono Judoko dan seniman lainnya, mengadakan pameran di gedung Sekolah Tinggi Tabib Jakarta. Pameran itu dibuka oleh Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin dan dihadiri pembukaannya oleh Presiden Soekarno yang gila seni beserta istri, Wakil Presiden Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir serta beberapa menteri, termasuk Sir Philip Christison, seorang juru runding dari Inggris.

Semua itu tak lepas dari intelijensi para pendiri negara ini yang punya wawasan luas, termasuk menyentuh dunia seni dan penampilan. Lihat saja, mana ada penampilan modis mereka yang kelihatan jelek dan kumuh, meski untuk memikirkan pangan saja sangat susah saat itu. Mereka semua terlihat ganteng, necis, parlente dan sedikti modis dengan pakaian dan penampilan a la kadarnya. Bandingkan dengan tokoh-tokoh asing… Hmmm… jauuuuh.

Paman Ho Chi Minh, terlihat seperti opa-opa tua ompong berpakaian lusuh. Churchill yang perlente mirip gentong besar yang bisa berjalan. Mao seperti tukang obat yang baru keluar hutan mencari ramuan dari tanaman. Castro mirip tentara dekil yang jarang mandi dan berdandan dengan brewok seperti hutan lindung. Nehru bagaikan mannequin. Beda dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir atau Amir Sjarifuddin yang terlihat bersih, intelek dan good-looking dengan penampilannya.

Penampilan tokoh dan pendiri bangsa-bangsa lain di manapun sangat jelas mewakili apa yang mereka perjuangkan. Melihat para pria berkumpul memakai kaffiyeh (penutup kapal untuk pria Arab), pasti mereka sedang membicakan Yasser Arafat, tokoh Palestina. Atau topi hijau dengan bintang merah yang dipakai oleh Tentara Merah (ABRI-nya Cina), pasti itu gaya Mao Tse-tung, serta Fidel Castro dengan topi militer warna hijau khasnya atau tokoh Prancis Charles de Gaulle dengan topi mirip kaleng. Juga seorang Nehru dari India dengan peci putihnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah sulit dipisahkan dengan visual peci hitam yang bertengger di atas kepala beberapa pentolan pendiri negeri ini, seperi Soekarno dan Hatta. Saat masa revolusi ketika orang melihat ada tokoh berpeci, pasti yang dibicarakan tentang proklamasi. Tentang kemerdekaan. Tentang tanggal 17 Agustus 1945. Terutama pada diri Soekarno dan juga Hatta. Sang dua sejoli.

Soekarno-tanpa-peci

Sejak kapan peci hitam menjadi ciri khas proklamasi? Ya sejak 17 Agustus 1945! Sampai tanggal 17 Agustus 1966, hari 17an terakhir Soekarno, dia selalu memakai peci hitam bergaya khas ketika bertindak sebagai pusat perhatian di podium perayaan 17 Agustus. Hanya menjelang akhir hayatnya, rakyat Indonesia baru bisa melihat Soekarno asli tanpa peci hitam. Saat dia tak punya kekuasaan lagi dan mulai sakit-sakitan.

Ketika selesai menjalani pembuangan di Bengkulu bersama keluarga dan para pembantunya tahun 1942, Soekarno terpaksa berkeliling Sumatera dengan kondisi yang melelahkan dan menyebalkan. Pakaiannya lusuh dengan peci hitam yang pendek terlihat kurang tampan dan proporsional, ditambah lagi jarang mandi karena dia dan keluarganya melakukan perjalanan jauh itu (kadang mengendarai dokar) dengan penuh ketakutan atas gangguan dari tentara Jepang, yang sedang menderita kekalahan oleh pihak Sekutu.

Dari Bengkulu melalui jalan darat menuju kota Painan (kota pesisir kearah tenggara Padang), lalu ke Bukittingi dan berkeliling ke Payakumbuh dan akhirnya menemui sahabatnya, yang juga memimpin sebuah pesantren terkenal, Darul Funun al Abbasiyah, di desa Padang Japang, Guguk, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat. Kala itu Soekarno bukan siapa-siapa dan belum menjadi presiden.

“Kamu harus berhati-hati terhadap kaum komunis dan sekuler yang akan menghancurkan bangsa ini”, kata pemimpin pesantren sambil menatap Soekarno yang sedang membetulkan sebuah peci hitam tinggi. Peci tersebut memang baru saja diberikan oleh Syech Abbas Abdullah, pemimpin pesantren itu ketika melihat penampilan Soekarno kurang oke dengan peci lamanya yang lebih pendek.

Perbedaan-peci-hitam-Soekarno

Peci itu memang pas dan serasi dengan visual wajah Soekarno. Pas margopas! Peci lamanya mana? Di tinggal di pesantren Syech Abbas Abdullah, yang juga menyarankan agar kelak Indonesia merdeka dan Soekarno menjadi pemimpinnya, Indonesia harus berdasarkan ketuhanan. “Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas umat Islam”, ujar sang syech kepada calon pemimpin bangsa terbesar umat Islamnya di jagat.

Lengkap dan pantas sudah penampilan baru Soekarno. Dia terlihat lebih ganteng dan siap memimpin negeri ini dengan penampilan khasnya tiada dua di dunia: peci hitam tinggi pemberian Syech Abbas Abdullah. Tapi nanti duluuu… Sang tuan rumah juga menyarankan agar penampilan baru Soekarno diimbangi dengan martabatnya yang handsome juga. Menurut penerawangannya, gigi taring Soekarno sebelah kanan itu dempet. Artinya? “Biasanya orang bergigi begitu bersifat rimbang mata atau mudah jatuh cintah kepada wanita”, ramal Syech Abbas Abdullah.

Akhirnya, peci hitam itu menjadi ciri khas visual proklamasi dan perjuangannnya di tahun-tahun kemudian. Peci itu menjadi benda seni yang memwakilkan sebuah sosok yang memiliki andil dengan proklamasi. Di kemudian hari bahkan menjadi ciri khas orang Indonesia. Hatta yang tak biasa berpeci selama sekolah di Eropa, akhirnya mengikuti Soekarno berpeci pada saat-saat tugas kenegaraan dan hingga sekarang diikuti menjadi bagian penting dari busana resmi presiden-presiden Indonesia.

Proklamasi 17 Agustus 1945 telah dikumandang, lalu dipertahankan dengan berdarah-darah dan akhirnya diisi dengan susah payah, selalu diwakili dengan visual pelakunya yang berpeci hitam. Ketika Soekarno membacakan naskah proklamasi, ikut upacara keagamaan di Gereja Mormon, berziarah ke makam Abdul Qadir Jailani serta makam George Washington, berpidato di Kongres Amerika Serikat, rapat umum di Stadion Lenin, Moskow, berdiskusi di Balai Rakyat Beijing dengan Mao, sowan berkali-kali ke Kaisar Hirohito, hampir pingsan di La Paz, Bolivia, ditangkap dan dibuang Belanda ke Prapat, bersembahyang di mesjid Leningrad (Petersburg), berpesta dengan Marilyn Monroe, naik sepeda di Kobenhavn, Denmark, merokok bareng Nehru di India, diskusi dengan Juan Peron di Buenos Aires, serta ngobrol dengan Elvis Presley di Hawaii, peci hitam itu selalu ada dan memvisualkan keindonesiaan yang makin melekat.

Tidak terbayang bila Soekarno melepas peci hitamnya setelah dibuang dari Bengkulu, karena pendek dan lusuh bentuknya. Untungnya hal ini tidak terjadi, karena jasa Syech Abbas Abdullah. Dia menjadi stylist proklamasi tanpa disadari. Hal-hal sepele sebelum dan sesudah proklamasi 17 Agustus 1945, memang selalu diperhatikan terutama masalah seni dan penampilan untuk memancarkan kekuatan visual yang dominan. Indonesia tanpa Soekarno tidak terbayangkan seperti apa. Soekarno tanpa peci hitam tinggi, juga tak bisa dibayangkan.

Seperti yang dinubuatkan Syech Abbas Abdullah, negara Indonesia akan selalu memikirkan penampilan tanpa esensi. Bangsa Indonesia memang tak mengenal dan kurang suka dengan kekuatan riset. Senangnya bereksperiman sesaat dan improvisasi tanpa rencana. Mirip seperti seni, yang kaya improvisasi. Bukankah naskah proklamasi kemerdekaan ini ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta di atas sebuah piano? (*).

SUMBER:

1. Majalah Gatra, 9 Juni 2001, “Peci Tinggi Panglima Jihad” .

2. Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, “Kronik Revolusi Indonesia” (Jilid I 1945), Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan dikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Jakarta, 1999.



Implementasi Ibadah Pasca Haji Dan Qurban Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Bahan Kajian Sosial dan Keberagamaan, Pusat Pembinaan Rohani Pegawai (BAPINROH) Badan Kepegawaian Daerah Pemda DKI Jakarta, Balai Agung Propinsi DKI Jakarta Senin 31 Januari 2005

Implementasi Ibadah Pasca Haji Dan Qurban Dalam Kehidupan Bermasyarakat: Dr. Afifi

Image credits: www.sothebys.com

Hajj–Hunglinger, Andreas Magnus.
[PANORAMIC OVERVIEW OF MECCA]. VIENNA: CARL PONHEIMER, 1803


Waqaf Shadaqah Jariyah Milik Utsman bin ‘Affan di Madinah

Oleh : Ustadz Shalahuddin AR Daeng Nya’la (Sumber)

1185273_10201920384397984_1006842819_n

Tahukah kalian kalau khalifah ‘Utsman bin ‘Affan adalah salah seorang sahabat nabi yang merupakan seorang pebisnis kaya raya tapi murah hati dan dermawan ternyata memiliki rekening atas namanya di salah satu bank di Saudi??? Tahukah kalian bahwa  beliau juga memiliki hotel atas namanya di dekat Masjid Nabawi, bahkan rekening dan tagihan listrik hotel tersebut masih atas nama beliau .. ???

Gimana ceritanya hingga beliau memiliki hotel atas namanya di dekat Masjid Nabawi..??

Diriwayatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kota Madinah pernah mengalami panceklik hingga kesulitan air bersih. Karena mereka (kaum muhajirin) sudah terbiasa minum dari air zamzam di Makah. Satu-satunya sumber air yang tersisa adalah sebuah sumur milik seorang Yahudi, SUMUR RAUMAH namanya. Rasa airnya pun mirip dengan sumur zamzam. Kaum muslimin dan penduduk Madinah terpaksa harus rela antri dan membeli air bersih dari Yahudi tersebut.

Prihatin atas kondisi umatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda : “Wahai Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat surgaNya Allah Ta’ala” (HR. Muslim).

Adalah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu yang kemudian segera bergerak untuk membebaskan sumur Raumah itu. Utsman segera mendatangi Yahudi pemilik sumur dan menawar untuk membeli sumur Raumah dengan harga yang tinggi. Walau sudah diberi penawaran yang tertinggi sekalipun Yahudi pemilik sumur tetap menolak menjualnya, “Seandainya sumur ini saya jual kepadamu wahai Utsman, maka aku tidak memiliki penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari” demikian Yahudi tersebut menjelaskan alasan penolakannya.

Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu yang ingin sekali mendapatkan balasan pahala berupa Surga Allah Ta’ala, tidak kehilangan cara mengatasi penolakan Yahudi ini.

“Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu” Utsman, melancarkan jurus negosiasinya.

“Maksudmu?” tanya Yahudi keheranan.

“Begini, jika engkau setuju maka kita akan memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini milikku, esoknya kembali menjadi milikmu kemudian lusa menjadi milikku lagi demikian selanjutnya berganti satu-satu hari. Bagaimana?”jelas Utsman.

Yahudi itupun berfikir cepat, “… saya mendapatkan uang besar dari Utsman tanpa harus kehilangan sumur milikku”. Akhirnya si Yahudi setuju menerima tawaran Utsman tadi dan disepakati pula hari ini sumur Raumah adalah milik Utsman bin AffanRadhiyallahu ‘anhu.

Utsman pun segera mengumumkan kepada penduduk Madinah yang mau mengambil air di sumur Raumah, silahkan mengambil air untuk kebutuhan mereka GRATISkarena hari ini sumur Raumah adalah miliknya. Seraya ia mengingatkan agar penduduk Madinah mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk 2 hari, karena esok hari sumur itu bukan lagi milik Utsman.

Keesokan hari Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli, karena penduduk Madinah masih memiliki persedian air di rumah. Yahudi itupun mendatangi Utsman dan berkata “Wahai Utsman belilah setengah lagi sumurku ini dengan harga sama seperti engkau membeli setengahnya kemarin”. Utsman setuju, lalu dibelinya seharga 20.000 dirham, maka sumur Raumahpun menjadi milik Utsman secara penuh.

Kemudian Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu mewakafkan sumur Raumah. Sejak itu sumur Raumah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk Yahudi pemilik lamanya.

Setelah sumur itu diwakafkan untuk kaum muslimin… dan setelah beberapa waktu kemudian, tumbuhlah di sekitar sumur itu beberapa pohon kurma dan terus bertambah. Lalu Daulah Utsmaniyah memeliharanya hingga semakin berkembang, lalu disusul juga dipelihara oleh Pemerintah Saudi, hingga berjumlah 1550 pohon.

Selanjutnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian Saudi menjual hasil kebun kurma ini ke pasar2.. setengah dari keuntungan itu disalurkan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin.. sedang setengahnya ditabung dan disimpan dalam bentuk rekening khusus milik beliau di salah satu bank atas nama ‘Utsman bin Affan, di bawah pengawasan Departeman Pertanian.

Begitulah seterusnya, hingga uang yang ada di bank itu cukup untuk membeli sebidang tanah dan membangun hotel yg cukup besar di salah satu tempat yang strategis dekat Masjid Nabawi.

Bangunan hotel itu sudah pada tahap penyelesaian dan akan disewakan sebagai hotel bintang 5. Diperkirakan omsetnya sekitar 50 Juta Riyal Saudi per tahun. Setengahnya untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, dan setengahnya lagi tetap disimpan dan ditabung di bank atas nama ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu..

Subhanallah,… Ternyata berdagang dengan Allah selalu menguntungkan dan tidak akan merugi..

Ini adalah salah satu bentuk sadakah jariyah, yang pahalanya selalu mengalir, walaupun orangnya sudah lama meninggal..

Disebutkan di dalam hadits shahih dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya”. [HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i]

Dan disebutkan pada hadits yang lain riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda.

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mush-haf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia”.

Like dan sebarkan tulisan ini, agar manfaat dari informasi ini tidak hanya berhenti pada anda, tapi juga bisa dirasakan oleh orang lain, sekaligus merangkai jaring pahala..!



PDRI dan Bela Negara (Kepres Nomor 28 Tahun 2006)

I.  PADANG JOPANG.

Di kampung kelahiran saya banyak sekali situs bersejarah yang berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia; merebut, mempertahankan dan membela ptoklamasi 17 Agustus 1945. Satu diantaranya tidak jauh dari rumah orang tua saya ada kuburan massal yang disebut “ kuburan Jepang “. Nama kuburan itu tidak ada sangkut pautnya dengan nama kampung saya Padang Jopang di nagari VII Koto. Di tempat tersebut berkubur sekitar 40-orang Jepang, eks tahanan di Kamp Ampang Godang.

Sebuah prasasti bertuliskan lima (5) nama pejuang yang gugur di front pertempuran melawan Belanda dibangun di halaman depan Balai Adat Padang Jopang. Nama pejuang tersebut adalah; Martais, Saeran J, dan Amirudin yang gugur di medan tempur “Padang Area “1946; Abbas Manan (gugur di Bankinang 1947 ) dan Abbas Idrus (gugur di Bukittinggi 1947).

Prasasti lainnya ada di halaman rumah Jawa di kampong suku Sikumbang, sementara itu di Ampang Godang ditemukan pula Kamp (Tangsi ) Militer, tempat tawanan Jepang, Kemudian sebuah tugu setinggi tujuh meter terdapat di lapangan bola kaki di Koto Kociak. Semuanya ini konon berkaitan dengan Perang Kemerdekaan Republik Indonesia.

Kompleks Perguruan Darul Funun El Abbasyah dan Nahdatun Nisaiyah, Tarbiyah Islamiyah gedung BPPI ( kini madrasah Aliman Syalihah) dan kantor partai Masyumi ( kini mushalla ) di Pokan Sinoyan adalah gedung yang berperan semasa Revolusi dan Perang Kemerdekaan. Menurut usianya sudah patut didaftarkan sebagai Cagar Budaya oleh pemerintah .

Berbagai cerita dan informasi dibalik prasasti yang sebutkan itu masih tersembunyi dan belum terungkap secara utuh sampai hari ini. Pada hal untuk mewariskan nilai-nilai kejuangan dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), ada di sana. Suatu tantangan yang harus dipecahkan . Berbagai kendala ditemukan, untuk mendapatkan informasinya secara utuh, baik pelaku atau pun saksi-saksi peristiwa sudah banyak yang meninggal dunia, sementara yang masih hidup pergi merantau dan sebgaian dari mereka sudah pikun sulit mengingat kejadian dan pengalamannya.

Disamping situs-situs dan prasasti itu ada pula monument hidup, yakni dua orang puteri pejuang RI bernama Sarong asal aceh bernama Syamsimar dan Nur’aini. Isteri Sarong dikenal masyarakat dengan panggilan Niea Judan ( Sjamniar isteri ajudan maksudnya). Rupanya adjudan Gubernur Sumatera semasa PDRI Mr. Teuku M.Hassan , AKBP ( polisi ) bernama Sarong sempat pacaran dan kawin selama Teuku M. Hassan berkantor di komplek perguruan milik Syech Abbas Abdullah di baruah “ Pucak Bakuang “. Dulu dikenal juga dengan ungkapan populer “ lembah Murni “ dikala revolusi sedang bergejolak. Monumen hidup lainnya yang menonjol adalah menikahnya staf Teuku M. Hassan, Machmud Junus (penulis tafsir Qur’an) dengan puteri suku Sikumbang bernama Jawahir, yang melahirkan anak perempuan Jawanis.

Di rumah isteri Machmud Yunus ini perundingan pemulangan mandat PDRI oleh delegasi PDRI Sjafrudin Prawiranegara dengan delegasi penjemput dari Yogya yang dipimpin M. Natsir. Nama Soekarti, adik perempuan dari Diswar ( Paradeh ), anak dari Sjarkawi Rasoel Dr. Ajo Marajo diberikan langsung oleh Soekarno ( Presiden RI pertama ), dikala ia berkunjung ke perguruan Darul Funun El Abbasiyah, setelah ia dibebaskan dari pengasingan di Bengkulu. Dikala itu ibu Diswar Paradeh tengah hamil tua mengandung adiknya Soekarti, tetapi masih aktif menyambut kedatangan Soekarno ke Padang Jopang. Ibu Diswar Paradeh adalah kemenakan dari pimpinan Darul Funun Syesch Abbas Abdullah. Gelar “ Paradeh “ yang melekat di belakang nama Diswar adalah nama sebuah oragnisasi perjuangan kemerdekaan RI di Payakumbuh umumnya dan Kewedanaan Suliki khisusnya, yaitu Persatuan Dagang Suliki ( PERDAS ). Sama dengan kongsi dagang Roemah Obat Sumatera Tengah ( Roste ) yang hingga saat ini masih aktig di bunian Payakumbuh.

Disamping itu banyak pula nama-nama pejuang seangkatannya, Polisi Tentara (PT) Ayun Inyiak, dan Sersan Abd. Muis (Pengawal Tahanan Jepang di Tangsi Ampang Gadang ), seperti si kembar Sainun dan Sainin , serta Makmus PT. Hampir semuanya berasal dari tentara pejuang Sabilillah, dengan komandannya Kapten Adnan Z dan Ka. Staf Letnan Dani Zaidan.( Adnan Z adalah ayah kandung Adrizal Adnan –mantan Kandatel Sumbar ). Terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu, namun demikian ada yang tinggal menetap dan beristeri di front pertempuran Padang Area, antara lain Darwis dan Sahari Kumbik di Kuranji dan Nazar di Tabing. Mantan Gyu Gun dan Haiho juga ada seperti Kapten Azhari Abbas, Letnan Mawardi HN , Makmus , Baha, Tabrani dll.

Untuk mengungkap satu persatu item prasasti dan personal pelaku sejarah yang disebutkan di atas sangat sulit. Mencarikan bukti pisik, seperti foto dan dokumennnya. Hampir semua dokumen yang berbau kemiliteran telah dibuang dan dibakar sendiri oleh pelaku. Hal itu dilakukan karena takut dengan APRI, lantaran mereka hampir 100% terlibat gerakan PRRI tahun 1958 – 1960. Situasi setelah “kalah perang” masing-masing pelaku dan keluarganya yang rata-rata ikut PRRI, banyak memilih diam, “ tutup mulut “.

Hal lain yang jadi penyebab adalah sumpah dan janji para pelaku tersebut dihadapan komandan, masyarakat dan apalagi janji mereka kepada Imam Jihad Syech Abdullah, bahwa mereka ”berjuang lillahi ta’ala”, mereka tidak mau “bunyi”. Mereka itu tidak mau menyebut Tuah, menepuk dada akulah pahlawan, apalagi mengungkap yang menjadi rahasia militer atau “yang dirahasiakan pasukannya”. Banyak diantara mereka yang tidak mau didaftarkan/mendaftarkan diri untuk dicatatkan sebagai anggota Veteran, dipanggil pejuang saja tidak mau, apalagi “pahlawan” . Tidak berbeda diantara pejuang wanita dan laki-laki di kampung saya ini.
II. BELA NEGARA.

Tanggal 19 Desember sudah ditetapkan oleh Negara Republik Indonesia sebagai hari besar Nasional. Dikenang dan peringati guna memupuk rasa Cinta Tanah Air, menanamkan semangat Kebangsaan, Rasa Nasionalisme, Mencintai kemerdekaan dan menghargai jasa Pahlawan serta tidak melupakan jalan dan lika-liku Sejarah.

Kenapa Bukittinggi ditembaki Belanda secara bersamaan dengan ibukota RI Yogyakarta ? Kenapa tidak kota-kota lain ? Apa peranan penting yang dimainkan Bukittinggi, sehingga kota ini harus dihabisi Belanda bersaam dengan Yogyakarta ? Kernapa Bukan kota Bandung, Surabaya , Makasar atau Manado dan Pontianak, Banjarmasin yang hendak dihancurkan ?

Untuk itu kita perlu merefleksikan kondisi dan suasana di Bukittinggi, saat itu yang disebut Ibukota kedua setelah Yogya. Hal ini barang kali akan dapat di apresiasi atau dilihat dari peranan Bukitinggi saat itu setelah kota Siantar ( Sumatera Utara ) jatuh ke tangan Belanda Juli 1947;

1. Tempat kedudukan Kamandeman Sumatera
2. Tempat kedudukan Gubernur Sumatera yang kemudian dirobah menjadi Komisariat Pemerintah Pusat ( Kompempus ).
3. Gubernur Sumatera Tengah
4. Pusat Pemerintahan Sumatera Barat.
5. Markas Besar Divisi Banteng
6. Tempat pengurus pusat partai-partai politik.

Dengan membayangkan dan meng-analisa kegiatan dan dinamika masing dinas dan instansi maka dapat disimpulkan bahwa urat Nadi kehidupan Negara Republik Indonesia itu ada di Bukittinggi, jika Yogya bisa dihentikan oleh Belanda.

Tokoh-tokoh penting Republik Indonesia disamping Soekarno – Hatta berada di Bukittinggi. Ini semua sudah diketahui Belanda dari lopran intelijen. Berhasil merebut Yogyakarta saja tidak akan bisa mematikan dan melenyapkan Republik Indonesia.

Tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang Yogyakarta sebagai ibukota Negara dan Bukittinggi sebagai ibukota RI bayangan. Serangan itu hendak digambarkan Belanda sebagai tindakan policyonil, kegiatan penertiban dan melindungi keamanan rakyat.

Perjuangan dan perlawanan Republik Indonesia, digambarkan sebagai “gangguan keamanan “ dalam negeri oleh para pengacau criminal. Tujuan Belanda melenyapkan Negera Republik Indonesia, tidak ada pemerintahan di Hindia kecuali Belanda. Begitulah serangan itu dikemas dan dijadikan public opini dunia. Tetapi pihak yang diserang Republik Indonesia menyebutnya “ Agresi “; yaitu serangan dan penetrasi terhadap sebuah Negara Berdaulat. Pemakaian kata -kata perang, “Clash dengan Agresor” telah memenangkan diplomasi RI di mata dunia sehingga terbentuk Komisi Tiga Negara dan menimbulkan respon PBB. PDRI menjadi legilitimasi Republik Indonesia tetap aksis di mata dunia.

Agresi Belanda terhadap kedaulatan RI telah menjadi pemicu terbentuk dan lahirnya Pemerintah RI darurat, pelanjut pemerintah pusat ( Soekarno – Hatta ) yang menyerahkan diri kepada Belanda di Yogyakarta 19 Desember 1948.

Hari Ancaman terhadap keberadaan Kedaulatan Republik Indonesia oleh Agresor Belanda tanggal 19 Desember 1948 ini ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono, melalui sebuah Keputusan Presiden (Keppres ) Nomor 28 Tahun 2006; dengan sebutan ;
HARI BELA NEGARA

Pemerintah Darurat, bukan dadakan. Bukan di buat-buat. Jauh hari sudah diperkirakan . Sudah ada KIRKA ( Kira-kira Keadaan ). PDRI terbentuk, setelah disetujui para Pemimpin RI yang ada di Bukittinggi pada tanggal 19 Desember 1949 di Bukittinggi, Ketua (Presiden RI ) Mr. Sjafrudin Prawirnegara dan Wakil Ketua ( Wkl. Presiden) Mr. Teuku M. Hassan. Pengumumannya bersama susunan Kabinet lengkap di Halaban. Kemudian di udarakan melalui radio AU di Parak Lubang.

“Pak Islam, apakah resmi dan betul PDRI dibentuk di Bukittinggi di bawah siraman mitraliur dan bom Belanda ?”; Tanya saya di gedung Tri Arga kepada Islam Salim.

“ Kenapa ? “ jawabnya bertanya pula ?

“Ya, Bapak bilang Bapak ikut membicarakannya dengan Mr. Teuku M.Hassan , Mr.Rasjid dan Mr.Sjafrudin. Bagaimana legitimasinya ?” Saya balik bertanya

“ PDRI sudah dipersiapkan, sudah didukung tentara dan pemimpin sipil, ini memorandum Syahrir dan Daan Yahya, hanya tinggal penyusunan dan pengumuman , idea nya sudah ada , ini buku saya “ kata Islam Salim sambil menyodorkan buku yang disusunnya kepada penulis.

Ternyata menurut buku Islam Salim, halaman 29-33 Pangkalan Cadangan ( Reserve Basis ) telah diupayakan Wakil Presiden Mohammad Hatta, setelah menerima memorandum dari Syahrir dan Daan Jahja dan masukan lain-lain. Hatta menugaskan tiga gelombang Pimpinan dan Perwira Tentara ke Bukittinggi pada bulai Mei 1948. Kemudian Wakil Presiden sendiri yang berangkat ke Bukittinggi.

“Pembentukan PDRI di Sumatera Tengah dimungkinkan berkat persiapan yang seksama berdasarkan suatu memorandum Nayor Daan Jahja, dari staf Divisi Siliwangi, pada bulan Maret 1948 yang ditujukan kepada Perdana Menteri/ Menteri Pertahanan RI Drs. Mohammad Hatta, dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya agressi Belanda II.tulis A.E.Kawilarang”.

“Kirka” yang dibayangkan beberapa pemimpin militer dan sipil di Yogyakarta menjadi kenyataan, hari Minggu 19 Desember 1948 Yogyakarkarta dan Bukittingi di serang Belanda dari Udara. Front Padang Are di bagian Timur Air Sirah diterobos Belanda, Pasukan payubng di turunkan di danau Singkarak.

“Pemboman serentak oleh Belanda atas Yogya dan Bukittinggi pada Minmggu 19 Desember 1948, sebenarnya tidak sepenuhnya merupakan kejutan ( surprise ), namun menimbulkan shock yang cukup berarti. Pemimpin-pemimpin pemerintahan tidak kehialangan akal; segera diadaskan rapat bersama antara Mr.T.M Hassan , Mr.Sjafridin dan Gubernur Saumatera Tengah Mr.M.Nasroen pada kira-kira pukul 09.00 pagi di gedung Tamu Agung tempat kediaman Wakil Presiden Hatta, masing-masing beserta staf:.

Republik Indonesia dalam ancaman, Belanda hendak melenyapkan Kedaulatan RI, serang dan tangkap pemerintahnya. Para pemimpin yang ada di Bukittinggi langsung mengadakan rapat mendiskusikan cara yang akan ditempuh untuk membela Negara, sementara Soekarno dan Hatta, sudah diperkirakan akan ditawan oleh Belanda. Mandat membentuk Pemerintahan belum diterima. Akhirnya rapat itu memutuskan sesuai dengan perkiraan sebelumnya, dibentuk pemerintah pusat, Ketua Mr.Sjafrudin Prawira Negara dan Wakil Ketua Mr.Teuku Mohammad Hassan. Langkah dan strategi membela Negara harus disusun . Demi keselematan seluruh pejabat pemerintah mengungsi ke Halaban di Selatan kota Payakumbuh pada jam 21.00.

Kekuatan militer RI masih tangguh menahan serangan, Belanda lama tertahan sebelum memasuki Padang Panjang dan lembah Anai, dipaksa melayani tembakan tentara pejuang . Hal ini memberi kesempatan yang sempurna bagi pemimpin sipil dan militer di Bukittinggi mempersiapkan pengosongan kota dan bumi hanguskan kota.

Setelah serangan Udara Belanda berhenti di Bukittinggi para pemimpin Republik mengadakan rapat untuk mengatisipasi serangan Belanda ini dan menganalisa keadaan yang tengah dan akan terjadi. Pertemuan dilangsungkan di gedung Tamu Agung ( Tri Arga/ Istana Bung Hatta ) Bukittinggi ; diantara Sjafrudin Prawiranegara menteri Kemakmuran RI, Mr. Teku M.Hassan , Mr. Lukman Hakim, Kolonel Hidayat, Kombes Pol Umar Said dan Mr. Nasroen Gubernur Sumatera Tengah. Serangan Belanda masih berlanjut terus, akhirnya rapat dihentikan.

“Dan sore hari harinya Mr.Sjafrudin Prawiranegara berinisiatif bersama Kol.Hidayat datang ke kediaman Ketua Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera Mr. Teuku Mohammad Hassan di jalan Atas Ngarai untuk melanjutkan perundingan”.

Pasukan RI mampu menghambat kekuatan angkatan perang Belanda yang memiliki persenjataan lengkap dan kendaraan lapis baja, dan diperkuat pula dengan pasukan angkatan udara patut juga menjadi kajian. Diperlukan waktu tiga hari oleh Belanda untuk bisa merebut Bukittinggi. Inilah karya anak bangsa yang menumpang di atas kekuatan Jepang. Kekuatan militer RI di Sumatera Barat ini atara lain bersumber dari GyuGun, pendidikan opsir Jepang, Lasykar-lasykar Rakyat, yang dilatih Eks Gyu Gun dan Pendidikan Kadet Divisi III Banteng.

“Pada Selasa malam 21 Desember 1948 di sebuah lobang pertahanan peninggalan Jepang di kompleks Sekolah Pendidikan Opsir Bukittinggi, berlangsung suatu pertemuan tertutup yang dihadiri oleh Panglima Teritorium dan beberapa orang Perwira DivisiIX Banteng”

Pertemuan tersebut dipimpin oleh Letkol Dahlan Ibrahim, hadir antara lain Kolonel Dahlan Jambek, Letkol Sjarif Usman, Mayor A.Thalib, Mayor A. Halim ( Aleng). Dalam pertemuan itu Kolonel Dahlan Jambek menjelaskan tindakan-tindakan yang diambil Pemerintah, seperti Bukittinggi tidak akan dipertahankan dan dilakukan pembumi hangus-an.Tanggal 21 Desember 1948 malam kota Bukittinggi di bumi hangus, seluruh objek vital yang akan dimanfaatkan musuh dibakar semua. Kota Bukittinggi menjadi kosong rakyat bersama pemimpinnya mengungsi keluar kota.

Rombongan PDRI terakhir sampai di Halaban adalah Mr. M. Rasyid; setelah menyelenggarakan sidang singkat untuk menyepakati susunan PDRI pukul 03.30 pagi tanggal 22 Desember 1948. Rombongan langsung menuju ke tempat ptempat yang telah dipakati sebelum. Saat itu dikhawarikan Pasukan Belanda sudah sampai di Payakumbuh.

“Ketika Sjafrudin Prawiranegara dan rombongan berangkat ke Bangkinang, setelah buru-buru meninggal Halaban, setelah pengumaman susuanan PDRI, MR. St Mhd.Rasjid hanya menyingkir ke mudiak sekitar 13 km di utara Payakumbuh, tidak bergabuang dengan Sjafrudin Prawiranegera. Jum’at 24 Desember Rasjid berkeliling di nagari-nagari Kecamatan Guguak, Dangung-dangung, VII koto Talago, Limbanang dan Kubang . Masyarakat diajak membela Negara melalui PDRI”

III. Dari Gyu Gun ke BKR dan TNI.

Tahun 1942 Yano Kazo; Residen ( zaman Jepang ) untuk wilayah Sumatera Barat , mengumpulkan pemuka masayarakat, Ninik Mamak, Ulama dan Cerdik Pandai Sumbar, ia mengemukakan akan membangun Gyu Gun ( Lasykar Rakyat ); Pembela Tanah Air ( PETA) namanya di pulau Jawa.

Setelah melalui diskusi dan tukar pendangan diantara pemuka masyarakat dalam rapat itu, akhirnya disepakati menerima usul Yano Kazo mendirikan Gyu Gun Ko En Kai, maka ditetapkan rapat tiga pemimpin yang akan membentukanya yakni Ahmad Dt. Simarajo (ninik Mamak), H. Machmud Yunus ( Ulama )dan Chatib Sulaiman (Cerdik Pandai ). Ketuanya ditetapkan Chatib Sulaiman dan dibantu oleh Suska, Rasuna Said, Latif Usman, Ratna Sari, Leon Salim, Mansur Taib, Rahmah El Yunusiah, Aziz Latif , Husin Ilyas, Tjik Ani, Nazarudin, Nurdin Kajai. Setelah diberikan penjelasan dan penerangan kepada masyarakat se Sumatera Barat, ternyata peminatnya cukup banyak.

“Nama-nama yang telah terdaftar cukup banyak antara alain tiga orang putera dari Syech . M. Djamil Djambek, seorang ulama besar di Minangkabau serta banyak lagi yang berpendidikan Barat maupun Islam”

Syech Abdullah, dikenal juga dengan sebutan “ Baliau Ketek” sejak awal, semasa usaha-usaha pra kemerdekaan RI ia aktif mendorong usaha-usaha pergerakan persiapan kemerdekaan, demikian pula dengan Syech Musatafa yang disebut juga “Baliau Godang”. Kedua beliau dari PERGURUAN Darul Funun, Puncak Bakuang ini melepaskan anaknya untuk ikut berjuang. Azhari Abbas anak baliau ketek di Koto Kociak, VII Koto, ikut berlatih Gyu Gun. dan Tantawi anak baliau Godang di Air Tobik ikut barisan Sabililah.

Ketika Agresi Belanda kedua 1948-1949, keduanya sudah muncul menjadi Perwira Pertama ( Pama ) TNI yakni Kapten Azhari Abbas dan Kapten Tantawi yang tewas dalam peristiwa 15 Januari 1949 di Lurah Kincir Situjuah. Nama Kapten Tantawi diabadikan Pemda menjadi nama lapangan bola kaki Payakumbuh yang semula bernama Poliko diganti dengan sebutan lapangan Kapten Tantawi.

“Berdirinya Gyu Gun di Sumatera Barat, yang sama dengan PETA di Jawa, mendapat sambutan yang hangat dari pemuda Payakumbuh dan Lima Puluh Kota, sehingga banyak diantara mereka yang mengambil bagian dalam Gyu Gun sebagai Pembela Tanah Air, seperti Nurmathias, Azhari Abbas, Amir Wahida, Inada Wahid, Makinudin HS dan lain-lainnya yang kemudian hari pada permulaan perjuangan kemerdekaan mereka memagang peranan di daerah ini”

Dua hari setelah Jepang menyerah, di Padang tanggal 16 Agustus 1945 Gyu Gun dibubarkan dan di Bukittinggi pembubarannya tanggal 18 Agustus 1945.

Lasykar Sabililah Lima Puluh Kota.

Kongres MIT pada tanggal 7 Desember 1945 di Bukittinggi antara lain memutuskan membentuk Barisan Sabilillah. Divisi Sabilillah Sumatera terbentuk setelah Opsir-opsir Bataliyon Sabilillah dilantik 16 Maret 1946 di lapangan atas ngarai Bukittinggi, dihadiri oleh Manteri Penerangan Natsir dan Kepala Staf Umum Mabes TKR Sumatera Jenderal Mayor Suhardjo. Markasnya ditempatkan di Jalan Lurus Bukittinggi dibawah Pimpinan A. Gafar Djambek dan H. Rivai Yunus sebagai kepala Keuangan dan Perlengkapan.

Sebagai langkah awal Calon Opsirnya, utusan seluruh Kabupaten dilatih terlebih di Kamang, selama dua bulan mulai 1 Januari 1946. Utusan dari Lima Puluh Kota adalah Anwar Muin dan C. Israr.

Selesai latihan kemabli ke daerah masing – masing dengan tugas membentuk Batisan Sabililah Kabupaten dengan mengumpulkan pemuda dari seluruh Nagari. Langkah awalnya adalah mengumpulkan tenaga terdidik bidang kemiliteran dari mantan Gyu Gun, Heiho, Sei Nen Dan untuk dijadikan pelatih; latihan pelatih dilaksanakan Taram , Koto Kociak VII Koto, dan Payakumbuh.. Kepada pelatih nantinya dibebankan pembinaan pasukan sampai ke Nagari.

IV. Mobilisasi Sabil

Syech Abbas Abdullah : Pimpinan Darul Funun El Abbasiyah, “Puncak Bakuang” Padang Japang selaku Ulama yang terkemuka di Sumatera Barat telah mengeluarkan Fatwa dalam suatu konperensi ulama Sumatera di Bukittinggi, bahwa; perang melawan Penjajah adalah Jihad Fi Sabilillah dan bila mati akan mati dalam keadaan Syahid.

Menurut keterangan Ismail Hasan dalam suatu wawancara dengan penulis salah satu keputusan konsperensi menetapkan; Syech Abbas Abdullah sebagai Imam Jihad. ( 2008/video/ dirumah orang tua Anwar ZA )

“Gerakan Mobilisasi Sabil ini sebelum Perang Kemerdekaan kedua telah dicetuskan oleh para alim ulama dalam suatu Konpoerensi alim ulama dan mubaligh Islam di Sumatera Barat yang berlangsung di Bukittinggi pada tanggal 27 Juli 1947 pada saat bangsa Indonesia sedang menghadapi agresi militer Belanda yang pertama. Dalam pertemuan itu telah diputuskan untuk mengerahkan perang sabil terhadap tentara Balanda dengan mengobarkan semangat jihad serta memperhebat rasa pengorbanan arakyat untuk kepentingan perjuangan”. .

Resimen Sabilillah Kab. Lima Puluh Kota termasuk Bangkinang: Komandan : Mayor Sjamsawi, membawahi lima Bataliyon . .M.Hikmat Israr; HC Israr Kesederhanaan & Kepejuangan Aanak Payakumbuh;Budaya Media;2004; halaman 43
1. Kapten Nazarudin Saleh ( Payakumbuh – Akabiluru )
2. Kaapten Saharudin (Luhak dan Harau )
3. Kapten Adnan Z ( Kecamatan Guguak )
4. Kapten Bermawi Taher ( Suliki )
5. Kapten Umar ( Bangkinang dan sekitarnya )

Kapten Adnan Z , menempatkan Markas Bataliyon III di Pokan Noyan ( Pasar Senin ) Padang Japang simpang empat jalan , sekarang dijadikan Mushalla.Menetapkan Kepala Stafnya. Dani Zaidan.yang mengendalikan perjuangan kemerdekaan di wilayah Kecamatan Guguak . Adnan Z adalah orang tua / ayah kandung Adrizal Adnan ( Mantan Kandatel-Sumbar ), ia merekrut hampir seluruh pemuda di VII Koto yang sehat ikut menjadi anggota Sabilillah. Polisi Tentara yang bertindak menjaga disiplin anggota Sabilillah adalah: Letnan Baharudin Alwi, dan anggotanya , Abdul Muis, Abdul Gani, Ayun Inyiak, Yulius Martunus . Polisi ini juga nantinya yang bertindak sebagi pengawal tawan tentara Jepang dan Kamp Ampang Godang.

“Dalam bulan Juni 1949 , Mayor A. Thalib diangkat jadi Komandan Pertempuran Lima Puluh Kota, menggantikan Kapten Syafei. Letnan I Nurmathias ditempatkan sebagai Kepala Staf. Semenjak itu kedudukan markas komando pertempuran ditempatkan di Ampang Gadang VII Koto Talago”:

Konsep ABRI manunggal dan Pertahanan Rakyat Semesta.

Setelah Lasykar-lasykar, termasuk Sabilillah, Hisbulllah dan lain dilebur ke dalam BKR dan TNI, maka sewaktu menjalankan struktur Pemerintahan PDRI yang mengkombinasikan Cipil dan Militer, maka Mantan Gyu Gun dan amantan Pasukan Sahid atau lasykar-lasyakar itu umunya langsung mengisi struktur Camat Militer, Wali Perang , DPD, MPRD,MPRK, BPNK, dan tugas kejuangan lainnya seperti Pasukan Mobeil Teras ( PMT )

Badan pengawal Nagari dan Kota (BPNK) didirikan Juli 1947,Peraturan No.15/DPD/P-1947 ( Dewan Pemerintah Daerah ). Pada Januari tahun1948, didirikan Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) yang membawahi BPNK/PMT.

BPNK memperoleh pendidikan militer dibawah koordinasi Chatib Sulaiman; untuk dijadikan Pasukan Mobil Teras yang bertugas mengamankan Nagari

Belanda membangun pos Patroli di rumah ( kapten Leon Salim ) di Tiakar Guguak:

24 Januari 1949; Ibu Kota Kabupaten dipindahkan dari Limbanang ke Talago. Dan pada hari itu diadakan rapat konsolidasi pemerintah Kabupaten, salah satu keputusannya mengusulkan A. Malik Ahmad sebagai Wakil Bupati.

Moral kejuangan rakyat terpukul dan menurun akibat serangan Belanda yang berhasil menerobos pertahanan PDRI, masuk sampai pusat pergerakan Koto Tinggi tanpa perlawanan yang berarti pada tanggal 10 Januari 1949. Kendaraan perang Belanda meluncur tanpa halangan berart, sekalipun rakyat telah memasang penghalang pada beberapa titik antara lain dengan menumbangkan pohon, serta membelintangkan batang kelapa di jalan raya. Penggeledahan dilakukan pada setiap rumah di tepi jalan dan membakar beberapa mobil yang ditemukan di tepi jalan. Balai Adat di Talago yang dikira belanda sebagai tempat berkantornya Bupati Lima Puluh Kota di bakar. Sasaran Utama operasi militer Belanda ini adalan sender radio.

Sembilan orang petani yang ditemukan Belanda di Pandam Gadang menjelang menuju Koto Tinggi ditembak tentara Belanda di Titian Dalam. Beberapa bentuk keganasan perang dipertunjukan Belanda untuk menjatuhkan mental masyarakat.



Wa-Bup Kunjungi Ponpes Darul Funun

Sumber: Website Limapuluhkota

Lima Puluh Kota – Pesantren Darul Funun yang terletak di Jorong Padang Japang Kecamatan Guguak mendapat kunjungan dari Wakil Bupati Lima Puluh Kota Drs.Asyirwan Yunus, M.Si, Senin (19/5). Kedatangan Wabup yang didampingi oleh Camat Guguak Drs.Yuhendri bertujuan untuk menyerahkan bantuan berupa Tafsir Al Quran dari Indo Jalito Peduli. Sebagaimana yang telah dilansir sebelumnya Paguyuban Ibu-Ibu Perantau Minang ini pada Sabtu (17/5) berkunjung ke Lima Puluh Kota untuk melakukan kegiatan sosialnya dan pada kesempatan itu mereka menyerahkan bantuan berupa Tafsir Al Qur’an sebanyak 250 eksemplar.

Wabup Drs.H.Asyirwan Yunus, M.Si menyerahkan Al Quran bantuan dari Indo Jalito Peduli pada Ketua Ponpes Darul Fulum.(f-ogi)
Wabup Drs.H.Asyirwan Yunus, M.Si menyerahkan Al Quran bantuan dari Indo Jalito Peduli pada Ketua Ponpes Darul Fulum.(f-ogi)

Wakil Bupati Lima Puluh Kota Drs.Asyirwan Yunus, M.Si mengatakan bahwa Tafsir Al Qur’an ini akan didistribusikan ke sekolah-sekolah Madrasah, Pondok Pesantren dan kecamatan-kecamatan yang ada di Lima Puluh Kota. “Mudah-mudahan amanah yang telah dititipkan oleh Indo Jalito Peduli ini bisa tersampaikan kepada yang membutuhkan dan bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya”,ucap Asyirwan.

Drs.Adia Putra selaku Kepala Ponpes Darul Funun mengucapkan terima kasihnya atas bantuan Indo Jalito Peduli ini dan atas kesediaan Wabup untuk menyerahkan langsung ke Darul Funun yang berdiri sejak tahun 1875 ini. “Mudah-mudahan bantuan ini bermanfaat bagi anak didik kita untuk belajar selama menimba ilmu di pondok pesantren ini”, kata Adia.

Disamping untuk Darul Funun pada kesempatan yang sama Wabup Drs.Asyirwan Yunus, M.Si juga menyerahkan bantuan untuk Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Tobek Godang yang diterima langsung oleh Kepala Sekolahnya Mulyadi yang juga hadir. Setelah penyerahan bantuan tersebut Wabup juga menyempatkan diri untuk meninjau pembangunan asrama Ponpes Darul Funun. Dimana asrama yang berdiri megah tiga lantai ini merupakan bantuan dari Kementerian Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (joy/ogi)



Paskibra MAS Darul Funun Pukau Kakan Kemenag

Sumber: Sumbar-Kemenag Website

Sarilamak, (Inmas) – Upacara Hari Kesadaran Nasional yang diperingati pada tanggal 17 setiap bulanya merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintahan sesuai dengan instruksi dari Presiden RI, seperti biasanya keluarga besar Kementerian Agama Kantor Lima Puluh Kota memilih untuk memusatkan upacara  Hari Kesadaran Nasional di halaman Kantor Kemenag Lima Puluh Kota di Tanjung Pati, pada kesempatan tersebut siswa-siswi terbaik MAS Darul Funun Padang Japang diamanhkan untuk menjadi pasukan pengibar bendera.

paskibra-dfa

Drs.H.Gusman Piliang,MM Kakan Kemenag Lima Puluh Kota yang bertindak sebagai Pembina upacara menyampaikan, apresiasi serta ucapan terimaksih yang setinggi-tingginya kepada anggota Paskibra MAS Darul Funun yang telah sukses mengibarkan bendera dengan baik dan sempurna, saya merasa bangga dengan apa yang telah ditampilakan oleh anak-anak kita dari MAS Darul Funun pada upacara ini, mudah-mudahan kedepanya prestasi seperti ini dapat kita pertahankan dan kita tingkatkan lagi, lebih dalam dijelaskan, atas nama Kepala Kantor saya berharap pada seluruh aparatur Kementeri Agama untuk terus meningkatkan prestasi kerja dan disiplin kerja, hal ini sangat penting untuk terus kita tingkatkan agar kedepanya kita mampu untuk mengejawantahakan Visi dan Misi Kementerian secara lebih baik lagi, yang semuanya merupakan tangung jawab kita sebagai abdi negara.

Menukuk Alumni IAIN Imam Bonjol ini menyampaikan, harapan yang sama juga saya sampaikan pada keluarga besar MAN Padang Japang yang minggu kemarin berhasil keluar sebagai Juara II Filem Biodokumnter Tingkat SMA/MA Se-Sumatera dan Jawa, kita perlu berbangga diri atas prestasi tersebut tanpa kehilangan rasa syukur pada Zat yang Maha memilki, kedepanya mari kita ukir kembali hamparan prestasi di satuan kerja kita masing-masing, tutup Kakan Kemenag mengakhiri sambutanya.

Dihubungi terpisah, Drs.H..Adia Putra Kepala MAS Darul Funun menyampaikan, ucapan terimakasih atas kepercayaan yang diberikan Kantor Kementerian Agama Lima Puluh Kota pada MAS Darul Funun untuk menjadi pelaksana pengibaran bendera pada kegiatan uapacara Hari Kesadaran Nasional, ini merupakan pengalaman pertama bagi kami di Darul Funun, mudah-mudahan penampilan hari ini dapat menjadi motivasi bagi kita semua untuk terus mengukir prestasi pada level yang lebih tinggi lagi, tutup pak haji penuh harap.

Paskibra MAS Darul Funun yang tampil memukau seluruh peserta upacara terdiri dari, Jamluddin Haq, Ifloan Dani Hidayat, Widi Setiawan, Gafri, Maria Susianti, Wulandari, Faizi Riza, Distimurhani dan Ahmad Nasyari. Madrasah lebih Baik (APP|j@y)



Seorang Teman Ayahku

Seorang teman sehaluan Ayahku pula ialah Syekh Abbas Abdullah di Padang Japang (Suliki). Beliau dilahirkan, pada tahun 1883 dan naik Haji ke Mekkah dalam usia 13 tahun / 1314 H) dan belajar pula kepada tuan Syekh Ahmad Khatib, dan pulang ke tanah air pada tahun 1904. Bersama dengan kakaknya Syekh Mustafa beliau mulai mengajar, melanjutkan usaha ayahnya Syekh Abdullah.

Di tahun 1919 Madrasahnya menjadi Sumatera Thawalib, sebagai juga madrasah-madrasah yang lain di Minangkabau. Diterbitkan pula majalah “Al Imam” Pada tahun 1921 beliau kembali ke Mekkah, terus ke Mesir dan menambah pengalamannya belajar di Al Azhar sampai tahun 1924. Pada tahun itu dengan melalui Palestina, Libanon dan Syria beliau pulang kembali ke tanah air dan meneruskan usahanya mengajar.

Pulangnya kembali melalui Mesir karena mengantarkan putera kakaknya Thaluth Mustafa dan Nasruddin Taha untuk belajar pula di sana. Di tahun 1930 Thawalib beliau tukar menjadi Darul Funun AlAbbasiyah.

Beliau dua bersaudara adalah orang-orang keras hati, ber-jiwa revolusioner, tidak ragu-ragu memesan dan mengajarkan kitab-kitab Abduh dan Rasyid Ridha dan kitab-kitab yang lain memberi kebebasan fikiran dari Darul Funun-nya, sehingga di tahun 1934 pernah tempatnya mengajar itu digeledah pemerintah Belanda, karena datang laporan resersir bahwa di sana banyak kitab-kitab agama “yang berbahaya”.

Dalam Revolusi bersenjata 1945 kedua beliau telah meng-gerakkan murid-muridnya supaya turut berjihad fi sabilillah, dan beliau Syekh Abbas diangkat menjadi “Imam Jihad” oleh Majelis Tinggi Islam. Di waktu Perang Kolonial Belanda yang kedua (1948) madrasah beliau telah menjadi pusat pertahanan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) beberapa lamanya. Setelah terjadi persetujuan “Roem-Royen” dan terjadi penghentian tembak menembak di Sumatera, di Padang Japang, di surau beliau itulah berkumpul kembali para pemimpin PDRI.

Sikap beliau pendiam, beliau tidak begitu ahli berpidato, karena beliau hanya lebih mahir mengajar, tetapi setiap butir perkataan beliau tidak ada yang hampa.dengan utusan-utusan yang datang dari Bangka, menemui mereka.

Syekh Abbas telah meninggal dunia pada 17 Juni 1957 di Padang. Kakaknya Syekh Musthafa pun seorang Ulama yang keras hati. puteranya Thaluth diserahkannya belajar ke Mesir, tetapi malang, anak yang baik itu mati dibunuh dengan teraniaya oleh seorang pemuda Indonesia yang turut belajar di Mesir. Seketika mendengar kematian puteranya, tidaklah berubah muka beliau, sebab beliau yakin bahwa puteranya bukanlah seorang jahat. Demikian juga seketika puteranya Thanthawi Mustafa tewas pula seketika dikepung Belanda di Situjuh bersama Khatib Sulaiman, Bupati Harisun dan Kapten Munir Latif, seketika disampaikan orang kepadanya bahwa putera beliau telah tewas, vang terlebih dahulu beliau tanyakan dari manakah tembusan peluru, adakah dari muka atau dari punggung? Kalau dari muka, yakinlah beliau bahwa puteranya mati syahid, sebab terang bahwa dia melawan. Tetapi kalau dari belakang, sedihlah hati beliau karena mungkin anaknya lari, lalu ditembak. Permohonan beliau kepada Tuhan, moga-moga tembus dada anak¬nya dari muka, jangan dari punggung.

Itulah kawan-kawan Ayahku. Ulama-ulama yang konsekwen pada pendirian mereka, yang tidak mengenal menyerah. Tetapi kalau kita berjumpa mereka, kita hanya akan melihat orang-orang tua yang tawadhu’ , merendahkan diri seakan-akan tidak berisi apa-apa, padahal penuh dengan iman dan keteguhan hati.

Ada beberapa orang lagi Ulama lain yang sehaluan dengan Ayahku, atau pendukung cita-cita beliau, sebagai Tuan Haji Ajhuri dan Haji Sa’id Batusangkar, Tuan Jama’in Abdul Mu-rad Sungai Puar, Haji Muhammad Siddik Bukittinggi, Tuanku Laut Lintau, Tuanku Haji Sutan Darab Pariaman, Tuanku Mudo Limbukan (Ayah Al Ustaz Nasruddin Taha); beliau sebagian besar telah meninggal dunia, tetapi nyatalah kebesaran Ayahku karena “pohon-pohon” yang mengitarinya itupun besar pula.

(HAMKA – Haji Abdul Malik Karim Amrullah)



Menelusuri Jejak Dua Ulama Bersaudara dari Padang Japang

abbas abdullah, mustafa abdullah dan soekarno
image courtesy: (YDFA, Abdullah A.)

 

Tempat Bung Karno Minta Petunjuk.

Mereka dua saudara, jago urusan agama, punya pemikiran luas untuk Indonesia. Sama-sama murid dari Syekh Ahmad Chatib, anak Minang yang menjadi Imam Masjidil Haram Mekkah. Sama-sama pula mendirikan Perguruan Islam yang terkenal. Tak heran, bila Bung Karno minta petunjuk kepada mereka, dan Buya Hamka menaruh hormat tak terhingga.

Bila masih ada pertanyaan, siapakah mereka? Itulah Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, dua ulama kesohor Minangkabau asal Luhak Limopuluah. Keduanya, terkubur di Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota. Tepatnya di Padangjapang, yang terletak sekitar 17 kilometer sebelah utara Kota Payakumbuh.

Untuk menuju lokasi ini bisa menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Dari Payakumbuh menuju arah utara. Setelah melewati jembatan Lampasi, anda akan menemui persimpangan. Kedua simpang, dapat anda pilih.

Bila memilih jalan ke kiri, berarti Anda akan melewati Nagari Koto Baru Simalanggang dan Nagari Guguak VIII Koto. Setelah sampai di Dangung-dangung, anda dapat melanjutkan perjalanan arah ke Limbanang. Tapi, sesampai di kawasan bernama Talago, anda harus belok ke kanan. Maka sekitar tiga kilometer saja, anda akan sampai di Padangjapang.

Tapi bila memilih jalan yang kanan, maka anda akan melewati nagari Simalanggang, Koto Tangah Simalanggang, Taehbaruah, Mungka, Jopangmangganti, dan barulah sampailah di Padangjapang.

Pejuang Islam

Syekh Mustafa Abdullah atau biasa dipanggil Inyiak Padang Japang dan adiknya Syekh Abbas Abdullah, merupakan pejuang Islam di Sumatera. Sepak terjang mereka sebagai penyebar dan penegak ajaran Islam di Minangkabau, sangat banyak dicatat dalam berbagai buku dan majalah yang terbit masa itu.

Bahkan, anggota Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Luhak Limopuluah Yulfian Azrial, menyebut perjuangan kedua Syekh ini amat terkait dengan perjuangan pendidikan Islam Sumatera Tawalib, ataupun pergerakan Tuanku Jamil Jaho di Padangpanjang.

Meskipun demikian, satu hal yang membuat Syekh bersaudara ini amat terkenal adalah upaya mereka dalam mendirikan Perguruan Darul Funun di Puncakbakuang, Tanjungrongik, Padangjapang.

Pada masa keemasannya, Darul Funun tidak hanya memiliki murid dari berbagai pelosok Sumatera Barat, melainkan juga dari berbagai provinsi sekitar, termasuk dari negeri Jiran Malaysia. Hebatnya lagi, para murid rata-rata adalah orang besar.

”Sebagai perguruan besar, Darul Funun memang banyak banyak melahirkan tokoh besar. Kebesaran kedua Syekh ini bahkan membuat Presiden Soekarno merasa perlu ke Padangjapang, setelah bebas dari masa pembuangannya di Bengkulu,” kata Yulfian Azrial.

Disebutkan pula, Bung Karno sering melakukan diskusi dan minta petunjuk tentang berbagai masalah politik dan keagamaan. Bahkan tentang konsep menuju kemerdekaan Indonesia. Hal itu setidaknya bisa dibuktikan, dengan masih adanya dokumentasi Bung Karno semasa di Padangjapang.

Begitu juga setelah zaman kemerdekaan. Para pejuang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), merasa sangat perlu untuk menemui Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah. Mereka sangat banyak mendapat masukan dari kedua Syekh kakak beradik ini.

”Mohammad Natsir yang diutus Soekarno untuk menemui tokoh PDRI di Sumatera, akhirnya juga harus menemui kedua tokoh ini,” kata Yulfian.

Buya Hamka juga Menaruh Hormat

Sebenarnya, tidak hanya Bung Karno, Natsir, dan tokoh bangsa lain yang menjadikan kedua Syeik ini sebagai kawan tempat berdiskusi. Ulama sekaligus sastrawan legendaris Haji Abdul Malik Karim Amarullah alias Hamka, juga amat hormat kepada Syekh Mustafa dan Abbas Abdullah.

Bahkan menurut wartawan senior (alm) Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, semasa Agresi Militer II Belanda, Hamka sengaja datang ke Padangjapang, hanya untuk memberitahu khabar kematian Kapten Thantowi (putra kandung Syekh Mustafa Abdullah) dalam Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949.

Namun ketika itu, Inyiak Padangjapang ternyata sudah tahu soal kematian putra mereka. Hanya saja, dia sempat bertanya kepada Hamka, sebelah mana Kapten Thantowi tertembak Belanda? Dijawablah oleh Hamka, dekat keningnya Inyiak?

Mendengar hal tersebut, Inyiak Padangjapang langsung menyebut, ”Syahid-Syahid. Thantowi meninggal dalam keadaan Syahid Malik!”

Begitulah cerita Hamka yang sangat menghormati kedua Syekh dari Padangjapang, kepada Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, puluhan tahun nan lampau. (***)

(Fajar Rillah Veski)
sumber : http://www.padang-today.com/?today=feature&id=258



Masjid Raya “PADANG JAPANG” Payakumbuh

Menanamkan Semangat Anti Penjajahan

Keberadaan Masjid Raya Padang Japang di kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat ini, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan perguruan Darul Funun Padang Japang, dengan adanya sosok seorang ulama pejuang, Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa Abdullah yang popular dengan nama Syekh Padang Japang, Beliau Gadang dan Beliau Ketek.

Surau Darul Funun, yang lebih dikenal dengan Masjid Raya Padang Japang pada awalnya adalah sebuah surau kecil yang dibangun tahun 1914, tidak lama setelah Syekh Abbas Abdullah pulang dari menuntut ilmu di Mesir.

Didanai oleh waqaf-waqaf kaum muslimin dan juga murid-murid darul funun, surau ini dibangun untuk menjadi pusat tempat belajar kajian konvensional halaqah selain pola pengajaran sistem kelas yang coba diperkenalkan.

Foto oleh M Arsul (dalam buku)

Seiring waktu surau padang japang pun diperluas dan dirapikan hingga nampak seperti sekarang ini.

Sebagai orang yang pernah belajar di luar negeri, syekh Abbas ingin mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Di masa itu di Sumatera Barat lembaga pendidikan Islam masih dibilang sangat sederhana, yakni di surau-surau, dimana anak laki-laki biasa tidur dan belajar agama. Pelajaran yang diberikan pun masih sebatas masalah yang pokok saja, seperti Al-Qur’an, Fiqh, Tauhid, dan Akhlak.

Tergugah oleh keadaan untuk memajukan pendidikan Islam maka diperkenalkan pelajaran ilmu umum pada tahun 1910, dan  untuk pelajar putri dibangun sekolah khusus yang diberi nama Nahdhatun Nisaiyah. Sistem belajarnya menggunakan sistem klasikal yang dibagi menjadi dua tingkat, yaitu tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah. Kurikulumnya diambil dari Mesir. Alumni Darul Funun juga bisa melanjutkan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ilmu umum yang diajarkan di kedua madrasah ini jseperti ilmu hitung, aljabar, ilmu bumi, biologi, sejarah.

Sedangkan bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Arab, Inggris, dan Belanda. Selain itu, di kedua madrasah ini juga diajarkan mata pelajaran keterampilan dan seni, seperti musik, drama, dan kursus kader (semacam latihan kepemimpinan). Tidak berlebihan jika pada masa itu Padang Japang menjadi tempat menimba ilmu di wilayah Sumatera Barat. Dan, untuk lembaga pendidikan Islam modern, Madrasah Darul Funun bisa disebut sebagai pelopor lembaga pendidikan Islam modern.

Dari Madrasah Darul Funun ini muncul nama-nama besar yang kelak menjadi tokoh pergerakan umat Islam. Mereka antara lain Zainudin Labay (pendiri Diniyah), Zainuddin Hamidi (pendiri Ma’had Islamy), Nashruddin Thaha (Islamic College Payakumbuh), Ilyas Ya’kub dan Mukhtar Luthfi. Dua orang yang terakhir ini kelak mendirikan organisasi PERMI (Persatuan Muslim Indonesia), sebuah organisasi politik yang radikal dan anti penjajah.

Dokumentasi Masyarakat

Karena keberpihakannya kepada perjuangan rakyat, pada tahun 1934, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menutup madrasah ini. Pemerintah colonial mengganggap sekolah ini berbahaya karena di sekolah ini ditanamkan kesadaran berjuang kepada umat Islam dan semangat antipenjajahan.

Dua tahun menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno pernah dating ke tempat ini dan sempat berkonsultasi kepada Syekh Abbas Abdullah tentang dasar Negara Indonesia Merdeka. Dengan tegas ia meminta agar prinsip ketuhanan menjadi acuan dasar Negara yang akan dirumuskan.

Serba Bisa

Syekh Abbas Abdullah adalah figure all-round ‘serba bisa’. Selain itu diakui keulamaannya karena kedalaman ilmu dan kesederhanaan hidupnya. Ia juga dikenal sebagai politikus yang berani menyuarakan kepentingan rakyat.

Tidak heran, saat pecah revolusi 1945, ia diangkat sebagai Imam Laskar Mujahidin untuk daerah Sumatera Tengah (Minangkabau). Waktu Agresi Militer Belanda II, banyak pemimpin perjuangan berkumpul di Padang Japang. Madrasah Darul Funun menjadi markas pemerintahan Gubernur Sumatera yang waktu itu dijabat oleh Mr. Tengku Mohammad Hassan. Pada masa Pemerintahan Darurat (PDRI), Madrasah Darul Funun dijadikan kantor PPK dan Kementerian Agama PDRI. Ketika Mr. Mohammad Natsir dan Dr. Leimena dating dari Jawa untuk menjemput Ketua (Presiden) PDRI Mr. Syafrudin Prawiranegara kembali ke Pusat (Jakarta), pertemuan diadakan di gedung Madrasah Darul Funun ini.

Gedung awal Madrasah Darul Funun memang telah hancur menjadi puing, tetapi jasanya untuk perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia tidak pernah terlupakan.

info: perlahan tahap demi setahap perguruan dibangun kembali dengan dana waqaf dan infaq dari kaum muslimin sekalian, semoga Allah memberikan keberkahan kepada amal usaha ini.

Referensi:
– Masjid-masjid bersejarah di Indonesia: Abdul Baqir Zein (link)
– Sejarah Darul Funun El-Abbasiyah



Nasharuddin Thaha

(1908-1979)

Lahir 4 Maret 1908 di Payakumbuh, putera tertua Syekh Thaha Arsyad. Setelah tamat Sekolah Dasar Sambungan, melanjutkan ke Madrasah Sumatra Thawalib Darul Funun Padangjapang. Tahun 1926 masuk perguruan tinggi Darul Ulum dan Universitas al Azhari Kairo, seangkatan Mahmud Yunus, Muchtar Yahya dan lain-lain.

Selama lebih kurang tujuh tahun di Mesir, beliau aktif di Persatuan Pelajar Indonesia-Malaysia (Perpidom), organisasi pergerakan untuk merebut kemerdekaan tanah air. Pulangnya sebagian besar putera-putera Minang tahun 1930-an, membawa angin segar dunia pendidikan di daerah ini.

Tahun 1946, Nazaruddin Thaha ditunjuk pertama kali mengepalai Kantor Agama Sumatera Tengah, meliputi daerah kerja Sumbar, Jambi dan Riau. Beliau membentuk Kantor Urusan Agama (KUA) di daerah-daerah. Pada waktu itu pulalah pengarang buku-buku agama dalam bahasa Arab ini, merancang Undang-undang Perkawinan. Buku-buku tersebut antara lain Abthalul Islam, al Mahfuzadzat, Fanuttarbiyah, dan lain-lain. (*)

(Marthias Dusky Pandoe)



Bangkit Lahirkan Para Ulama

Limapuluh Kota (Sumbar), BAKINNews—Perguruan Agama Islam Darul Funun El-Abasyiyah Padang Japang Kabupaten Limapuluh Kota, sangat diharapkan bangkit melahirkan para ulama dan kembali mengukir sejarah dalam dunia pendidikan Islam.

Bangkitnya Lembaga Pendidikan Darul Funun itu bukan hanya harapan dari masyarakat Kabupaten Limapuluh Kota, tapi seluruh umat Islam yang berada di Sumatera Barat dan bahkan tingkat nasional.

“Kebangkitan Darul Funun, memang ditunggu-tunggu masyarakat banyak. Ini yang sedang diupayakan oleh tokoh masyarakat dan kementerian agama,” kata Gusman Piliang Kepala kantor Kementerian Agama Kabupatern Limapuluh Kota, Rabu (11/8) di ruangan kerjanya.

Kepala Kantor kementerian Agama Kabupaten Limapuluh Kota diminta tanggapannya sehubungan adanya dugaan perguruan agama Islam Darul Funun telah mati suri. Hanya tinggal nama bersamaan dengan dua tokoh pendirinya Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah.

Dua saudara ini tidak hanya terkenal sebagai ulama yang memiliki banyak jamaah. Tapi juga kesohor karena mendirikan perguruan Darul Funun El-Abbasiyah di Padang Japang.
Menurut Gusman Piliang aktifitas pendidikan masih jalan, proses belajar dan mengajar berjalan dengan baik, namun belum seperti yang dulu lagi.”Ini yang kita bina sekarang.”

Sebagai kelanjut pembinaan tersebut, kata Gusman, Kepala Kantor kementerian Agama Sumatera, Darwas telah melakukan pembinaan pada seluruh penyelenggara lembaga pendidikan tersebut, Jumat (6/8) dalam kunjungan kerja.

Untuk menunjang kelancaran pendidikan tersebut, kementerian agama Provinsi Sumatera Barat akan membantu bangunan gedung perpustakaan untuk Darul Funun dan MTI Tabek Gadang. BIN 763